Seketika tubuhku menegang mendengar hal tersebut. Aku terpaku dengan melemparkan pandangan ke arah makam.
"Sekarang, saya mau ke rumah Pak Arto dulu, mau ngasi tau hal ini." Bapak itu dengan bapak-bapak lainnya kembali berlari menuju ke arah rumah orang tuanya Alina.Si polisi mematikan mesin mobilnya. "Kamu mau lihat keadaan di sana?" tanyanya.Dengan menahan rasa mengigil ketakutan, apalagi saat terbayang sosok menyeramkan yang mendatangiku semalam, aku memaksa diri sendiri untuk melihat keadaan makam Alina yang katanya terbongkar itu.Polisi muda yang entah siapa namanya itu sudah terlebih dahulu mengayunkan kaki masuk ke area pemakamakan. Aku pun turun dan mengejar langkahnya. Jujur saja, aku belum tahu di mana makam Alina. Aku tidak mengantar Alina sampai ke pemakaman kemarin, takut Bu Sarti mengamuk lagi dan merusak suasana pemakaman."Astaghfirullah ...."Dari kejauhan sekitar sepuluh meter, aku melihat beberapa papan yang berserakan serta gundukan tanah di sisi kiri dan kanan. Di tengah-tengah gundukan itu, terdapat lubang setinggi satu setengah meter. Itu kuburan Alina.Pak polisi langsung mendekat, memeriksa dan mengelilingi area sekitar makam Alina. Dia juga mengambil beberapa foto dengan ponselnya, sedangkan aku terpaku di tempat dengan perasaan berkecamuk. Antara merasa takut, sedih, juga bingung dengan yang terjadi.Atmosfer di sekitar serasa menipis, aku merasa sesak disusul dengan bulir air mata yang meluncur. Gegas aku mengusap air mata yang meluncur ini dengan ujung jilbab hijau yang kukenakan, pada saat polisi muda itu menatap ke arahku. Tidak ingin terlihat menyedihkan di matanya."Hufft ... sepertinya ini jauh lebih rumit dari yang kubayangkan." Dia menyugar rambutnya yang bergaya cepak. Lantas, mengedarkan pandangan ke sekitar.Aku pun ikutan mengedarkan pandangan, menyapu seluruh area makam dengan tatapan kebingungan. Bagaimana bisa mayat Alina menghilang begitu saja? Apa ada orang yang mengambilnya? Tetapi siapa? Dan untuk apa?"Ke mana jasad itu menghilang?" Petugas polisi itu bertanya-tanya. "Tidak mungkin, 'kan, dia bangkit dari kuburan dan pergi menggentayangi orang yang telah melenyapkan dia."Perkataan polisi muda itu sontak membuat jantungku mencelos. Mata ini memelotot sempurna kala mengingat sosok menyeramkan yang mirip dengan Alina semalam. Apa mungkin, arwah Alina gentayangan? Tetapi kenapa harus aku yang dia teror? Aku sahabat karibnya. Bukan aku juga yang melenyapkan dia, lalu kenapa Alina meneror dan secara jelas menginginkan aku mati."Hey!""I-iya!" Aku terlonjak kaget tatkala sang polisi menepuk bahuku tiba-tiba. Dia membuyarkan lamunanku."Apa yang kamu pikirkan? Hmm." Dia bertanya sembari memicing.Aku meneguk ludah kasar. Bingung harus menjawab apa."Apa kamu tau sesuatu tentang mayat sahabatmu ini?" Dia bertanya lagi.Aku hanya menggeleng lemah menjawab pertanyaannya."Kenapa wajahmu pucat seperti itu?" Interogasi sang polisi belum selesai, sedangkan aku makin dilanda kebingungan dan juga ketakutan akan hal ini.Tidak lama kemudian, banyak warga kampung yang datang berbondong-bondong. Pak Arto--ayah Alina berlari memeriksa kuburan anaknya yang kosong, sedangkan ibu Alina tidak datang. Mungkin dia sedang menjaga Alisa di rumah. Tidak mungkin dia meninggalkan atau membawa Alisa kemari."Astaghfirullah ...." Pak Arto mengusap dadanya, wajah pria itu memucat. "Di mana jasad anak saya? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Pak Arto memandang nanar ke semua orang. Air matanya luruh.Para warga hanya menggeleng-geleng. Entah menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihat atau menggeleng menjawab pertanyaan Pak Arto."Pak Polisi, tolong cari dan temukan jasad anak saya, Alina ...." Pak Arto memohon dengan menyatukan kedua telapak tangan di dada. Dia menangis."Baik, Pak. Kasus ini pasti akan saya tuntaskan." Polisi muda itu menjawab mantap.Setelah mengucapkan hal itu, sang polisi pergi keluar dari area pemakaman. Aku pun langsung mengikutinya. Baru teringat aku sudah terlambat datang ke tempat kerja. Kuharap Pak Jarot tidak memarahiku.Ketika menaiki mobil polisi itu, dari kejauhan aku melihat Fadli yang bersama warga lainnya juga ikutan datang tergopoh menuju ke area makam. Wajahnya terlihat begitu panik. Tidak sempat aku bicara terlebih dahulu dengan Fadli, si polisi sudah melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi."Kenapa? Ingin bicara dengan suami almarhumah sahabatmu itu?" Di tengah perjalanan, si polisi bertanya."Tidak." Aku menggeleng. Bohong. Jujur saja aku ingin bicara dengan Fadli mengenai jasad Alina yang menghilang."Kamu mau ke mana?" Sang polisi kembali bertanya."Warung makan Pak Jarot.""Joshi Pratama. Kamu siapa?" Polisi muda yang ternyata bernama Joshi Pratama itu mengulurkan tangannya kepadaku."Tania Azzahira." Aku menyatukan kedua telapak tangan di dada. Membiarkan uluran tangan sang polisi mengambang di udara.Ekspresi Polisi Joshi terlihat kesal, tetapi segera dia ubah raut wajahnya menjadi datar dan kembali menarik uluran tangannya. Fokus pada setir mobil.**"Kamu sudah bosan bekerja di sini? Kenapa baru datang sekarang? Kamu tau tidak, jam berapa sekarang? Hah!"Baru saja tiba di warung makan, di dapur Pak Jarot sudah menyambutku dengan amarahnya.Ya, aku salah. Aku terlambat masuk kerja."Maaf, Pak. Aku tadi ....""Saya tidak mau dengar apa pun penjelasanmu!" Pak Jarot memotong perkataanku. "Sebagai hukuman atas kesalahanmu ini, kamu harus cuci piring dan bersihkan warung sendirian nanti.""Wahh, berat, tuh!" Tiba-tiba Mesya menyeletuk di belakangku.Wanita yang selalu tampil menor itu, memang sangat suka melihatku menderita."Ingat Mesya, kamu jangan bantuin Tania. Biar dia jangan ulangi lagi kesalahannya ini. Saya tidak suka ada orang malas bekerja denganku!" tandas Pak Jarot, lalu keluar dari dapur."Siap, Bos!" Mesya menyahut antusias sembari menatap punggung Pak Jarot yang sudah menjauh dari dapur.Aku mengembuskan napas kasar, lalu mengambil pekerjaan. Menulis pesanan pembeli, lalu mengantarkan apa yang mereka pesan. Aku juga membuat aneka minuman yang mereka pesan. Untuk makanannya, dibuat oleh istri Pak Jarot. Setelah itu, aku membersihkan meja-meja yang kotor dan membawa piring bekas ke dapur. Begitu terus sampai sore.**"Jangan lupa kunci warung, setelah kamu membersihkan semuanya!"Pukul 18.00, Pak Jarot memberikan sebuah kunci kepadaku. Lantas, mereka bertiga pulang. Meninggalkanku sendiri di warung dengan pekerjaan yang menumpuk.Aku melanjutkan pekerjaan, mencuci piring yang menggunung juga peralatan dapur lainnya."Kira-kira siapa, yah, yang membunuh Alina? Apa orang yang membunuh Alina sama dengan orang yang membongkar mayat Alina dan menculiknya?"Sembari mencuci piring, pikiranku malah berkelana mencari tahu tentang kasus yang menimpa sahabat karibku itu.'Prang!'"Astaghfirullah aladzim!" Aku terlonjak kaget, ketika tiba-tiba mendengar kuali jatuh di belakang.Sontak aku berbalik, melihat kuali yang berputar-putar di lantai itu. Perlahan, aku hendak mengambilnya. Namun, tiba-tiba saja lampu padam. Lantas, disusul angin dingin yang berembus kencang menerpa pipiku."Tania ... ihihihihihi ...!"Suara cekikikan yang tepat berada di sampingku itu, sontak membuat tubuh ini membeku. Atmosfer di sekitar serasa menipis