Intan melarikan diri keluar rumah dan Edwin menyusulnya.
"Intan, tunggu!" Teriak Edwin. Sekuat tenaga dia meraih tangan istrinya.
"Jelaskan semuanya, Mas! Kalian punya tujuan apa? Aku mau terlibat apa!" Gerutu Intan.
Edwin memeluk Intan dan berusaha membuatnya tenang.
"Saya bisa jelaskan semuanya sama kamu. Tapi, saya benar-benar minta maaf, saya sayang sama kamu dan saya gak mau kamu jadi korban berikutnya. Ini soal tradisi keluarga, tapi saya sudah muak, benar-benar muak!"
"Tradisi apa? Jujur saja, kita sudah syah jadi suami istri, gak perlu ada yang ditutupi lagi," protes Intan.
Karena Edwin tak mau banyak menjelaskan, Intan pun melengos tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Begitu masuk rumah, dia berpapasan dengan Rani, mertuanya.
"Nitip Papa Erik, ya? Mama mau pesta dulu sama teman arisan," pinta Rani.
Intan tak sudi menyahut. Dia lantas ke kamarnya dan langsung membuka lemari. Mengobrak-abrik semua pakaian hingga berjatuhan.
"Pelayan udah kerja keras buat beresin lemari kamu, sekarang mau apa?" Tanya Edwin.
"Mau ambil baju punyaku, aku mau pergi saja. Di sini gak aman," sahut Intan.
Bruk!
Sebuah foto berfigura kecil tanpa sengaja terjatuh. Posisi awalnya terselip di antara lipatan pakaian wanita.
Intan memungutnya. Tampak foto pernikahan Edwin dengan wanita lain, mengenakan pakaian pengantin ala barat dan posisinya sedang bergandengan tangan.
"Ini istri kamu, Mas? Siapa dia?" Tanya Intan.
Edwin malah merebutnya, ia berkata," Jangan dulu tanya ini itu. Bukan waktunya! Kamu tetap di sini, ya. Saya mohon."
Malam hari tiba, hujan turun deras, kilatan cahaya petir menambah suasana mencekam setelah lampu kristal padam.
Jam dua belas malam, hujan mulai reda. Intan terbangun dan mendapati suaminya tengah tidur lelap.
"Kebiasaan malam begini suka haus," keluhnya.
Lalu, dia memberanikan diri ke dapur sendirian. Padahal seisi ruangan sudah gelap. Terlihat, ada seorang pelayan yang melintas, berjalan menuju dapur.
"Aneh, dia belum tidur," gumam Intan. Ia lanjut ke dapur tapi tidak menemukan siapapun.
Kemudian, terdengar suara tangis yang lirih di belakang. Perlahan-lahan Intan menoleh.
"Siapa yang nangis?" Tanya Intan.
Terlihat, ada siluet badan wanita di dinding, bayangan hitam itu seperti sedang mengawasi pergerakan Intan. Dan terdengarlah suara parau yang menggema.
"Kau, ikuti aku."
Kemudian, sosok itu menampakkan diri di hadapannya. Makhluk berupa asap putih melayang di langit-langit. Intan pun terbelalak dan langsung berlari terbirit-birit menuju kamar.
Ketika hendak membuka pintu, ternyata sudah terkunci rapat.
"Mas, buka pintunya!"
Setelah beberapa kali berteriak, akhirnya pintu terbuka. Intan memeluk Edwin dengan erat sambil meringis.
Wanita itu duduk di atas ranjang sambil menghirup nafas. Penampakan makhluk aneh itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Sebentar-sebentar Intan melirik ke pintu, sebentar-sebentar melirik ke cermin.
"Kenapa pintu kamar bisa terkunci?" Gumam Edwin.
"Mungkin ada setan yang masuk," sahut Intan. "Ada hantu yang hampir bunuh aku. Kita perlu manggil orang pinter buat ngusir dia."
Edwin tertawa geli. Ia lantas mengambil sebuah foto pernikahannya dengan wanita lain.
"Mumpung tengah malam, saya mau cerita singkat saja. Di foto ini adalah mendiang istri pertama saya, nama dia Rumi. Dia mati mengenaskan di depan rumah setahun lalu, bukan dia saja tapi juga ada beberapa pelayan yang ikut mati. Tradisi keluarga ini memang aneh dan menyesatkan," terang Edwin.
Edwin memeluk Intan dahulu sebelum melanjutkan percakapan.
"Terus apa lagi, Mas?"
"Kusumadinata punya tradisi aneh yaitu setiap istri pertama anak lelakinya akan mati," jawabnya.
Intan terbelalak. "Istri pertama anak lelaki akan mati? Itu artinya bisa saja Papa pernah nikah sama wanita pertama dan dia mati juga?"
