Share

Bab 7: Diseret ke Kantor Polisi

Tatapan sang polisi tidak bisa dipungkiri membuat aku ketakutan. Tatapannya begitu mengintimidasiku. Seperti ingin menguliti diri ini hidup-hidup.

"Siapa orang yang baru saja kamu bunuh?" Dia bertanya lagi. Masih tetap memegang pergelangan tanganku.

Kini darah di telapak tangan itu, perlahan meluncur ke pergelangan. Membanjiri tangan sang pria yang sedang memegang erat pergelangan tanganku.

"Sakit." Aku merintih sebab genggaman polisi itu makin mengerat. Menjadikan lukanya mengeluarkan banyak darah.

"Aku enggak membunuh siapa pun. Dan enggak akan mungkin pernah. Anda jangan asal tuduh." Aku berucap kesal seraya berusaha menarik pergelangan tangan darinya. Namun, dia tetap memegangnya erat. Bahkan, bertambah erat lagi. Aku kesakitan.

"Bagaimana kronologi tanganmu bisa berdarah seperti itu?" tanyanya mulai menginterogasi.

"Tadi ...." Aku menggantung kalimat. Bayangan teror yang dilakukan arwah Alina, hingga mencekik leherku dengan keras melintas di kepala. Menjadikan aku ketakutan.

Aku menatap polisi itu dengan membulatkan mata, menatap dia dengan dalam. Bingung harus bagaimana menjelaskan kejadiannya tanganku bisa terluka.

"Jangan pikir wajah lugumu itu bisa menipu saya. Saya benci para gadis yang sok memasang wajah lugu," tukasnya berat. Dia menatapku jijik.

"A-apa maksud Anda?" Alisku mengernyit mendengar ucapan Polisi Joshi yang terkesan ambigu. "Aku tadi enggak sengaja terkena pecahan beling di tempat kerja," jelasku singkat.

Salah jika aku berharap Polisi Joshi itu akan memercayai penjelasanku. Faktanya dia malah terekeh sinis. Lantas, mengambil sesuatu dari dashboard mobilnya.

Sebelah tangan sang pria masih tetap memegang pergelangan tanganku, membuat tubuh ini tertarik kepadanya ketika dia sedang memiringkan badannya hendak mengambil sesuatu dari dalam dashboard.

Mataku membulat ketika melihat Polisi Joshi mengeluarkan sebuah borgol dari dashboard tersebut. Aku menggeleng cepat sembari berusaha melepaskan cekalan tangannya pada tanganku.

"Aku tidak bersalah apa pun. Anda tidak bisa menangkap orang begitu saja!" seruku menatap dia tajam.

"Kamu bisa jelaskan di kantor polisi nanti."

Dengan cepat, Polisi Joshi mengaitkan gelang borgol itu di pergelangan tanganku dan sebelahnya lagi di tangannya. Membuat tangan kami berdua saling terikat satu sama lain. Dia menarikku makin mendekat ke arahnya. Posisi kami sekarang begitu sangat dekat, membuat aku bisa merasakan embusan napas sang pria.

"Buka!" sentakku. Tatapan nyalang kulemparkan.

Mata Polisi Joshi yang setajam tatapan elang itu balas menatapku dalam. "Mau buka apa? Hmm," ucapnya berat seraya memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala.

Sudah kuduga pria ini bukan polisi baik-baik. Aku menjauh darinya dengan tangan yang masih terborgol dengannya. Pandanganku mengedar ke sekeliling, berharap ada orang yang membantu. Namun, di sekitar hanya ada ruko-ruko yang sudah tutup.

"Tidak usah celingak-celingukkan seperti itu. Tidak akan ada orang yang menolongmu," ucapnya seakan tahu apa yang sedang ada di pikiranku.

"Ayo, cepat naik!" Dia menarik diri ini agar naik ke mobilnya.

"Aku enggak mau. Aku enggak bersalah apa pun. Darah ini aku dapat sebab terkena pecahan beling di tempat kerja tadi. Liat, tanganku terluka. Apa Anda tidak bisa melihat luka di telapak tanganku yang masih menganga ini? Bahkan darah masih keluar dari sini."

Aku berbicara panjang lebar dengan harapan Polisi Joshi akan memercayai dan melepaskanku. Namun, dia malah memutar bola mata malas.

"Udah selesai pidatonya?" Dia menaikkan sebelas alis. "Ayo, naik!" paksanya.

"Aku tidak ma---"

"Cepat!" Dia segera menarik tanganku kasar, memaksa diri masuk ke mobil.

Tenagaku tentunya akan kalah dengan tenaga polisi yang berotot kekar itu. Terpaksa aku duduk di samping kemudi dengan menekuk muka kesal setengah mati.

