Mobil jeep Polisi Joshi melaju kencang menuju ke perumahannya dekat pantai. Baik aku maupun dirinya tidak ada yang mengeluarkan sepatah kata pun pasca akad tadi. Walaupun kami sudah dinikahkan, tetapi para warga masih mengusik dan tidak mau membiarkan diri ini tinggal di rumahku lagi. Di samping itu, aku juga punya trauma sendiri dengan rumah itu sekarang. Takut hantu Alina atau sosok ber-hoodie Fadli tiba-tiba datang mengincar nyawaku. Apa yang terjadi pada malam ini, benar-benar mengguncang jiwaku. Aku masih tetap dengan tatapan kosong. Air mata belum berhenti meluncur satu per satu, juga sesenggukan lirih masih aku keluarkan. Sekeras apa pun aku mencoba menghentikan tangis, namun air mata ini tetap menerobos keluar. Berharap bisa membasuh luka, membasuh fitnah, membasuh memori ketakutan. "Ayo, turun! Mau sampai kapan kamu duduk di sana terus?"Suara Polisi Joshi membuyarkan lamunanku. Pandangan ini menoleh ke arahnya. Kami sudah sampai di de
Baik aku maupun Polisi Joshi, sontak sama-sama membalikan badan. Jantungku langsung berdegup kencang, sedangkan pipi ini menghangat. Bukan, bukan hanya saja menghangat, tetapi panas. Dadaku juga terasa panas. "Kurang ajar! Apa kau tidak malu masuk ke kamar orang lain tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu?!" ucapku kesal sambil melirik sekilas ke belakang. Terlihat Polisi Joshi hendak menoleh juga ke arahku. "Jangan mengintip!" bentakku tegas memperingati. "Harusnya kamu bilang terlebih dahulu sebelum masuk ke kamar seseorang!" Aku mulai mengoceh kesal. "Maaf, maaf, saya belum terbiasa. Lupa kalau kamar ini sekarang ditempati sama kamu." Polisi Joshi menjelaskan secara cepat. "Saya kemari hanya ingin mengambil file---""Keluar! Harusnya kamu malu masuk sembarangan ke kamar seorang cewek!" lontarku mengusir polisi itu. "Heh!" Polisi Joshi terdengar membentak. Aku menoleh sekilas, terlihat Polisi Joshi sedang membalika
Aku berdiri mematung di ruang tengah ketika mendengar suara seorang pria menjawab salam yang kuucapkan tadi. Bayangan sosok ber-hoodie hitam langsung melintas di pikiran, membuat aku seketika menahan napas di tenggorokan, ketakutan. Detik berikutnya, lampu di ruang tengah dinyalakan oleh seseorang. Membuat aku bisa sedikit bernapas lega, mengetahui Polisi Joshi yang menjawab salamku, bukannya sosok ber-hoodie hitam, Fadli. Polisi Joshi bersandar di samping saklar lampu sambil memandang ke arahku dengan raut dingin. Perlahan, dia mengayunkan kaki mendekat sambil menenggelamkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Dia memindai penampilanku dari ujung kaki sampai kepala. Lantas, mengeliling diri ini masih dengan rautnya yang datar. Entah apa yang polisi itu cari. Membuat aku salah tingkah diselidiki seolah-olah seorang pencuri. "Dari mana?" tanya Polisi Joshi sambil mengempaskan bokongnya ke sofa. Namun, tatapan elang dia hujamkam kepadaku. "K
Mataku membulat sempurna, jantung ini berdegup kencang menerima serangan mendadak dari Polisi Joshi, belum lagi tatapan tajamnya yang memerah menghujam diri ini. Sang polisi yang menyadari di bawahnya adalah aku, lantas mengurangi tekanan lengannya pada leherku. Akan tetapi, dia belum juga beranjak dari atasku. Mata kami terus beradu dengan deru napas sang polisi yang begitu cepat. Perlahan, Polisi Joshi malah mendekatkan bibirnya. Aku sontak menutup mata erat sembari membuang muka dengan debaran jantung yang menggila. Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan lima detik sudah terlewati. Akan tetapi, aku tidak merasakan ada pergerakan lagi dari Polisi Joshi. Bibirnya pun tak sampai-sampai pada diri ini. Eh, apa, sih, yang aku pikirkan?Dengan perlahan, aku membuka mata. Terlihat Polisi Joshi masih di atasku sambil menatap wajah ini dengan saksama. "Menjauh!" Sontak aku mendorong tubuhnya secara kasar, lalu bangkit untuk duduk.