"Justru itu yang mau saya usut. Kamu lihat sikap Mama Rani seperti apa? Saya dan kedua adik enggak pernah sekalipun merasa bahwa dia adalah ibu kandung kami," ungkap Edwin.
"Mama Rani bilang aku akan terlibat. Artinya aku juga calon mati? Itu tumbal namanya, aku gak rela kalau pernikahan kita berakhir mengenaskan. Kita usut sampai tuntas untuk menyelamatkan nyawa keluarga ini," tukas Intan.
Edwin memeluknya lagi. Dia tidak mau lagi menunjukkan air matanya yang mengalir deras.
"Saya sayang sama kamu. Maaf, kalau pernikahan ini jadi malapetaka," ucapnya lirih.
"Waktu menikahi Rumi, apa kamu sempat menyentuh dia?" Tanya Intan lagi.
Edwin geleng-geleng kepala.
"Jadi ini tujuannya kamu belum sentuh aku karena mungkin sejenis syarat, istri yang akan mati harus benar-benar perawan?" Gumam Intan. "Itu artinya kamu mau jadikan aku tumbal berikutnya, Mas! Jujur saja!"
"Tidak, jujur saja saya gak mau kamu jadi korban. Sayang, kamu mau kan kerjasama, kita usut semua misteri keluarga ini," pinta Edwin dengan wajah memelas.
Intan tersenyum tipis. Dia lanjut merebahkan badannya di atas ranjang. Edwin mengecupnya sebelum tidur dan memeluknya dengan erat.
"Mas, besok aku mau ngajar lagi ke kampus, biar gak bosen," ucap Intan.
"Harusnya kita bulan madu. Maaf, saya belum bisa memenuhi kebahagiaan pernikahan ini. Ada masalah yang harus diselesaikan dulu. Selamat tidur ya, Sayang," ucap Edwin.
Cahaya matahari sudah merasuk ke celah-celah lubang udara dan jendela. Kebiasaan Intan jika sudah bangun dari tidurnya biasa langsung beres-beres rumah. Namun, kali ini harus terbiasa langsung membersihkan badan dan lanjut ke dapur untuk memasak.
Jam tujuh pagi, Intan menyambangi dapur sendirian. Tampak ada seorang ART berseragam warna hitam sedang mencuci piring.
"Pagi," sapa Intan.
Dia menjawab dengan nada datar," Pagi."
"Jam segini kenapa belum pada bangun ya? Harusnya jam tujuh udah pada sarapan, keluarga ini pemalas," ucap Intan.
Tiba-tiba hening. Suara denting piring dan gelas tak terdengar lagi.
"Bi, nyuci piringnya udah?" Tanya Intan. Ia menoleh ke belakang. Tapi, tiba-tiba saja ART itu menghilang.
Intan hanya mendapati puluhan piring dan gelas yang tampak masih kotor dan menumpuk di wastafel.
"Ke mana dia? Barusan siapa ya?" Gumamnya.
Tak berselang lama, Intan dibuat terkejut karena kemunculan dua orang ART yang sudah mengenakan seragam ala Eropa warna abu dan luaran warna putih.
"Nyonya rajin amat, maaf ya kami seharusnya ke dapur lebih awal, tapi malah keduluan sama majikan sendiri. Aduh, kami malu," ucap dia.
"Gak apa-apa, barusan ada ART yang udah duluan nyuci piring, tapi dia malah pergi entah ke mana," ucap Intan.
Dua pelayan itu saling bertatapan.
"Nama kalian siapa sih? Aku belum kenal, boleh tahu namanya?" Tanya Intan.
"Saya yang rambut pendek biasa dipanggil Nala, yang rambut kriting dipanggil Amel," ungkapnya. "Sini, biar kami saja yang nyuci piring. Dan kami berdua baru saja ke dapur."
"Barusan ada yang ART yang dikuncir kayak ekor kuda itu," tukas Intan. Ia lanjut membuka kulkas, mengambil beberapa macam sayuran dan langsung dia iris.
Sebentar-sebentar dia melirik ke tempat cuci piring kemudian mengalihkan pandangannya ke semua makanan di depan matanya. Dia melirik lagi ke belakang, terlihat ada sosok pelayan berkuncir mirip ekor kuda seperti sedang mengawasi.
"Bi, itu dia!"