"Polisi sialan!" umpatku menggumam kecil.

"Kamu bilang apa?" Dia melirikku tajam.

Aku membuang muka. Polisi Joshi segera melajukan mobil jeepnya dengan menyetir menggunakan sebelah tangan saja.

Beberapa menit berkendara, akhirnya mobil jeep Polisi Joshi sampai di gedung kepolisian. Nyaliku menciut melihat gedung itu. Takut jika polisi bodoh ini memenjarakanku.

"Buat apa kau membawaku ke sini? Aku tidak bersalah apa pun. Aku juga tidak membunuh siapa pun!" Bulir air mata ini jatuh begitu saja.

"Ayo, turun!" Dia kembali menarikku paksa masuk ke kantor polisi.

"Lepaskan aku! Aku enggak bersalah!" Sekuat apa pun aku meronta-ronta, Polisi Joshi terus menarik tubuh ini masuk ke kantor polisi.

Aku yang memberontak sembari berteriak keras, membuat para polisi lainnya menjadikanku pusat perhatian.

Dia membawaku ke sebuah ruangan yang tertutup. Di ruangan tersebut ada dua bangku dengan tersekat meja di tengahnya, serta terdapat satu lampu yang menggantung di atas. Dia mengempaskanku di bangku tersebut, lalu membuka borgol yang sedar tadi membelenggu pergelangan tanganku.

"Kasim!" teriak Polisi Joshi memanggil seseorang, tetapi tatapannya tidak terlepaskan kepadaku.

Seseorang yang dipanggilnya tergopoh masuk. Seorang polisi paruh baya.

"Ada apa, Pak Joshi?" Dia bertanya hormat.

"Ambil barang bukti yang ada di laci saya!" perintah Polisi Joshi.

Polisi bernama Kasim itu pun langsung keluar dan hendak mengambil barang yang diperintahkan.

"Apa saja yang terjadi di malam pembunuhan sahabatmu itu?" tanya Polisi Joshi. Dia duduk di bangku hadapanku.

"Aku tidak tau apa-apa. Aku tau keadaannya ketika sudah pagi saat aku pergi ke rumahnya hendak mendiamkan Alisa," jawabku.

Ternyata dia menyeretku ke sini untuk menginterogasiku tentang kasus kematian Alina. Tidak bisa dipercaya, dia menjadikan aku sebagai tersangka.

"Benar, jendela kamarmu yang berada tepat di hadapan dengan dapur saudara Alina?" Polisi Joshi menatapku serius.

"Iya, benar. Itu kamarku." Anggukan dua kali kulakukan.

"Bagaimana bisa kamu tidak mendengar apa pun, sedangkan jarak antara jendela kamar dan tempat kejadian perkara kurang dari sepuluh meter. Harusnya kamu mendengar sesuatu. Entah itu orang marah, teriakan, atau mungkin benda yang ribut lainnya. Tidak mungkin jika kamu tidak mendengar atau mengetahui apa pun di malam kejadian. Kecuali kamu berbohong untuk menutupi pelaku, atau mungkin kamu sendiri pelakunya!"

"Cukup!" Aku menggebrak meja dengan keras. Kesal kepada pria di hadapanku itu yang asal berspekulasi.

"Jangan asal menuduhku! Tuduhanmu itu tidak relevan." Dada ini naik turun disertai dengan tangan yang mengepal erat.

"Lebih baik kamu kerja sama saja agar kasus sahabatmu ini cepat tuntas." Polisi Joshi masih tetap pada pemikirannya. Menganggapku tersangka atas kematian Alina.

"Malam itu hujan sangat deras. Sepulang dari kerja jam enam sore, karena kelelahan ditambah dengan cuaca yang dingin, setelah sholat isya, aku langsung masuk ke selimut sembari mengenakan headset. Aku tertidur dan baru bangun ketika jam enam pagi." Aku berusaha menjelaskan secara rinci.

Wajah Polisi Joshi terlihat tidak memercayai perkataanku.

"Pak, tersangka kasus pembunuhan anak di bawah umur itu belum mau mengakui perbuatannya." Salah seorang polisi lainnya masuk ke ruangan, melaporkan sesuatu.

"Pukuli sampai babak belur sampai dia mengakui semua perbuatannya!" perintah Polisi Joshi tegas pada polisi tersebut. Namun, tatapannya tertuju kepadaku, begitu menikam.

"Pak Joshi, ini barang bukti yang Anda minta."

Detik berikutnya, polisi yang bernama Kasim tadi kembali datang dengan membawa bungkusan plastik bening. Di dalamnya, terdapat sebuah gelang dengan inisial 'T'.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status