Mira terjatuh ke tangga. Tepatnya tujuh anak tangga. Beruntungnya, tangga rumah Leo tidak lurus, jadi melengkung tepat pada anak tangga ke delapan. Di situlah tubuh Mira berhenti terjungkir dan terlentang tak berdaya, namun masih bisa membuka mata, walaupun merasakan sakit sekujur badan. Pada saat itulah, dia sempat melihat Lusi berada di tangga teratas, di depan lemari kaca itu, namun kemudian menghilang.
Mira berusaha bangkit sendiri. Leo yang baru turun dari kamarnya, terkejut dengan suara gedebuk di tangga. Dia menghampirinya, dan menemukan Mira tengah berusaha berdiri dari jatuhnya. Leo segera turun tangga dan menolongnya. Dia langsung menggendong Mira dan membawanya turun ke lantai bawah, meletakkannya pada sofa di ruang tengah. “Apa kamu tidak apa-apa? Bagian mana yang sakit? Ke dokter sekarang, ya?” tanya Leo dengan wajah penuh kecemasan sambil menggendong kembali tubuh Mira dan dibawanya ke dalam mobil. Mira belum sempat menjawab semua pertanyaLeo mengusap darah di ujung bibirnya dengan lengan baju. Tamparan dari Lusi terasa cukup keras. Dia memang seorang wanita, tetapi menguasai karate sampai sabuk hitam. Pukulan dan tamparannya tidak bisa diremehkan, apalagi tendangannya. Leo menyadari kekuatan sepupunya itu. Dia mulai bergerak mundur menjauh darinya. “Aku tau, kamu adalah wanita yang sangat cantik, pintar, seksi, dan kaya. Tidak ada yang menolakmu. Tapi perasaanku, hanya menganggapmu saudara. Tidak lebih. Tolong, berpakaianlah!” pintanya dengan sangat lembut kepada Lusi dan mengambil kembali selimutnya yang sempat terjatuh di lantai. Dia berjalan dengan hati-hati ke arah Lusi yang bertubuh polos itu, berusaha menutupinya. Namun, terlambat. Lusi sudah terlanjur marah. Niat baik Leo, sama sekali tidak dianggapnya. Matanya berubah tajam, wajahnya memerah, nafasnya naik turun dengan cepat. “Singkirkan selimut itu!” teriak Lusi sambil menampis selimut itu dengan keras. Leo segera bergerak mundur cep
Ikatan kaki Lusi ternyata kurang kuat. Dia hampir saja terlepas. Kembali Leo berlari cepat, tapi bukan melarikan diri darinya, malah mendekatinya. Lelaki gagah itu menguatkan ikatan pada kaki Lusi. Kalau sampai terlepas bisa kewalahan nanti menghadapi wanita satu ini. Setelah itu, Leo berdiri mendekati Bapak dan Ibu Mira, menanyakan keadaan mereka. “Kami baik-baik saja, Leo,” jawab Bapak sambil menepuk pundak Leo. Diikuti anggukan kepala Ibu yang setuju dengan jawaban Bapak. “Mira, bagaimana?” tanya Leo khawatir. “Mira istirahat di rumah, tubuhnya masih sakit,” jelas Bapak Mira. “Dia yang meminta kami untuk mengamati rumahmu, menjagamu kalau sampai terjadi apa-apa,” sambung Ibu Mira. “Benar ternyata, belum lama kami datang, baru sampai depan rumahmu. Eh ... ternyata sedang dikejar,” ucap Bapak kembali bercerita. Leo hanya bisa terdiam mendengarnya. Seketika itu, perasaan bersalahnya serasa menyebar ke seluruh tubuh, menghantui pikirannya. Leo kemudian tersada
Leo menjawab dengan senyuman yang menempel permanen di wajahnya. Dia seolah-olah tidak menghiraukan wajah cemberut Mira. Hatinya benar-benar sedang berbunga-bunga, seperti berada di padang bunga musim semi. Karena ini pertama kalinya bagi Leo, menunjukkan kepada kekasihnya. Kalau dia bisa berlaku selayaknya masyarakat di desanya. “Bukankah ini menyenangkan Mira?” tanyanya sambil tersenyum. Baru saja Mira mau mengeluarkan pertanyaan yang dari tadi mengganjal di benaknya. Tiba-tiba, “Tolong ... tolong, siapa pun. Ampun ... ampun.” Sayup suaranya, tapi terdengar jelas oleh Mira maupun Leo. Lelaki gagah itu kemudian memberikan kode kepada pemain Rebana Ngarak dan orang penyala petasan, untuk berhenti. Seketika suara menjadi senyap. “Paaak ... tolong!” Suara itu kembali terdengar dan sangat jelas. Serontak, Mira dan Leo saling memandang. “Ibu!” teriak mereka bersamaan, sambil berlari menuju ke arah belakang rumah Mira. Sampai di belakang rumah, b