"Pak Bagas, kok, mau ketemu sama Pak Arto pake minta diantarin segala?" Aku bertanya sambil menikmati embusan angin yang membelai wajah. Rasanya wajahku begitu lembut dan terasa kenyal setelah melakukan perawatan di salon tadi. Kuku-kukuku juga terlihat tampak cantik dengan olesan cat kuning keemasan dan bertabur sedikit glitter. Rambut yang tertutupi oleh jilbab toska ini juga terasa ringan dan sangat wangi setelah melakukan perawatan tadi. Reva benar-benar sahabat yang baik. Dia memaksaku untuk melakukan semua perawatan yang seperti dia lakukan. Katanya, yang namanya wanita wajib memanjakan diri mereka sendiri dengan perawatan ke salon. Aku memang tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Rasanya sangat menyenangkan bisa melakukan hal tersebut hari ini. "Ya wajarlah, 'kan, dia nggak tau arah." Reva menjawab setelah menyeruput es bobanya. "Aku juga lupa-lupa ingat rumahnya ada di mana. Jadi, daripada ngambil resiko salah jalan, mending aku ajak kamu j
Saat ini waktu telah pukul 18.00, aku baru saja selesai menidurkan Alisa. Balita menggemaskan itu terlihat begitu lelap setelah menghabiskan sepiring nasi goreng. Aku keluar dari kamar Alisa, menuju ke ruang tamu. Namun, tidak ada seorang pun di sini. "Nyari siapa, Neng?" tanya perawat Alisa tadi. "Emm, mereka semua pada ke mana, Bi?""Owh, mereka. Kalau bosnya Neng diajak Pak Arto ke kebun sawit tadi. Terus, kalau teman Neng yang rambutnya pirang itu, diajak sama Nyonya ke kamar," jelas wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Bibi kira-kira tau nggak, mereka ngapain?" tanyaku lagi. "Tadi saat saya ke kamar Nyonya buat nganterin minuman, saya dengar mereka lagi bahas-bahas kosmetik gitu. Penghilang kerutan sama anti penuaan gimana, yah? Lupa saya. Hehe!" Sang Bibi menjelaskan ragu-ragu. "Baiklah, Bi. Makasih infonya."Wanita itu kembali ke dapur setelahh mengangguk-angguk menanggapi perkataanku. Seka
Baru saja aku sampai di ruang tengah, Bu Sarti langsung bertanya dengan suara setengah membentak. Matanya menyipit tajam, memindai diri ini dari ujung kaki sampai kepala. Membuatku salah tingkah, takut sepatu sneakers yang aku kenakan terdapat lumpur atau hal-hal lainnya yang membuat dia mencurigai keberadaanku sebelumnya. "Wahh ... makasih, yah, Neng sudah bantuin Bibi buat nyuapin sama nidurin Non Alisa." Tiba-tiba dari arah jam sembilan, wanita yang ditugaskan mengurus Alisa muncul dan bersuara. "Kalau bukan karena bantuan Neng, pasti Non Alisa masih rewel biasanya jam begini," lanjutnya, lalu menunduk saat bersitatap dengan Bu Sarti. "Lain kali, jangan berikan Alisa sama orang asing. Sekali lagi saya tau kamu ngasi Alisa sama orang asing, saya pecat kamu!" ancam Bu Sarti pada wanita itu. "Baik, Nyonya." Wanita itu hanya menunduk ketakutan. Aku mengembuskan napas lega. Beruntung ada wanita itu yang tiba-tiba datang dan mengucapkan
Wajah Polisi Joshi makin didekatkan pada wajah ini, sontak saja aku mencium bau alkohol dari sang pria. Membuatku memalingkan muka sambil menangis. Mendengar dia yang ikut-ikutan mengataiku sebagai wanita murahan, benar-benar melukai perasaan. Ketika wajah itu hampir mendarat di pipi, aku langsung beralih menggigit bahu Polisi Joshi. Menggigitnya erat, sampai dia mengerang dan melepaskan cekalannya. Aku segera mendorong tubuh sang pria yang mengenakan baju kaus tipis itu dengan kasar. "A-aku tidak pernah menyangka, kalau tanggapanmu padaku juga se-serendah itu." Dada ini bergemuruh hebat. Berusaha mungkin aku menahan tangis. Segera aku merogoh saku celana, mengeluarkan dompet. Kartu ATM yang tadi pagi dia berikan langsung aku keluarkan dengan cepat. "Ambil kembali barang milikmu! Silahkan liat sendiri, uangmu tidak berkurang walau sepersen pun." Kartu tersebut aku lempar ke atas meja, sedangkan Polisi Joshi hanya menatapku datar.