Share

TWELVE
TWELVE
Penulis: Evia Nuravianti

Bab 1

Kehidupan merupakan sebuah misteri yang tak dapat kita ketahui bagaimana skenario yang akan dijalani. Kita hanya bisa berencana dan berdoa. Berharap mendapatkan yang terbaik untuk diri kita.

Dua bulan yang lalu.

Angin malam yang dingin terasa begitu menusuk kulit. Kueratkan jaket yang membungkus tubuh, sembari terus melangkah secepat yang aku bisa, karena beban yang cukup berat dari ransel besar di punggung memperlambat langkahku. Jalanan yang tampak sunyi, membuat suara sepatuku yang beradu dengan aspal menjadi satu-satunya suara yang mendominasi. Aku tidak berani memandang sekitar, lebih memilih menundukkan kepala dan terus berjalan dengan terburu-buru menuju rumah.

Ditengah perjalanan pundak mulai merinding terasa seperti ada yang mengikuti. Dalam keadaan menunduk seperti ini aku bisa melihat bayangan seseorang yang terus mengikuti. Bayangan itu terus mengikuti setiap langkahku. Jantung berdetak sangat keras. Keringat dingin mulai bercucuran diseluruh tubuh. Bayangan

itu terlihat semakin mendekati. Aku mempercepat langkah berusaha menjauh dari bayangan itu.

Tiba – tiba dering ponsel terdengar.

“Hallo!”

“Fi, udah sampai rumah?”

Suara langkah seseorang yang terdengar mendekat. Refleks mataku terbuka lebar. Aku memberanikan diri untuk menoleh. Tidak ada siapa pun yang mengikuti.

Aku menelan ludah dan meneruskan langkah,, “Sebentar lagi nyampe, Mi.”

Kubuat suara setenang mungkin walaupun melampiaskan pada ngengaman ponsel menahan getaran tubuhku. Jantungku kembali berdetak dengan kencang.

“Syukur deh, ya udah aku tutup teleponnya udah nyampe rumah nih.”

“Mi…Ismi..”

Sambungan telepon terputus. Aku menghela nafas gusar memasukan ponsel ke dalam saku jeans dengan terus mempercepat langkah.

“Akhirnya,” seketika aku tersenyum lebar dan benar-benar merasa lega melihat rumah bercat abu- abu, tepat berada di depan mata.

Aku melangkah lebar membuka pagar  dan  berniat untuk menguncinnya. Namun, suara langkah seseorang kembali terdengar.

‘Dia masih mengikutiku.’ Tanganku bergetar dengan hebat sehingga kesulitan untuk menguncikan gembok.

‘Tap..Tap..Tap’

 Suara langkah seseorang yang terdengar mendekati. Jantung kembali berdetak dengan kencang membuat nafasku memburu seakan baru menyelesaikan lari marathon. Jantung seakan berhenti berdetak, saat mataku menemukan bayangan hitam itu sudah berdiri tepat di hadapanku. Aku tidak berani mengangkat wajah, hanya bisa menatap bayangan di bawah pagar dengan nanar. Aku menelan ludah, mencoba membasahi tenggorokan yang kering dan terus berusaha mengembok pagar dengan tangan yang bergetar. Di dalam  hati aku terus berdoa agar bayangan itu pergi. Aku merutuki ketakutan yang menyelimuti hingga membuat tangan berkeringat dan bergetar dengan hebat.

‘Klik’ suara pertanda gembok sudah berhasil terkunci dengan baik membuatku bernafas lega. Aku membalikan tubuh. Namun, ‘Deg.’ Jantungku berhenti berdetak dalam hitungan detik saat mersakan tangan seseorang mencekal lenganku dari arah luar pagar. Tangan itu terasa digin seperti es sehingga aku berasumsi hantu yang melakukannya. Aku membalikan badan perlahan setelah dirasa lenganku tidak terasa cekalannya.

Dengan perlahan mengedarkan pandanganku, namun sepi tidak ada seorang pun di sini. Aku memeriksa waktu yang tertera pada jam tangan, pukul 00.00. Asumsi tentang hantu yang menggengam tanganku semakin menguat dalam diri. Sekali lagi aku memastikan gembok sudah terpasang dengan benar sebelum masuk ke dalam rumah. Bulu kuduk berdiri, aku mengusap leher bagian belakang untuk mengurangi rasa merinding yang semakin menjadi. Aku mencoba tidak menghiraukan keanehan tadi dan berjalan menuju pintu.

******

Dengan tubuhku yang berbobot 45 dapat berjalan cepat menuju jalur angkutan kota tanpa kesulitan. Kulirik jam yang melingkar pada pergelangan pukul delapan tepat, yang artinya aku sudah terlambat ke kampus. Aku terus merutuki kebodohanku yang telat bangun hingga harus terburu- buru. Papah tidak ada di rumah, dan motor dibengkel. Mau bagaimana lagi terpaksa aku naik angkutan kota. Ponsel berdering, ternyata pesan dari Ismi.

Ismi Ifsani : Dimana Fi ?

Fidela Rawnies : Di jalan

Fidela Rawnies : Udah ada dosen?

Seketika mataku berbinar menemukan Angkutan Kota telah tiba. Aku berhasil masuk ke dalam Angkot lalu duduk di belakang supir.