hingga membuatku kesulitan bernapas. Belum lagi sekarang dalam keadaan mati lampu. Aku mencoba merogoh saku celana. Mengeluarkan ponsel. Namun, embusan dingin dari punggungku membuat diri ini kembali membeku. "Tania ...." Suara lirih tepat di tengkukku. "Siapa?" Gegas aku berbalik. Gelap. Hanya kegelapan yang menyambut penglihatanku. Dengan tangan bergetar kucoba kembali merogoh, lalu menyalakan senter ponsel. Menyoroti area dapur secara perlahan dengan pandangan waspada. Di hadapanku hanya ada piring kotor yang masih menggunung. "Hihihihi ...."Aku kembali berbalik kala suara itu melengking di balik punggungku. "Ja-jangan ganggu aku! Pergi!" gagapku ketakutan. Bulir keringat dingin meluncur deras dari pelipis. Aku menggenggam erat ponsel di tangan dengan gemetar. Biar bagaimanapun juga
Tatapan sang polisi tidak bisa dipungkiri membuat aku ketakutan. Tatapannya begitu mengintimidasiku. Seperti ingin menguliti diri ini hidup-hidup. "Siapa orang yang baru saja kamu bunuh?" Dia bertanya lagi. Masih tetap memegang pergelangan tanganku. Kini darah di telapak tangan itu, perlahan meluncur ke pergelangan. Membanjiri tangan sang pria yang sedang memegang erat pergelangan tanganku. "Sakit." Aku merintih sebab genggaman polisi itu makin mengerat. Menjadikan lukanya mengeluarkan banyak darah. "Aku enggak membunuh siapa pun. Dan enggak akan mungkin pernah. Anda jangan asal tuduh." Aku berucap kesal seraya berusaha menarik pergelangan tangan darinya. Namun, dia tetap memegangnya erat. Bahkan, bertambah erat lagi. Aku kesakitan. "Bagaimana kronologi tanganmu bisa berdarah seperti itu?" tanyanya mulai menginterogasi. "Tadi ...." Aku menggantung kalimat. Bayangan teror yang dilakukan arwah Alina, hingga mencekik leherku d
Gelang titanium dengan inisial 'T' tersebut ditaruh meja di hadapanku. Lantas, kedua polisi itu keluar. Meninggalkan aku sendirian dengan tatapan Polisi Joshi yang begitu menikam. Menit berikutnya, terdengar pukulan dan disusul erangan keras dari ruangan di sebelahku. "Ayo, mengaku kau sudah membunuh anak itu! Kalau tidak, tongkatku ini akan terus memukul tubuhmu!" seru seseorang di ruang sebelah yang kuyakini adalah polisi yang belum lama masuk ke ruangan ini tadi. "Ampun, Pak, ampun. Saya benar-benar tidak membunuh anak itu. Saya dituduh." Suara pria lainnya terdengar berucap begitu lirih. "Halah, pembohong! Mana ada maling ngaku!"Lagi-lagi terdengar bunyi pukulan beberapa kali. "Arrhhh, ampun, sakit ...."Suara kesakitan di sebelah sontak membuatku dibanjiri keringat dingin. Tidak bisa dipungkiri kalau ketakutan sedang melandaku. Bagaimana jika aku juga nanti dituduh dan dipaksa mengiyakan tuduhan tersebut.
Sang pria yang duduk di bangku teras itu bangkit berdiri sambil membuang puntung rokoknya. Matanya menatap aku dan Polisi Joshi saling bergantian. Tatapan yang tidak bisa kuartikan. "Sepertinya kekasih gelapmu sudah sedari tadi menunggu kedatanganmu ... ops!" Polisi Joshi berlagak seperti keceplosan. "Maksud saya, kekasih, eh, mantan teman dekatmu sedang menunggu kepulanganmu sampai selarut ini," lanjutya meralat ucapannya. Aku memutar bola mata malas seraya mendengkus kasar, lalu turun dari mobil jeep-nya. "Kamu kenapa baru pulang jam segini, Nia?" tanya Fadli mendekatiku yang baru saja turun dari mobil. "Astaga ... tanganmu kenapa? Kok bisa berdarah banyak seperti ini?" Fadli meraih tanganku dengan wajah panik. Aku juga panik, tetapi bukan panik karena luka di tanganku, melainkan tatapan ini tertuju pada Polisi Joshi yang sedang menatap kami secara saksama. Tuduhannya kepadaku pasti akan makin berat jika melihat aku dan Fadli sedekat ini.