Nala dan Amel terkejut sampai menghentikan perkejaannya. "Ada apa? Butuh bantuan?" Tanya Nala. "Nyonya pasti lelah ya, wajar sih kan pengantin baru.""Barusan ada dia, pelayan yang rambutnya dikuncir kayak ekor kuda itu, dia di sini," ucap Intan. "Kok, kaki aku lemes gemetar begini, ya? Apa saking paniknya ketemu dia?""Itu hantu," tukas Amel."Di sini gak ada hantu!" Tegas Nala. "Sssstttt! Jangan nakutin! Dan ART yang dikuncir itu sebenarnya gak ada. Itu cuma halusinasi Nyonya Intan saja."Kemudian, Edwin muncul. Matanya terbelalak mendapati masakan yang tengah diproses di atas wajan. Meskipun masih proses dimasak namun aroma dan tampilannya sungguh menggoda. "Istriku pandai masak juga," ucap Edwin.Tak berselang lama, muncul Erwin dan Elsa. Mereka menyambangi dapur dalam kondisi masih mengenakan pakaian tidur. "Pagi, tumben pengantin baru udah eksis di dapur?" Tanya Erwin. Lalu, matanya melirik Intan. "Eh, kok rambutnya gak basah? Harusnya basah tuh!""Apaan sih! Jail banget lo j
"Makhluk apa? Jadi penasaran," sahut Elsa. Nenek Diah duduk terlebih dahulu di kursi dekat pintu. Tatapan matanya memandang fokus ke arah Edwin. "Sebenarnya makhluk itu harus diusir, jangan sampai ada di rumah ini. Kalian mesti nyari orang pintar buat bantuin, nenek gak mau kalian jadi korban. Sudah lama nenek menyimpan rahasia ini dari kalian," terangnya."Rahasia?" Edwin mengerutkan keningnya lalu mendekati Nenek Diah. Tiba-tiba saja wanita tua itu membuang wajah dari tatapan Edwin. "Rahasia apa? Soal tumbal pengantin itu, ya?" Tanya Edwin."Bukan! Bukan! Enggak ada tumbal pengantin di keluarga ini! Kusumadinata itu nama kakek kalian, kami terhormat dan sama sekali gak pernah main licik!" Gerutunya. Edwin, Elsa, dan Erwin saling bertatapan. Kemudian, mereka memeluk neneknya sambil menyeka air mata di pipi yang sudah bergelambir itu. "Saya mau Intan selamat. Tapi, bilang sama saya, apa dulu Papa sempat menikah dengan wanita pertama? Maksud saya apa Papa punya istri pertama yang
"Aarrrghhhh!"Suara teriakan itu terdengar menggema sampai seisi rumah terbangun. Edwin beranjak lebih dulu. Tanpa pikir panjang dia berlari menuju kamar Nenek Diah. "Nenek, buka pintunya!" Teriak Edwin sambil menggedor pintu."Mas, barusan ada suara menjerit ya?" Tanya Elsa yang baru saja muncul."Mas, ada apa malam-malam begini, berisik tau!" Protes Erwin."Bantuin buka pintu ini, yang teriak barusan nenek kita," sahutnya. "Ayo, buka, bantuin!""Ada apa ini? Malam begini bikin keributan," protes Rani. "Mama, barusan nenek teriak, kita takut kenapa-kenapa," sahut Elsa. "Kita mau bongkar pintu kamarnya."Rani mengambil kunci serep dari kamarnya, dia berikan pada Edwin. Setelah berhasil membuka pintu, pemandangan mengerikan pun tampak. Sesepuh yang mereka hormati sudah terkapar mengenaskan, mulutnya mengeluarkan darah bercampur belatung dan matanya melotot, bagian hitamnya melirik ke atas."Nenek, kenapa begini?" Gumam Edwin. Perlahan-lahan dia mendekati neneknya yang sudah tak berg
Kemudian Elsa terisak-isak, menutup wajahnya sambil meringis hingga air matanya mengalir melakui celah-celah jarinya."Aku belum sanggup kehilangan nenek," ucapnya lirih. "Kenapa dia pergi secepat itu! Padahal waktu tiba di rumah dia baik-baik saja, kan? Dia sehat, Mas! Nenek kita itu sehat!"Intan memeluk adik iparnya untuk sekedar menenangkan hatinya. "Mas, punya firasat buruk mengenai keluarga ini? Kata dokter setelah nenek meninggal katanya mengeluarkan belatung kecil dari mulutnya? Kalau menurut mitos di Indonesia kan itu santet kiriman orang. Belum lagi kematian Rumi dulu, sekarang kamu udah nikah lagi, bisa juga Intan jadi korban berikutnya, atau gue dan Elsa," terang Erwin. "Sudah cukup! Kita lagi berkabung!" Gertak Edwin. "Gak usah bahas santet segala.""Apa gara-gara setan itu! Mestinya kita usir, kita nyari orang pintar buat usir dia," ucap Elsa. Erwin menatap adiknya dengan pandangan sayu, sambil mengerutkan keningnya ia berkata," Kamu udah pernah lihat dia, ya?""Kan k
