Tatapan sang polisi tidak bisa dipungkiri membuat aku ketakutan. Tatapannya begitu mengintimidasiku. Seperti ingin menguliti diri ini hidup-hidup.
"Siapa orang yang baru saja kamu bunuh?" Dia bertanya lagi. Masih tetap memegang pergelangan tanganku.Kini darah di telapak tangan itu, perlahan meluncur ke pergelangan. Membanjiri tangan sang pria yang sedang memegang erat pergelangan tanganku."Sakit." Aku merintih sebab genggaman polisi itu makin mengerat. Menjadikan lukanya mengeluarkan banyak darah."Aku enggak membunuh siapa pun. Dan enggak akan mungkin pernah. Anda jangan asal tuduh." Aku berucap kesal seraya berusaha menarik pergelangan tangan darinya. Namun, dia tetap memegangnya erat. Bahkan, bertambah erat lagi. Aku kesakitan."Bagaimana kronologi tanganmu bisa berdarah seperti itu?" tanyanya mulai menginterogasi."Tadi ...." Aku menggantung kalimat. Bayangan teror yang dilakukan arwah Alina, hingga mencekik leherku dengan keras melintas di kepala. Menjadikan aku ketakutan.Aku menatap polisi itu dengan membulatkan mata, menatap dia dengan dalam. Bingung harus bagaimana menjelaskan kejadiannya tanganku bisa terluka."Jangan pikir wajah lugumu itu bisa menipu saya. Saya benci para gadis yang sok memasang wajah lugu," tukasnya berat. Dia menatapku jijik."A-apa maksud Anda?" Alisku mengernyit mendengar ucapan Polisi Joshi yang terkesan ambigu. "Aku tadi enggak sengaja terkena pecahan beling di tempat kerja," jelasku singkat.Salah jika aku berharap Polisi Joshi itu akan memercayai penjelasanku. Faktanya dia malah terekeh sinis. Lantas, mengambil sesuatu dari dashboard mobilnya.Sebelah tangan sang pria masih tetap memegang pergelangan tanganku, membuat tubuh ini tertarik kepadanya ketika dia sedang memiringkan badannya hendak mengambil sesuatu dari dalam dashboard.Mataku membulat ketika melihat Polisi Joshi mengeluarkan sebuah borgol dari dashboard tersebut. Aku menggeleng cepat sembari berusaha melepaskan cekalan tangannya pada tanganku."Aku tidak bersalah apa pun. Anda tidak bisa menangkap orang begitu saja!" seruku menatap dia tajam."Kamu bisa jelaskan di kantor polisi nanti."Dengan cepat, Polisi Joshi mengaitkan gelang borgol itu di pergelangan tanganku dan sebelahnya lagi di tangannya. Membuat tangan kami berdua saling terikat satu sama lain. Dia menarikku makin mendekat ke arahnya. Posisi kami sekarang begitu sangat dekat, membuat aku bisa merasakan embusan napas sang pria."Buka!" sentakku. Tatapan nyalang kulemparkan.Mata Polisi Joshi yang setajam tatapan elang itu balas menatapku dalam. "Mau buka apa? Hmm," ucapnya berat seraya memindai diriku dari ujung kaki sampai kepala.Sudah kuduga pria ini bukan polisi baik-baik. Aku menjauh darinya dengan tangan yang masih terborgol dengannya. Pandanganku mengedar ke sekeliling, berharap ada orang yang membantu. Namun, di sekitar hanya ada ruko-ruko yang sudah tutup."Tidak usah celingak-celingukkan seperti itu. Tidak akan ada orang yang menolongmu," ucapnya seakan tahu apa yang sedang ada di pikiranku."Ayo, cepat naik!" Dia menarik diri ini agar naik ke mobilnya."Aku enggak mau. Aku enggak bersalah apa pun. Darah ini aku dapat sebab terkena pecahan beling di tempat kerja tadi. Liat, tanganku terluka. Apa Anda tidak bisa melihat luka di telapak tanganku yang masih menganga ini? Bahkan darah masih keluar dari sini."Aku berbicara panjang lebar dengan harapan Polisi Joshi akan memercayai dan melepaskanku. Namun, dia malah memutar bola mata malas."Udah selesai pidatonya?" Dia menaikkan sebelas alis. "Ayo, naik!" paksanya."Aku tidak ma---""Cepat!" Dia segera menarik tanganku kasar, memaksa diri masuk ke mobil.Tenagaku tentunya akan kalah dengan tenaga polisi yang berotot kekar itu. Terpaksa aku duduk di samping kemudi dengan menekuk muka kesal setengah mati."Polisi sialan!" umpatku menggumam kecil."Kamu bilang apa?" Dia melirikku tajam.Aku membuang muka. Polisi Joshi segera melajukan mobil jeepnya dengan menyetir menggunakan sebelah tangan saja.Beberapa menit berkendara, akhirnya mobil jeep Polisi Joshi sampai di gedung kepolisian. Nyaliku menciut melihat gedung itu. Takut jika polisi bodoh ini memenjarakanku."Buat apa kau membawaku ke sini? Aku