“Dia mulai berani membentakku. Apa yang membuatnya berubah? Seperti bukan Mira yang kukenal.” Tumben sekali. Leo tidak emosi seperti biasanya. Padahal wajahnya baru disiram oleh Mira. Yang timbul di pikirannya hanyalah, rasa curiga kepada istrinya. Jadi, ketika mengelap wajahnya. Dia berencana melakukan sesuatu nanti malam setelah Mira terlelap.
Mira naik ke lantai tiga kamarnya dengan perasaan kesal. Namun rasa kesal yang dirasakan tidak sebesar yang dia pikirkan. Mungkin karena kekesalan itu dilampiaskan dengan menyiram wajah suaminya. Jadi ada efek lega setelahnya. Dia kemudian menyibukkan diri, berusaha mengalihkan perhatian dengan mengotak atik telepon selulernya. Entah mengapa, di pikirannya terbesit nama Noval. Saat itu dia berharap bisa menghubunginya dan menceritakan semua hal yang mengganjal di hati. “Kalau aku telpon. Bisa ketauan,” pikirnya ragu.“Kalau aku kirim pesan, mungkin gak akan jadi masalah. Apalagi bisa aku hapus setelaTepat, ketika pintu dibuka. Mata Leo dan Mira saling melempar pandangan. Dawainya masih ada di genggaman. Bahkan layarnya masih menyala. Leo mengalihkan pandangannya dari mata Mira menuju ke dawainya. “Kamu baru menerima telepon dari siapa?” “Kenapa kamu mau tau? Kenapa tiba-tiba peduli?” tanya balik Mira dengan nada tajam. “Kamu sudah bersuami. Tidak baik menerima telepon dari lelaki lain,” jelas Leo dengan nada tinggi. “Dari mana kamu tau kalau lawan bicaraku laki-laki? Apa kedengaran dari balik pintu itu?” cerca Mira. “Kamu sekarang banyak bicara ya. Dipengaruhi oleh siapa? Hingga berani dengan suami seperti ini!” Nada bicara Leo semakin ikut menukik. “Yang jelas semua karena dirimu. Karena sikapmu selama ini.” “Apa tadi itu Noval?” tembak Leo membuat Mira membulatkan matanya karena terkejut. Mira membeku. Leo memberikan senyuman miringnya, ”Betul ‘kan? Ternyata selama ini aku benar. K
“Makan dulu buburnya, Mir. Baru minum obat. Badanmu sangat panas. Aku takut terjadi sesuatu sama kamu.” Nada bicara Leo memelas. Walaupun mendapat hinaan dari istrinya. Yang penting buatnya saat ini dia bisa memperbaiki kesalahannya dan berhubungan baik kembali. Prak! Piring berisi bubur ayam buatan Leo ditumpahkan ke lantai oleh Mira. Leo segera membereskannya dan mengambilkannya bubur lagi di dapur lantai satu dengan sabar. “Tolong, Mir. Jangan hiraukan aku. Pikirkan dulu kondisimu.” Leo tetap berusaha agar Mira mau makan tapi percuma. Kepalanya sudah sekeras batu, sangat susah untuk diberitahu. Leo menyadari kalau itu juga karena dirinya yang sudah bersikap keterlaluan selama ini. Pukul lima pagi. Syukurlah, akhirnya Bibi Jum datang. Dia yang mengurusi dan menyuapi Mira agar mau makan dan meminum obatnya. Selang dua jam kemudian. Panas di tubuh Mira telah turun. Suhu tubuhnya normal kembali. Leo bisa bernapas
“Berhenti Leo aku tidak ingin melakukan ini.” “Kenapa harus menahan hasrat sekarang? Kamu adalah istriku.” Leo kembali melingkarkan tangannya di kedua pinggang Mira. “Hari ini, kamu sangat cantik. Aku sudah tidak tahan.” Kembali dia, melekatkan bibirnya. Tubuh Mira yang mungil didekap dalam tubuhnya yang kekar, hingga tidak bisa leluasa. Dengan segala sikap menolak yang kekuatannya tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan suaminya. Mira berusaha lepas dari dekapan Leo. Namun, bukannya melepaskan, malah membuatnya semakin ingin menguasai dan menikmati tubuh istrinya. Tubuh Mira kemudian diangkat dan dihempaskan ke atas kasur dengan kasar. Dia mulai membuka kancing baju istrinya, saat tubuhnya menindih di atasnya. Menciumi tiap permukaan kulitnya dari wajah sampai Leher, hingga membuat napas Mira menderu-deru. Oksigennya berkurang karena tidak leluasa. Dadanya terasa pengap karena tindihan dan gerakan penuh hasrat dari sang suami.
