Siang itu, mentari bersinar terang, namun suasana di basecamp Terax masih diliputi ketegangan dan kesedihan. Trenggono terlihat sedang membaca koran. Okto sedang memperbaiki bangku yang rusak."Trenggono, apakah kamu membaca koran hari ini? Wah, kamu mengejek aku ya, Okto?" tanya Trenggono dengan ekspresi tersinggung.Trenggono terkekeh dengan riang, "Buku pelajaran sekolah saja aku tidak pernah baca. Apalagi koran, jelas tidak mungkin lah!"Sementara itu, Okto sibuk membuka koran dan membaca dengan serius. Melihat ekspresi Trenggono yang tersenyum, Okto menyadari perbedaan minat mereka."Maaf Trenggono, aku bukan bermaksud mengejek kamu," kata Okto, mencoba meredakan kemungkinan tersinggung."Memang ada berita apa, Okto?" tanya Trenggono, mencoba menarik perhatian temannya dari koran yang dibaca."Ini loh, Trenggono," jawab Okto. Menunjuk artikel tentang seniman jalanan bernama Bagaskara yang hilang. "Berita mengenai seniman ini benar-benar menarik perhatianku. Sampai sekarang, belum
Trio Terax mendatangi rumah Awan, dan ketika sampai di depan, mereka terlihat ragu untuk masuk. Wajah mereka mencerminkan kekhawatiran dan ketidakteguhan, terutama Okto yang merupakan tetangga Awan. Meskipun ragu, Okto mengambil inisiatif untuk mengetuk pintu."Selamat siang, Bu Asri. Assalamualaikum," sapa Okto."Waalaikum salam. Siapa ya?" tanya Bu Asri."Saya Okto, Bu," jawab Okto."Oh, Okto. Silahkan masuk, Nak," sahut Bu Asri sambil membuka pintu.Ketika pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan sederhana. Namun memancarkan keanggunan dan kecantikan khas perempuan Jawa. Bu Asri bertanya apa yang mereka butuhkan, sambil mengundang mereka untuk duduk.Trenggono memberikan oleh-oleh dari teman-teman Awan, "Maaf, Bu. Kami ada sedikit rezeki untuk Ibu."Ibu Asri bertanya, "Kenapa kalian repot-repot?"Trenggono menjawab, "Tidak apa-apa, Bu. Ini titipan dari teman-teman Awan."Endi bertanya lebih lanjut, "Maaf, Bu. Kami ingin mengetahui keadaan Ibu dan Bapak. A
Negeri Seribu Pulau kini dilanda krisis ekonomi dan politik. Kota Bengawan, yang menjadi simbol ketenangan dan kekayaan budaya, kini menghadapi cobaan sulit. Gelombang krisis merambah dari ibukota, memasuki setiap jalan dan gang, menggoyahkan kehidupan warganya. Di tengah gejolak ini, aksi massa dan perlawanan anti-pemerintah muncul sebagai harapan. Di sudut warung di depan kantor pusat informasi, Awan duduk menikmati makan siangnya. Beberapa orang tiba tiba muncul. Orang bertubuh kurus dan tinggi memanggil pelayan untuk memesan kopi. “Hai pak, buatkan kami kopi!” serunya Pelayan, dengan senyuman ramah, menjawab, “Siap, pak!” Sayup-sayup terdengar percakapan, gedung pusat informasi menjadi target aktivis demokrasi. Dari pembicaraan tersebut, diketahui bahwa pria-pria ini agen intelijen. Pertukaran pandang singkat antara Awan dan agen intelijen menciptakan konflik yang misterius. Setelah beberapa saat, rombongan itu meninggalkan tanpa meninggalkan jejak. Awan, yang terus mengama
Setelah kepergian mobil tentara, beberapa warga mulai mendekat, mencoba mencari tahu. Ada yang memberikan pertolongan kepada teman-teman Awan. Namun banyak juga yang mencibir, menganggap bahwa Awan mencari mati menentang pemerintah. Trenggono, yang tetap teguh pada prinsipnya, berdiri di depan warga-warga yang mencibir. Dia berbicara dengan tegas, “Kami tidak akan tinggal dim melihat kezaliman! Awan tidak bersalah, dan kami akan membuktikannya. Jangan hanya berbicara tanpa tahu fakta.” Warga-warga itu terkejut dengan keberanian Trenggono. Mereka saling pandang, tidak tahu harus berkata apa. Trenggono melanjutkan, “Jika kalian tidak percaya, mari kita adu jotos! Aku akan membuktikan bahwa Awan tidak bersalah!” Warga-warga itu hanya bisa diam, tidak berani menanggapi tantangan Trenggono. Mereka sadar bahwa Trenggono adalah pemuda yang tangguh dan tidak mudah ditakuti. Tiba-tiba, suasana tegang di antara warga terasa memuncak. Beberapa dari mereka yang mencibir Awan menjadi terdiam,