Pisau melayang, untungnya aku sigap menghindar. Kembali aku berlari menghampiri Mamah dengan tampilan menyeramkan itu yang di mana matanya memutih keseluruhan. Wajah Mamah juga pucat pasi. "Mah, sadar, Mah! Mamah kenapa!" Walau dilanda rasa takut, tetapi aku berusaha mengguncang bahu Mamah. "Sadar, Mah! Ini Tania."Mamah memiringkan kepalanya sembari menyeringai jahat. Lantas, kedua tangannya yang berlumuran darah, dengan sekejap mencekik leherku. "Mati!" teriaknya seraya mencekik dan mendorong tubuhku, sampai punggung ini terbaring di meja makan. "Mati kamu, mati!" Suara Mamah tetap terdengar ada dua. Berat dan melengking. Hawa di sekitar jadi memanas. Mamah menambah erat cengkeramannya di leherku. "Ma-Mamah, sa-sadar, Mah!" Terbata, aku berucap. Bulir air luruh begitu saja di ekor mata. Tanganku berusaha melepaskan cengkeraman Mamah, sedangkan kakiku menendang-nendang karena mulai kesulitan bernapas. "Maa ... sa-
Aku memekik seraya menutup mata dan telinga. Beruntung sang pengemudi langsung memberhentikan mobilnya hingga terdengar bunyi decitan nyaring di aspal. Lututku terasa lemas, aku jatuh bersimpuh dengan debar jantung yang menggila. Aku menatap kosong ke depan dengan napas yang masih syok. "Kamu nyari mati?" Suara seseorang mengalihkan pandanganku. Ternyata itu mobil Polisi Joshi. Aku menatapnya dengan mata berair, sedangkan sang polisi yang mengenakan pakaian dinasnya serta dibalut jaket kulit hitam itu, menatapku kesal. "Itu pencurinya! Cepat tangkap!"Suara dari samping kanan, sontak membuatku kembali panik. Di sana ada beberapa warga juga si pemilik tas yang menatapku marah, seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup. Dengan lutut yang masih bergetar, aku gegas berdiri. Lantas, bersembunyi di balik punggung Polisi Joshi. "Tolong aku." Kusembunyikan wajah di balik punggung tegap sang polisi. Terdengar derap langkah me
Suasana hening beberapa menit setelah ucapan spontanku tadi. Tidak terdengar sahutan apa pun dari Polisi Joshi mengenai tawaran memalukan dariku tadi. Aku benar-benar kalut, tidak tahu harus berbuat apa demi mendapatkan uang. Polisi Joshi terus bergeming di tempatnya berdiri, tidak terdengar apa pun darinya. Baik suara, gerak badan, ataupun helaan napas darinya. Suasana di sekitar sangat hening. Hanya terdengar isakkan tangis dan sesenggukan tertahan dariku. Aku masih sama, bersimpuh dengan kedua telapak tangan yang menutupi wajah. Aku tidak berani mendongak, memandang Polisi Joshi. Merasa sangat malu dengan apa yang barusan kulontarkan. Bagaimana bisa aku secara spontan mengeluarkan perkataan menjijikkan seperti itu. Aku baru saja berusaha menjual diri sendiri. Sangat memalukan! "Kalau kamu sudah selesai menangisnya. Ayo, kita ke rumah sakit!"Mendengar ucapan Polisi Joshi, perlahan aku mendongak. Aku memandang punggung Polisi Joshi yang sudah
Aku terbangun disebuah ruangan sempit, lembab, juga pengap. Indra penciumanku menangkap bau tanah yang begitu anyir. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya tanah merah yang ditangkap oleh indra penglihatan. "Aku di mana?" Sesak makin mencekikku. Tubuh ini mulai dibanjiri keringat dingin, napasku tersengal, juga bau busuk menguar begitu tajam. Seperti ada bangkai di sekitarku. Perlahan, aku coba bangkit berdiri. Namun, puncak kepalaku malah terjedot sesuatu. Bersamaan dengan itu, tanah merah berguguran jatuh menimpa kepalaku. Aku mendongak dengan telapak tangan menggapai ke atas. "Tanah?" gumamku. Mata ini sontak melebar. Aku meraba sisi kanan juga kiri. Tanah. Aku berada di dalam tanah. Segera aku memukul-mukul tanah yang berada di atas kepalaku. Membuat tanah malah kembali berguguran menimpa wajah ini. "Apa aku sudah mati?" Tak henti-hentinya aku menggumam ketakutan. "Aku belum ingin mati. Siapa yang akan menjaga Mamah kalau