Share

Bab 6: Menginginkan Kematianku

Suara cekikikan yang tepat berada di sampingku itu, sontak membuat tubuh ini membeku. Atmosfer di sekitar serasa menipis hingga membuatku kesulitan bernapas. Belum lagi sekarang dalam keadaan mati lampu.

Aku mencoba merogoh saku celana. Mengeluarkan ponsel. Namun, embusan dingin dari punggungku membuat diri ini kembali membeku.

"Tania ...." Suara lirih tepat di tengkukku.

"Siapa?" Gegas aku berbalik. Gelap. Hanya kegelapan yang menyambut penglihatanku.

Dengan tangan bergetar kucoba kembali merogoh, lalu menyalakan senter ponsel. Menyoroti area dapur secara perlahan dengan pandangan waspada. Di hadapanku hanya ada piring kotor yang masih menggunung.

"Hihihihi ...."

Aku kembali berbalik kala suara itu melengking di balik punggungku.

"Ja-jangan ganggu aku! Pergi!" gagapku ketakutan. Bulir keringat dingin meluncur deras dari pelipis.

Aku menggenggam erat ponsel di tangan dengan gemetar. Biar bagaimanapun juga seumur-umur baru pertama kali ini aku diganggu oleh makhluk astral.

Aku kembali dikejutkan oleh piring-piring yang tiba-tiba melayang ke arahku. Berusaha aku menghindar, tetapi sebuah mangkuk besar melayang dan mengenai perutku, lalu pecah berserakan di lantai. Aku melenguh dan terduduk di lantai pasca mendapat serangan di perut dari mangkok berat itu.

"Aww!" Aku meringis kala tanganku tidak sengaja menyentuh pecahan mangkok. Tanganku berdarah.

Detik berikutnya, aku mendengar bunyi sesuatu yang menetes, lalu disusul oleh bau amis sangat tajam yang menyeruak menusuk indra penciuman. Aku mengarahkan senter ponsel ke samping kanan. Kosong. Perlahan, aku mengarahkan senter ponsel ke kiri.

"Kyaaa ...!" Sebuah sosok berwajah seputih kapas dengan mata besar yang hitam legam tiba-tiba muncul di samping kiriku. Dia berteriak melengking tepat di telinga, membuat indra pendengaran ini berdenging. Keningnya yang terdapat luka bacok besar membuat darah mengalir deras dari sana dan membuat perutku muntah.

Segera aku mundur secepat kilat, menjauhinya dengan jantung yang berdegup kencang. Bahkan, aku sampai melepaskan ponsel yang ada di tangan. Aku meringkuk di pojokkan dengan napas yang tersengal-sengal.

"Ja-jangan ganggu aku, Lina. Aku Tania, sahabatmu," lirihku ketakutan. Pandangan ini menunduk dalam, fokus menatap lantai. Tidak berani menatap sosok menyeramkan di depan sana. Berharap bisa pingsan saja agar bisa lepas dari ini semua. Namun, kesadaranku masih ada.

"Kamu harus mati, Tania! Kamu harus ikut aku!" Suara Alina terdengar begitu berat, tetapi juga lirih. Seperti ada dua suara yang ada di sosok itu.

Aku menggeleng cepat dengan pandangan yang masih tetap menunduk.

"Pe-pergi! Ja-jangan ganggu aku. Kumohon!" Air mata luruh mewakili diri ini yang sedang menggigil ketakutan.

Sosok itu makin mendekat kepadaku, sedangkan diri ini makin menepelkan tubuh di pojokkan dengan napas yang sesak.

"Pergii ...."

"Kamu harus mati juga, Tania ...." Dalam sekerlip, tangan kurus putih serta ada tonjolan urat di tangan itu terulur mendekat kepadaku.

"Pe-pergi ... akhh!"

Dia berhasil mencengkeram batang leherku yang terbungkus oleh jilbab kuning ini. Dia mengangkat tubuhku ke udara sembari terus menguatkan cengkeramannya pada leherku.

"Akkhh, tol---" Napasku tertahan di tenggorokan dengan mulut yang menganga mencari oksigen, sedangkan kakiku menendang-nendang berusaha mencari pijakkan.

"Li-Lina, lep-as!" pintaku tercekat. Bahkan, suara ini tak mampu keluar. Air mataku luruh menatap sosok menyeramkan yang sedang menyeringai puas, hingga memamerkan gigi-giginya yang runcing.