Namun, kejutan menyelimuti Awan ketika beberapa sosok laki-laki muncul di depannya. Mereka menyapa Awan dengan ramah, menciptakan kelegaan di tengah ketegangan. Pemimpin kelompok tersebut, dengan wajah serius, bertanya. “Selamat malam, nak. Kenapa anak sebelia kamu bisa masuk di sini?” Awan menjawab dengan jujur, “Saya tidak tahu.” Merasa heran dan bingung. Pemimpin kelompok menghela nafas, “Mereka berulah lagi, rupanya.” Gumamnya, mencerminkan kekecewaan terhadap situasi yang mungkin sudah sering mereka alami. “Siapa namamu, nak?” tanya pemimpin kelompok dengan wajah serius. Awan menjawab, “Namaku Awan.” Pemimpin kelompok menatapnya sejenak sebelum mengangguk. “Namaku Purwo,” kata seorang pria yang berdiri di samping pemimpin kelompok. Purwo memberi sapaan sambil tersenyum ramah. “Ermono,” katanya sambil memperkenalkan diri. Awan merasa sedikit lega mengetahui nama-nama mereka. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa saya dibawa ke tempat seperti ini?” tanya Awan, mencoba
Dalam pantauan ketat itu, Darto muncul. Dengan sikap tenang, ia mendekat. “Kenapa kalian berdiri di depan pintu?” tanyanya, suaranya seperti angin sejuk yang menusuk ketidakpastian. Kami hanya mencari angin, Pak," jawab Ermono. Darto menatap Ermono, seakan mencoba membaca setiap ekspresi yang terpantul di wajahnya. “Kalian hanya mencari angin?” ulang Darto, suaranya mengejek. “Saya di sini sudah puluhan tahun, jangan pikir kalian bisa menyembunyikan sesuatu dariku.” Ermono dan Purwo saling berpandangan, menyadari bahwa Darto tidak mudah dikelabui. Meskipun suasana tegang memenuhi sel, Darto tidak kehilangan sikap tegasnya. Ia mendekati Ermono, memandanginya dengan penuh pengetahuan tentang tingkah laku para tahanan. “Bocah itu tidak seperti yang lain, ya?” goda Darto, mencoba menggali informasi lebih lanjut. “Saya tahu ketika ada yang mencoba menyembunyikan sesuatu. Jadi, apa yang sedang terjadi?” Ermono terdiam, mencoba merumuskan jawaban yang tidak akan membocorkan terla
Komandan merenung sejenak, mencoba menyusun potongan informasi yang ada di hadapannya. “Apakah ada alasan khusus yang membuat kamu terlibat dalam situasi ini? Ada tekanan dari pihak lain, atau mungkin ada motif tertentu?”Awan tetap tenang. “Tidak ada alasan atau tekanan, Pak. Saya tidak tahu apa yang menyebabkan saya berada di sini. Dan saya tidak melakukan apa pun yang dapat merugikan siapa pun.”Keheranan di wajah Komandan semakin mendalam. Masih ada misteri yang perlu dipecahkan sebelum mereka dapat menemukan akar masalah ini. Komandan mengerutkan kening, wajahnya mencerminkan kebingungan.“Bukankah menurut berkas ini, keluarga Anda memiliki latar belakang penting di masa lalu?” tanya Komandan dengan suara yang penuh keraguan.Awan tersenyum pahit. “Maafkan saya, Pak, tapi itu tidak benar. Saya hanya seorang anak jalanan, tidak memiliki hubungan dengan keluarga yang mulia.”Komandan menatap Awan dengan intensitas, mencoba memahami kebenaran di balik kata-kata tersebut. Dia kembali
Melihat Awan, beberapa tahanan mulai terprovokasi dan menghajar penjaga tersebut. Awan duduk santai, memperhatikan keributan yang terjadi di sel. Sementara itu, Purwo dan Ermono berusaha menghentikan kebrutalan para tahanan. “Berhenti, kalian!” teriak Purwo lantang, mencoba menghentikan kekerasan yang terjadi. “Jangan sampai penjaga ini tewas, atau nasib kalian akan berakhir tragis.” Namun, beberapa tahanan tidak menghiraukan peringatan Purwo dan terus menyerang. Situasi semakin kacau, penjaga lain yang mendengar segera datang untuk menyelamatkan rekan mereka. Awan yang awalnya santai langsung disergap oleh beberapa penjaga. Meskipun berusaha melawan, akhirnya ia dilumpuhkan. Awan yang telah berhasil dikendalikan oleh penjaga, kemudian dibawa ke sel bawah tanah. Di sana, Awan mengalami serangkaian penyiksaan yang sadis dan kejam. Tubuhnya yang telah lelah dan terluka membuatnya semakin rentan terhadap siksaan tersebut. Meskipun demikian, semangat perlawanan Awan tidak pernah padam