Cafe itu sangat klasik. Berbagai barang tempo dulu terpajang di kiri kanan temboknya dengan indah. Ditambah pajangan foto kota jaman dulu. Serasa di kota tua. Dan alunan musiknya, pas sekali dengan suasananya, dibuat sangat syahdu, mendayu. Membuat orang kurang tidur yang masuk ke kafe, pasti terlelap. Leo datang lebih awal dari jam yang ditentukan. Reni kemudian datang setelahnya. Mereka berdua ternyata tipe orang yang tidak suka terlambat. “Hei. Leo, kan?” tanya Reni kepada Leo. “Iya. Aku Leo,” jawab Lelaki gagah itu dengan tenang. “Kamu masih inget aku?” tanya Leo kemudian. “Ya iyalah. Yang bikin heboh di acara reuni kemarin, kan,” jawab Reni dengan nada centilnya. Leo berdehem setelah mendengar jawaban Reni. Benar-benar kesan buruk yang tidak terlupakan ternyata, pikir Leo. Leo mengamati sekilas penampilan Reni. Rambut ikal, sedikit tembam dan pakaiannya kasual seperti Mira. Dia kemud
Leo dan Mira panik. Tanpa berpikir panjang, Leo segera melepaskan sepatunya dan menjeburkan diri ke dalam kolam renang. Dia mencari keberadaan cincin itu. Dalam kolam renang, Leo menemukan kotak cincinnya yang berwarna merah. Namun, cincinnya tidak ada dalam kotak itu. Kepanikan Leo naik satu level. Dia mencari cincin itu dengan berenang ke sana ke mari, sambil sesekali mengambil napas di permukaan, tapi belum juga ketemu. Mira yang berada di tepi kolam renang hanya bisa mengamati Leo dengan wajah penuh kepanikan dan kekhawatiran. Hingga membuat kedua kakinya lemas tidak sanggup berdiri. Dia terduduk lemas di pinggir kolam, wajahnya mulai memucat. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Leo menemukan cincin itu. Segera dia keluar dari dalam air. Kemudian berenang menuju ke permukaan dan mendekati Mira yang sedang terduduk lunglai. Leo menunjukkan cincin itu kepada Mira, seketika wajah pucatnya menjadi segar kembali. Ujung bib
“Maaf Mama Leo. Seperti tradisi yang berlaku di desa kita. Alangkah lebih baik, kalau acara pertunangan nanti, dilakukan di rumah ini saja,” sanggah Bapak Mira berusaha mengingatkan Mama Leo. “Leo adalah anak satu-satu kami. Jadi saya berharap segala hal mengenai dia, terjadi di rumahnya. Agar selalu bisa kamu kenang sebagai orang tua. Gitu lo Bapak Mira,” ucap Mama Leo menjelaskan alasannya. Keluarga Mira mulai gaduh. Satu sama lain saling mengemukakan pendapatnya, tanpa ada yang berani berkata langsung kepada Mama Leo. Bapak dan Ibu saling memandang, benar-benar tidak berani bicara. Takut kalau tiba-tiba pertunangan Mira dan Leo dibatalkan, mereka tidak bisa membayangkan betapa sedih perasaan anak semata wayang mereka, kalau itu benar-benar terjadi. Di sisi lain, mereka sudah paham dengan sifat Mama Leo. Kalau sudah berkehendak, sangat sulit untuk ditumbangkan. Papa Leo merasa bersalah. Dia kemudian menanyakan masakan kepada Ibu Mira
Hari minggu tanggal Tujuh November 2021 pukul 10.00, adalah waktu akan diadakannya pertunangan Leo dengan Mira. Satu minggu sebelum hari H. Mama Leo sudah mengirimi kain kebaya untuk Ibu dan Mira, yang berbeda motif dan warna. Kebaya Mira memiliki motif modern dan berwarna merah muda. Sedangkan kebaya Ibu memiliki motif keibuan namun modern dan berwarna Merah Maron. Kain itu nantinya akan dijahit dan dipakai saat acara pertunangan. Mama Leo juga mengirim baju batik ukuran M yang sangat modis buat Bapak. Sebenarnya baik Ibu, Bapak maupun Mira sangat bahagia diberi kain yang terlihat mahal dan elegan itu. Tapi wajah mereka kembali bermuram durja saat mengingat pelaksanaannya bukan di rumah pihak perempuan, tapi di pihak laki-laki. Keluarga mereka sekarang, sedang menjadi topik pembicaraan satu desa. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Undangan telah disebar. Mau tidak mau, mereka dipaksa menuruti kemauan Mama Leo. Keluarga b
Leo menggandeng tangan Mira sambil terus saja berlari tidak tentu arah. Leo berpikir asalkan tidak terlihat dari pandangan Mama Leo. Tibalah mereka di suatu tempat, entah berantah. Intinya mereka masih tetap di desa yang sama, tapi mereka tidak tahu di mana itu. Mereka berhenti di suatu gang sempit yang hanya cukup buat orang lewat. Kendaraan bermotor tidak bisa lewat si sana, apalagi mobil.“Kamu ... mau ... membawaku ... ke mana?” tanya Mira sambil terengah-engah karena kelelahan setelah berlarian cukup jauh.“Aku ... sendiri ... tidak ... tahu ... harus ... ke mana,” jawab Leo sambil berusaha mengatur napasnya yang bergerak cepat, bahkan lebih cepat dari dentuman detik pada jam.“Terus ... kenapa kamu menggandengku keluar? Kupikir kamu punya tempat yang dituju,” tanya Mira. Ada sedikit penyesalan di nada bicaranya. Napasnya sudah lebih teratur dari sebelumnya.“Maaf. Aku tadi Spont