Duk! Duk!Suara hentakan terdengar nyaring, bunyi dentumnya membuat mereka tercekat."Itu dari kamar nenek," ucap Edwin. Mereka bergegas menyambangi kamar bekas neneknya yang kini sudah kosong. Sengaja, Edwin membuka pintu lebar-lebar. Dan ternyata kondisi di dalam sudah berantakan. Benda hiasan berupa asbak kayu dan lantai sudah berlumur debu."Siapa pelakunya?" Tanya Intan. "Kamar ini kosong. Kayak udah diterjang badai.""Lihat itu!" Seru Elsa sambil menunjuk ke atap.Atap kamar sudah basah, membentuk lingkaran dan berwarna coklat tua. Tampak retak-retak dan hampir roboh."Bau apa ini, bau banget," keluh Intan sambil menutup hidungnya.Lambat laun noda di atap yang berbentuk lingkaran itu berubah semakin basah dan berwarna hitam. Lalu, Edwin bergegas mengambil sebuah sapu. Dia mendobrak atap itu melalui gagangnya sampai atap itu hancur.Tiba-tiba saja sesuatu yang menjijikkan terjatuh setelah atap itu bolong dan rusak."Ya ampun! Kenapa ada yang beginian!" Elsa terkejut.Sesuatu y
Bruk!Dentuman kembali terdengar nyaring sampai mengejutkan mereka. Dan bunyi tersebut terus menerus hingga hentakkan bunyinya semakin cepat."Dari kamar nenek," gumam Intan.Mereka berlari menyambangi kamar Nenek Diah. Begitu pintu terbuka, muncul puluhan ekor kumbang hitam bertebaran ke seluruh ruangan. "Mas, ada bau lagi," ucap Elsa.Edwin bergegas masuk kamar lagi, ternyata atap langit-langit kamar itu sudah roboh sampai kabel listrik menjuntai dan memercikkan api. Mereka terbelalak karena menyaksikan gumpalan seperti darah beku yang dikerumuni belatung."Apa lagi itu?" Tanya Erwin. "Sialan, siapa yang nyimpen bangke di rumah gue!""Iya, siapa dalangnya dan siapa wayangnya? Siapa yang nyimpen benda itu di sini? Pastinya salah satu orang di rumah ini," gumam Edwin. "Hati-hati buat kalian."Kemudian, Erwin mengambil pemantik api. Dia membakar benda berupa tanah yang dikerumuni belatung, dan berkata," Sekalian atapnya kita bakar aja!""Serius dong, Er! Rumah kita bisa kebakaran!" S
Mang Jajang tercekat. "Serem gimana, Pak? Saya mah merasa baik-baik saja di sini. Dan pastinya saya siap jadi pengurus Pak Erik, dia orang yang dulu ngangkat derajat saya yang bodoh ini."Ketika Intan menghampiri, seraya melirik supir yang selalu menyunggingkan bibirnya itu. Mang Jajang mengangguk pelan sambil memandangnya dengan sayu."Siapa wanita ini?""Istri saya."Mang Jajang terbelalak, menelan ludah dan tangannya gemetaran."Pak Edwin sudah menikah lagi ternyata. Selamat ya, mudah-mudahan segera dikasih anak. Saya mau ke kamar dulu, biasa banyak barang pribadi yang mesti diberesin." Mang Jajang tersenyum lebar sambil melengos."Mas, udah dulu dramanya. Aku mau tidur dulu ya, besok kan ada jadwal ngajar, gak enak sama rektor kalau bolos terus," ucap Intan.Dan ketika hendak tidur, sengaja Intan mengenakan baju tidur warna merah bekas Rumi, pakaian mendiang istri pertama Edwin. Wanita yang satu ini terus bercermin, menjuntaikan rambut hitamnya, memamerkan keindahan lekuk badannya
Intan naik pitam. Wanita cantik ini beranjak dari kursinya lalu bertatapan dengan Mirna. "Apa hubungannya pekerjaan sama pernikahan? Lancang kamu, Mirna!" "Kamu masih kerja di sini, seharusnya gak banyak bolos. Lihat semua jadwalnya!" Tukas Mirna sambil melempar absensi mahasiswa ke wajah Intan. "Oh, absensi, mahasiswa banyak yang gak hadir ternyata," gumam Intan. "Jadi siapa yang lancang! Semua aku yang urus pelajaran, emang gak capek ngasih materi kesenian, mereka bentar lagi UTS, dasar dosen kurang ajar!" Hardik Mirna. Di sela-sela perdebatan itu, muncul seorang pria dewasa yang melerai. "Ada apa ini, Bu Mirna, Bu Intan? Masih pagi udah banyak hiburan," sindirnya. "Pak Zayn, saya sudah lelah sama dia, harusnya kita laporkan saja Bu Intan ke rektorat biar dia dipecat sekalian. Di kampus ini aku yang sibuk ngasih materi kesenian, dia sendiri malah asyik bulan madu," gerutu Mirna. Lalu, dia mendelik pada Intan dan berkata. "Emang dasar suka pasang susuk pengasihan buat pelet