tidak bersalah apa pun. Aku juga tidak membunuh siapa pun!" Bulir air mata ini jatuh begitu saja."Ayo, turun!" Dia kembali menarikku paksa masuk ke kantor polisi."Lepaskan aku! Aku enggak bersalah!" Sekuat apa pun aku meronta-ronta, Polisi Joshi terus menarik tubuh ini masuk ke kantor polisi.Aku yang memberontak sembari berteriak keras, membuat para polisi lainnya menjadikanku pusat perhatian.Dia membawaku ke sebuah ruangan yang tertutup. Di ruangan tersebut ada dua bangku dengan tersekat meja di tengahnya, serta terdapat satu lampu yang menggantung di atas. Dia mengempaskanku di bangku tersebut, lalu membuka borgol yang sedar tadi membelenggu pergelangan tanganku."Kasim!" teriak Polisi Joshi memanggil seseorang, tetapi tatapannya tidak terlepaskan kepadaku.Seseorang yang dipanggilnya tergopoh masuk. Seorang polisi paruh baya."Ada apa, Pak Joshi?" Dia bertanya hormat."Ambil barang bukti yang ada di laci saya!" perintah Polisi Joshi.Polisi bernama Kasim itu pun langsung keluar dan hendak mengambil barang yang diperintahkan."Apa saja yang terjadi di malam pembunuhan sahabatmu itu?" tanya Polisi Joshi. Dia duduk di bangku hadapanku."Aku tidak tau apa-apa. Aku tau keadaannya ketika sudah pagi saat aku pergi ke rumahnya hendak mendiamkan Alisa," jawabku.Ternyata dia menyeretku ke sini untuk menginterogasiku tentang kasus kematian Alina. Tidak bisa dipercaya, dia menjadikan aku sebagai tersangka."Benar, jendela kamarmu yang berada tepat di hadapan dengan dapur saudara Alina?" Polisi Joshi menatapku serius."Iya, benar. Itu kamarku." Anggukan dua kali kulakukan."Bagaimana bisa kamu tidak mendengar apa pun, sedangkan jarak antara jendela kamar dan tempat kejadian perkara kurang dari sepuluh meter. Harusnya kamu mendengar sesuatu. Entah itu orang marah, teriakan, atau mungkin benda yang ribut lainnya. Tidak mungkin jika kamu tidak mendengar atau mengetahui apa pun di malam kejadian. Kecuali kamu berbohong untuk menutupi pelaku, atau mungkin kamu sendiri pelakunya!""Cukup!" Aku menggebrak meja dengan keras. Kesal kepada pria di hadapanku itu yang asal berspekulasi."Jangan asal menuduhku! Tuduhanmu itu tidak relevan." Dada ini naik turun disertai dengan tangan yang mengepal erat."Lebih baik kamu kerja sama saja agar kasus sahabatmu ini cepat tuntas." Polisi Joshi masih tetap pada pemikirannya. Menganggapku tersangka atas kematian Alina."Malam itu hujan sangat deras. Sepulang dari kerja jam enam sore, karena kelelahan ditambah dengan cuaca yang dingin, setelah sholat isya, aku langsung masuk ke selimut sembari mengenakan headset. Aku tertidur dan baru bangun ketika jam enam pagi." Aku berusaha menjelaskan secara rinci.Wajah Polisi Joshi terlihat tidak memercayai perkataanku."Pak, tersangka kasus pembunuhan anak di bawah umur itu belum mau mengakui perbuatannya." Salah seorang polisi lainnya masuk ke ruangan, melaporkan sesuatu."Pukuli sampai babak belur sampai dia mengakui semua perbuatannya!" perintah Polisi Joshi tegas pada polisi tersebut. Namun, tatapannya tertuju kepadaku, begitu menikam."Pak Joshi, ini barang bukti yang Anda minta."Detik berikutnya, polisi yang bernama Kasim tadi kembali datang dengan membawa bungkusan plastik bening. Di dalamnya, terdapat sebuah gelang dengan inisial 'T'.Gelang titanium dengan inisial 'T' tersebut ditaruh meja di hadapanku. Lantas, kedua polisi itu keluar. Meninggalkan aku sendirian dengan tatapan Polisi Joshi yang begitu menikam. Menit berikutnya, terdengar pukulan dan disusul erangan keras dari ruangan di sebelahku. "Ayo, mengaku kau sudah membunuh anak itu! Kalau tidak, tongkatku ini akan terus memukul tubuhmu!" seru seseorang di ruang sebelah yang kuyakini adalah polisi yang belum lama masuk ke ruangan ini tadi. "Ampun, Pak, ampun. Saya benar-benar tidak membunuh anak itu. Saya dituduh." Suara pria lainnya terdengar berucap begitu lirih. "Halah, pembohong! Mana ada maling ngaku!"Lagi-lagi terdengar bunyi pukulan beberapa kali. "Arrhhh, ampun, sakit ...."Suara kesakitan di sebelah sontak membuatku dibanjiri keringat dingin. Tidak bisa dipungkiri kalau ketakutan sedang melandaku. Bagaimana jika aku juga nanti dituduh dan dipaksa mengiyakan tuduhan tersebut.