Ismi Ifsani : Belum, jangan sampe telat lagi, Fi.

Fidela Rawnies : Oke

Walaupun aku tidak yakin akan itu. Karena waktu sudah menunjukan jam masuk kuliah dan aku masih di perjalanan.

Sengah jam kemudian, aku telah tiba di depan kampus tercinta. Aku berlari pelan memasuki perkarangan kampus. Aku harus cepat!

Bruukkk!!

Tubuhku menabrak seseorang dan terdengar suara benda jatuh. Mataku melotot sempurna saat menemukan kamera DSLR terjatuh dan hancur di hadapanku.

Astaga Fidela! Aku mengigit bibir, sambil memungut setiap kamera yang sudah tampak hancur itu bagian depan kamera dengan cemas. Kamera model terbaru ini mahal, aduh Fi! 

Aku mengangkat wajah sembari menyerahkan kepingan kamera itu kepada seseorang di hadapanku. “Ma… maaf,” ucapku terbata - bata karena panik.

Mataku langsung tertuju pada iris hitam teduh milik laki- laki di depanku. Dapat diperkirakan tinggi laki- laki itu kurang lebih sekitar 180 cm. Karena aku harus mendongkak cukup tinggi dengan tinggi badanku yang hanya 150. Laki- laki itu memliki warna kulit putih mulus seperti bayi. Wajahnya tanpa ekspersi, datar.

“Maaf. aku bener-bener nggak sengaja,” ucapku tulus.

Wajahnya masih  datar saat aku mengutarakan permintaan maaf untuk kedua kalinya. Laki- laki berkemeja hitam itu hanya menatapku tajam. Dia beralih pada kameranya yang berada di tanganku.

Dia meraih kamera beserta kepingan yang hancur dari tanganku. Mata teduh itu tertuju pada kameranya yang tampak mengenaskan, memperhatikan kameranya yang hancur karena ulahku. Aku meringis saat mata teduh itu memandang ke arahku tajam.

“Mangkanya kalau jalan hati- hati! Saya minta ganti rugi!!” ucapnya dengan rendah, tapi menusuk ke hati.

 Astaga! Masalah lagi, aduh bagaimana ini? Mana Aku sudah sangat terlambat untuk menuju kelas. Lengkap sudah penderitaanku! Hari apa ini? Aku akan mengingatnya dengan jelas, bahwa hari ini hari tersialku.

“Oke… oke…  Aku pasti ganti,” kataku lantang walaupun hati menciut. Tenang… Fidela tenang. Aku menghela nafas.

Ekspresinya berubah tidak begitu marah, setidaknya itu lebih baik.

“Mana identitasmu?” tanyanya dengan lengan menegadah tangannya ke arahku.

Aku mengerutkan kening.

“Niat manusia nggak tau kan. Bisa aja kamu berniat melarikan diri, dan saya sudah tau segalanya tentangmu.” Jelas laki-laki itu.

Aku mendengus. Kemudian mencari identitas kampus di dalam tas, lalu memberikannya pada laki- laki itu. Dia meraihnya. menatap kartu identitasku dan sesekali melirik ke arahku.

“Fidela Rawnies. Mahasiswi arsitektur,” gumamnya pelan.

“Nomor ponsel?” tanyanya datar.

Aku melotot. “Apa?”  Aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutan pada wajahku.

Laki- laki itu membungkuk. Aroma parfum yang di pakai menyeruak menusuk hidungku. Wangi!

“Semisal kamu berniat melarikan diri. Saya sudah mengetahui segalanya tentangmu.” Mata teduh itu menatap tajam ke dalam manik mataku. Pesona mata itu seakan menghipnotisku untuk terus menatap matanya. Aku mengalihkan tatapan begitu sadar ada masalah lain yang harus dhadapi. Kulirik jam di pergelangan tangan. Pukul Sembilan tiga puluh. Mati aku!

Tanpa berfikir panjang lagi. Aku segera mencatat nomor ponselku di atas secarik kertas yang kusobek secara asal. Aku memberikan kertas berisi nomor ponselku pada laki- laki itu.  Setelah itu, aku berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan laki- laki bermata teduh yang tengah memperhatikan kertas yang kuberikan. Setelah cukup jauh berjalan. Aku mendengar laki- laki itu berteriak meminta ganti rugi dan entah apa lagi yang dia katakan. Aku tidak peduli. Aku terus berlari tanpa menghiraukannya, yang kupikirkan saat ini adalah aku dalam masalah lagi!                                     

******

Tanganku mulai lelah membuat desain rumah yang tidak sepenuhnya selesai. Ini adalah hukuman yang diberikan Dosen akibat keterlambatanku tadi pagi. Angin malam berhembus dari luar jendela, memberi kesegaran pada otakku yang semakin memanas mengerjakan tugas.

Suara ponsel berdering mengalihkan fokus dari kegiatan menikmati kesejukan angin malam. Pada layar ponsel tertera urutan nomor yang tidak kukenal.

“Ya ampun, siapa yang menelepon malam- malam?“ Aku mengeser ikon pada layar ponsel, berniat untuk menerima panggilan itu.

“Hallo!”

Apa kamu mengenal suaraku?” Aku mengerutkan kening saat mendengar pertanyaannya. Suara seorang laki- laki terdengar dari seberang sana dan aku tidak mengenal suara itu.

******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status