Aku makin kesusahan bernapas, tubuh ini mulai teras lemas akibat kekurangan udara.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar ...."

Tiba-tiba saja terdengar bunyi azan dari masjid sekitar.

"Kyaaak ...!" Sosok itu memekik keras, lalu menghilang. Bersamaan dengan itu, lampu kembali menyala.

Aku luruh ke lantai sembari terbatuk-batuk. Memijit dada sambil menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Terima kasih banyak atas pertolongan-Mu, Ya Allah." Aku berucap syukur. Jika azan Isya tidak berkumandang, sudah bisa dipastikan aku akan tiada dicekik oleh makhluk menyeramkan itu.

Setelah perasaanku kembali membaik, gegas aku bangkit dan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Aku takut hantu Alina kembali datang dan menerorku. Tidak bisa kupercaya arwah Alina kembali datang menerorku. Entah aku punya salah apa dengannya, hingga dia seperti memiliki dendam yang sangat besar terhadapku.

Selama ini, aku dan Alina selalu akur. Setiap hari, selalu saja kami melemparkan candaan ketika sedang bersama. Sering kali kami juga membuat video bersama, lalu Alina akan mem-postingnya di akun Tektok-nya. Kami selalu tertawa bersama. Hubungan persahabatan kami tidak renggang walaupun Alina sudah berkeluarga.

Setelah selesai mencuci perabotan dapur, aku langsung merapikan meja dan kursi. Lantas, menyapu ruangan. Aku melirik jam di dinding, sudah pukul 20.00. Pekerjaanku baru saja selesai.

"Capek sekali." Aku merentangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku setelah sekian lama bekerja. Duduk di bangku untuk beristirahat sebentar.

Rasanya sangat haus. Aku menuju ke dapur hendak minum. Namun, tiba-tiba saja aku mencium bau darah kembali menyeruak. Sontak saja tubuhku bergeming di tempat. Bayangan sosok menyeramkan tadi hadir di pikiran. Aku mengurungkan niat untuk mengambil minum di dapur dan memutuskan untuk segera keluar dari warung. Pulang ke rumah.

Belum jauh kuayunkan kaki, sebuah mobil jeep datang. Sinar lampu dari mobil tersebut membuat pandanganku silau. Aku mengangkat tangan menghalau sinar itu. Mataku memicing berusaha melihat siapa yang berada di sana. Benar dugaanku, polisi muda itu lagi. Polisi Joshi.

"Baru pulang kerja?" tanyanya sesaat sebelum mematikan mesin mobilnya.

Pria yang mengenakan kaus putih dan dibalut jaket kulit hitam itu, menatapku intens. Aku benci tatapannya itu.

"Kamu mengikutiku?" Aku bertanya balik dengan ketus. Entah kenapa, aku kurang suka dengannya.

Dia menyeringai. "Kurang kerjaan sekali. Saya kebetulan lewat tadi dan melihat kamu di sini."

Aku tidak mengindahkan perkataannya, memilih pergi dari hadapan polisi itu. Namun, ketika aku melewati samping mobilnya, dia langsung mencekal lenganku. Harusnya aku lewat di sebelah kanan saja tadi.

"Tunggu!" Dia menggenggam erat pergelangan tanganku.

"Lepas!" ketusku menepis cekalannya. Namun, dia tetap menggenggam tanganku erat. "Jangan kurang ajar!" Emosiku mulai naik melihat polisi muda itu terus menggenggam erat pergelangan tanganku.

Dia mengangkat tanganku mendekat dengan wajahnya. Memperhatikan telapak tangan yang sedang mengepal erat karena kesal dengan ulahnya. Polisi muda itu bahkan membuka paksa jari-jari tanganku yang sedang tertutup.

"Lepaskan aku, kalau tidak ...."

"Kenapa tanganmu penuh darah?" tanyanya memotong perkataanku. Dia menatapku tajam.

Seketika tubuh ini terpaku. Karena terlalu sibuk ingin segera menyelesaikan pekerjaan, aku sampai lupa untuk mengobati telapak tangan yang terluka akibat pecahan mangkuk. Sangat teringat jelas tadi aku bekerja dengan telapak tangan yang berdarah. Hanya saja aku membungkus tangan dengan kaus tangan karet. Kaus tangan tersebut baru aku buka ketika pulang.

"Kamu baru saja membunuh orang?" todongnya langsung. Dia menatapku sangat tajam. Seakan-akan elang yang sedang mengintai anak ayam.

"Hah! Ti-tidak."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status