Sang pria yang duduk di bangku teras itu bangkit berdiri sambil membuang puntung rokoknya. Matanya menatap aku dan Polisi Joshi saling bergantian. Tatapan yang tidak bisa kuartikan. "Sepertinya kekasih gelapmu sudah sedari tadi menunggu kedatanganmu ... ops!" Polisi Joshi berlagak seperti keceplosan. "Maksud saya, kekasih, eh, mantan teman dekatmu sedang menunggu kepulanganmu sampai selarut ini," lanjutya meralat ucapannya. Aku memutar bola mata malas seraya mendengkus kasar, lalu turun dari mobil jeep-nya. "Kamu kenapa baru pulang jam segini, Nia?" tanya Fadli mendekatiku yang baru saja turun dari mobil. "Astaga ... tanganmu kenapa? Kok bisa berdarah banyak seperti ini?" Fadli meraih tanganku dengan wajah panik. Aku juga panik, tetapi bukan panik karena luka di tanganku, melainkan tatapan ini tertuju pada Polisi Joshi yang sedang menatap kami secara saksama. Tuduhannya kepadaku pasti akan makin berat jika melihat aku dan Fadli sedekat ini.
Pisau melayang, untungnya aku sigap menghindar. Kembali aku berlari menghampiri Mamah dengan tampilan menyeramkan itu yang di mana matanya memutih keseluruhan. Wajah Mamah juga pucat pasi. "Mah, sadar, Mah! Mamah kenapa!" Walau dilanda rasa takut, tetapi aku berusaha mengguncang bahu Mamah. "Sadar, Mah! Ini Tania."Mamah memiringkan kepalanya sembari menyeringai jahat. Lantas, kedua tangannya yang berlumuran darah, dengan sekejap mencekik leherku. "Mati!" teriaknya seraya mencekik dan mendorong tubuhku, sampai punggung ini terbaring di meja makan. "Mati kamu, mati!" Suara Mamah tetap terdengar ada dua. Berat dan melengking. Hawa di sekitar jadi memanas. Mamah menambah erat cengkeramannya di leherku. "Ma-Mamah, sa-sadar, Mah!" Terbata, aku berucap. Bulir air luruh begitu saja di ekor mata. Tanganku berusaha melepaskan cengkeraman Mamah, sedangkan kakiku menendang-nendang karena mulai kesulitan bernapas. "Maa ... sa-
Aku memekik seraya menutup mata dan telinga. Beruntung sang pengemudi langsung memberhentikan mobilnya hingga terdengar bunyi decitan nyaring di aspal. Lututku terasa lemas, aku jatuh bersimpuh dengan debar jantung yang menggila. Aku menatap kosong ke depan dengan napas yang masih syok. "Kamu nyari mati?" Suara seseorang mengalihkan pandanganku. Ternyata itu mobil Polisi Joshi. Aku menatapnya dengan mata berair, sedangkan sang polisi yang mengenakan pakaian dinasnya serta dibalut jaket kulit hitam itu, menatapku kesal. "Itu pencurinya! Cepat tangkap!"Suara dari samping kanan, sontak membuatku kembali panik. Di sana ada beberapa warga juga si pemilik tas yang menatapku marah, seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup. Dengan lutut yang masih bergetar, aku gegas berdiri. Lantas, bersembunyi di balik punggung Polisi Joshi. "Tolong aku." Kusembunyikan wajah di balik punggung tegap sang polisi. Terdengar derap langkah me
Suasana hening beberapa menit setelah ucapan spontanku tadi. Tidak terdengar sahutan apa pun dari Polisi Joshi mengenai tawaran memalukan dariku tadi. Aku benar-benar kalut, tidak tahu harus berbuat apa demi mendapatkan uang. Polisi Joshi terus bergeming di tempatnya berdiri, tidak terdengar apa pun darinya. Baik suara, gerak badan, ataupun helaan napas darinya. Suasana di sekitar sangat hening. Hanya terdengar isakkan tangis dan sesenggukan tertahan dariku. Aku masih sama, bersimpuh dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajah. Aku tidak berani mendongak, memandang Polisi Joshi. Merasa sangat malu dengan apa yang barusan kulontarkan. Bagaimana bisa aku secara spontan mengeluarkan perkataan menjijikkan seperti itu. Aku baru saja berusaha menjual diri sendiri. Sangat memalukan! "Kalau kamu sudah selesai menangisnya. Ayo, kita ke rumah sakit!"Mendengar ucapan Polisi Joshi, perlahan aku mendongak. Aku memandang punggung Polisi Joshi yang sudah