Leo membopong tubuh Mira yang sedang lemah tak berdaya hingga ke kamarnya. “Kamu mabuk, ya Mir?” tanyanya sambil membenahi posisinya di ranjang. Mira tidak menjawab, dia sedang tidak nyaman dengan tubuhnya. “Aku tidak mau meminum minuman itu lagi. Seluruh tubuhku menjadi kacau, tidak enak begini,” batinnya. Tiba-tiba dia merasa ingin mengeluarkan sesuatu dari mulutnya. Cepat-cepat dia memberi kode kepada Leo untuk memberinya wadah. Suaminya paham yang dimaksud. Diambilnya tempat sampah terdekat. Mira sudah tidak dapat menahan lagi dan keluarlah semuanya. Setelah itu badannya merasa lebih baik. “Istirahatlah, Mir. Nanti biar Bibi Jum yang membuatkan obat pengar,” pinta Leo sambil membenahi selimut istrinya. Mira bergeming dan langsung menutup kedua matanya. Leo mulai tidak suka dengan perubahan sikap Mira. Namun, dia tidak berani bertanya. Takut menyebabkan pertengkaran dan akhirnya Mira pergi lagi dari rumah. Dia memilih inisiatif lain. Ingin mencari tahu sen
Leo teringat ,”Hmm ... mungkin kamu sekarang ada di rumah sakit. Bersama si sialan itu. Awas ya, akan kupergoki kalian,” gumamnya. Tangannya mengepal ketika mengingat kejadian kemarin. Lelaki gagah itu segera masuk kamar mandi dan dengan kecepatan yang luar biasa dia bergegas ke mobilnya dan melajukannya menuju rumah sakit. Setelah sampai di rumah sakit, Leo melangkahkan kakinya dengan mantap, serta penuh tekanan emosi. Tangannya mengepal. Rasanya siapa pun yang berada di depannya dan menghalangi jalannya sekarang, ingin dia lempar tinggi hingga tidak tampak keberadaannya. Emosinya sudah di puncaknya. “Sialan kalian. Awas, ya,” batinnya. Kedua kakinya kini telah berada di depan ruangan yang seingatnya merupakan kamar tempat Noval dirawat. Napasnya semakin menderu-deru hingga seperti mengeluarkan asap hitam pekat yang membuatnya tidak melihat keadaan sekitar. Dia lupa kalau berada di rumah sakit. Jantungnya semakin terpompa cepat membuatnya ingin m
Pak Satpam sebenarnya ragu akan membukakan gerbang. Matanya terus saja menuju lantai tiga di mana biasanya Leo berada di sana. “Apa yang ditunggu? Cepat buka gerbangnya!” pinta Mira terburu-buru. Bekas air matanya masih terlihat jelas. Nada bicaranya sedikit bergetar. Pak Satpam memulai membuka gerbang untuk Mira dengan menghela napas panjang, karena terpaksa melakukannya. Mira kemudian keluar dari rumah itu dalam keadaan menangis dan hanya membawa tas cangklong kesayangannya. Jiwanya saat itu bingung harus ke mana. Kalau pulang ke rumah Bapak dan ibunya, maka akan banyak pertanyaan yang harus dia jawab. Dia tidak mungkin mampu berbohong di hadapan mereka. Belum lagi setelah mendengar semuanya, mereka pasti akan sangat sedih. Mira tidak menginginkan itu. Air matanya kembali tidak terbendung merasakan kekalutan pikiran. kembali Kakinya terus saja melangkah tidak tentu arah. Tiba-tiba di pikirannya terbesit mengingat Noval. Membuat langkahnya berhen
Leo hampir saja melompat kegirangan mendengar hasil penyelidikan tanda tangan Mira itu. “Palsu. Baguslah sesuai dugaanku. Terima kasih Pak Wiliam.” “Sama-sama, Pak Leo.” Leo kemudian menutup teleponnya. Seketika, perasaannya merasa sangat menyesal atas perkataannya yang tidak mempercayai ucapan Mira kemarin. “Berarti ada seseorang yang sengaja ingin merusak hubunganku dengan Mira.” Leo berpikir sebentar. “Apa jangan-jangan ini juga perbuatan Noval? Selama ini, hanya dia yang jadi dalang perselisihan aku dan Mira. Kali ini aku tidak boleh gegabah. Akan aku selidiki dulu.” Leo sangat bersemangat. Dia yakin Mira bisa kembali lagi ke pangkuannya. Yang jelas dia ingin mencari tahu kebenaran dibalik surat cerai palsu itu. Di kapal pesiar, Mira maupun Noval sangat menikmati hari-harinya. Bagaimana tidak, seharian yang mereka lakukan hanya bersenang-senang di dalam kapal pesiar yang serasa berada di dalam kota terapung di tengah laut. Terkadang mereka ke
“Dua hari yang lalu. Saya mendapatkan surat cerai yang sudah ditanda tangani oleh Mira. Tapi Mira tidak merasa menandatangani apa pun. Waktu itu saya tidak percaya. Itu sebabnya dia pergi,” jelas Leo sambil menyeruput minumannya hingga habis. “Kemarin saya coba cek keaslian tandatangannya. Ternyata itu palsu. Saya menyesal tidak mempercayai Mira.” Wajahnya menunduk seolah menunjukkan penyesalan yang dalam. “Saya curiga dengan Noval. Jadi, saya menyelidikinya.” “Surat cerai? Sebentar, Noval dan saya punya teman akrab seorang pengacara. Siapa tau Noval meminta bantuannya.” Pak Burhan buru-buru mengambil selulernya dan menelepon seseorang. Tidak lama, dia pun menutup teleponnya. “Benar dugaanmu Leo. Surat cerai itu permintaan Noval. Setelah ini, apa yang akan kamu lakukan?” Leo menarik napas panjang yang dalam. “Sepertinya, saya harus segera menemukan istri saya, Pak Burhan. Perasaan saya tidak enak.” “Sepertinya itu yang terbaik.” Pak Bu