Aku terbangun disebuah ruangan sempit, lembab, juga pengap. Indra penciumanku menangkap bau tanah yang begitu anyir. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya tanah merah yang ditangkap oleh indra penglihatan. "Aku di mana?" Sesak makin mencekikku. Tubuh ini mulai dibanjiri keringat dingin, napasku tersengal, juga bau busuk menguar begitu tajam. Seperti ada bangkai di sekitarku. Perlahan, aku coba bangkit berdiri. Namun, puncak kepalaku malah terjedot sesuatu. Bersamaan dengan itu, tanah merah berguguran jatuh menimpa kepalaku. Aku mendongak dengan telapak tangan menggapai ke atas. "Tanah?" gumamku. Mata ini sontak melebar. Aku meraba sisi kanan juga kiri. Tanah. Aku berada di dalam tanah. Segera aku memukul-mukul tanah yang berada di atas kepalaku. Membuat tanah malah kembali berguguran menimpa wajah ini. "Apa aku sudah mati?" Tak henti-hentinya aku menggumam ketakutan. "Aku belum ingin mati. Siapa yang akan menjaga Mamah kalau
"Ibu kamu sudah dipindahkan ke rawat inap. Semoga saja beliau cepat sadar." Fadli berucap dengan penuh harap. Namun, pandanganku malah fokus mengejar punggung Polisi Joshi yang sedang keluar dari ruang perawatanku. Setelah memperingatiku tentang kesepakatan biaya operasi Mamah, dia pergi begitu saja. Aku sedang berada disituasi apa? Hantu sahabatku meneror dan sampai membuat Mamah kritis di rumah sakit. Aku bahkan sampai menjual tubuh ke pria asing demi menyelamatkan nyawa Mamah. Namun, itu semua belum mampu menyelamatkannya. Kondisi Mamah masih berada di antara hidup dan mati. "Nia?" Fadli mengguncang pelan bahuku, membuat diri ini tersadar dari lamunan. "Kamu baik-baik saja?" lanjutnya bertanya. Wajahnya terlihat mengkhawatirkanku. Aku tersenyum getir. "Bagaimana bisa aku baik-baik saja, sedangkan Mamah dalam kondisi seperti itu.""Ibumu pasti akan segera siuman, Nia. Kamu banyak berdoa saja. Bantuan Allah pasti ada," saran Fadli le
Segera aku melompat dari brankar, menuju ke pintu keluar. Celaka! Pintunya macet, tidak bisa terbuka. Tiba-tiba saja embusan angin berhawa panas memukul punggungku. Pandangan ini langsung menoleh ke belakang. Terlihat di gorden sana, kaki yang menjuntai tadi perlahan melayang mendekat dengan ditutupi gorden di bagian atasnya. Darah yang merembes di kakinya yang pucat menodai lantai keramik putih. Aku makin panik dan terus memutar-mutar kenop pintu dengan cepat. Berharap pintu ini bisa terbuka. Tidak hilang akal, aku mencoba memukul-mukul daun pintu dengan keras. "Tolong! Ada orang di luar? Tolong aku!" Suaraku meninggi juga panik. Terlebih lagi gorden dengan kaki yang menjuntai itu makin mendekat. "Tolong ak---!"Napasku tercekat diiringi dengan dengan tubuh yang membeku saat kurasakan sebuah tangan yang sedingin es mendarat di pundakku. "Jangan ganggu aku. Kumohon pergilah!" Aku langsung berjongkok sembari menutup wajah ketakutan.