Share

Bab 5: Kuburan yang Terbongkar

Seketika tubuhku menegang mendengar hal tersebut. Aku terpaku dengan melemparkan pandangan ke arah makam.

"Sekarang, saya mau ke rumah Pak Arto dulu, mau ngasi tau hal ini." Bapak itu dengan bapak-bapak lainnya kembali berlari menuju ke arah rumah orang tuanya Alina.

Si polisi mematikan mesin mobilnya. "Kamu mau lihat keadaan di sana?" tanyanya.

Dengan menahan rasa mengigil ketakutan, apalagi saat terbayang sosok menyeramkan yang mendatangiku semalam, aku memaksa diri sendiri untuk melihat keadaan makam Alina yang katanya terbongkar itu.

Polisi muda yang entah siapa namanya itu sudah terlebih dahulu mengayunkan kaki masuk ke area pemakamakan. Aku pun turun dan mengejar langkahnya. Jujur saja, aku belum tahu di mana makam Alina. Aku tidak mengantar Alina sampai ke pemakaman kemarin, takut Bu Sarti mengamuk lagi dan merusak suasana pemakaman.

"Astaghfirullah ...."

Dari kejauhan sekitar sepuluh meter, aku melihat beberapa papan yang berserakan serta gundukan tanah di sisi kiri dan kanan. Di tengah-tengah gundukan itu, terdapat lubang setinggi satu setengah meter. Itu kuburan Alina.

Pak polisi langsung mendekat, memeriksa dan mengelilingi area sekitar makam Alina. Dia juga mengambil beberapa foto dengan ponselnya, sedangkan aku terpaku di tempat dengan perasaan berkecamuk. Antara merasa takut, sedih, juga bingung dengan yang terjadi.

Atmosfer di sekitar serasa menipis, aku merasa sesak disusul dengan bulir air mata yang meluncur. Gegas aku mengusap air mata yang meluncur ini dengan ujung jilbab hijau yang kukenakan, pada saat polisi muda itu menatap ke arahku. Tidak ingin terlihat menyedihkan di matanya.

"Hufft ... sepertinya ini jauh lebih rumit dari yang kubayangkan." Dia menyugar rambutnya yang bergaya cepak. Lantas, mengedarkan pandangan ke sekitar.

Aku pun ikutan mengedarkan pandangan, menyapu seluruh area makam dengan tatapan kebingungan. Bagaimana bisa mayat Alina menghilang begitu saja? Apa ada orang yang mengambilnya? Tetapi siapa? Dan untuk apa?

"Ke mana jasad itu menghilang?" Petugas polisi itu bertanya-tanya. "Tidak mungkin, 'kan, dia bangkit dari kuburan dan pergi menggentayangi orang yang telah melenyapkan dia."

Perkataan polisi muda itu sontak membuat jantungku mencelos. Mata ini memelotot sempurna kala mengingat sosok menyeramkan yang mirip dengan Alina semalam. Apa mungkin, arwah Alina gentayangan? Tetapi kenapa harus aku yang dia teror? Aku sahabat karibnya. Bukan aku juga yang melenyapkan dia, lalu kenapa Alina meneror dan secara jelas menginginkan aku mati.

"Hey!"

"I-iya!" Aku terlonjak kaget tatkala sang polisi menepuk bahuku tiba-tiba. Dia membuyarkan lamunanku.

"Apa yang kamu pikirkan? Hmm." Dia bertanya sembari memicing.

Aku meneguk ludah kasar. Bingung harus menjawab apa.

"Apa kamu tau sesuatu tentang mayat sahabatmu ini?" Dia bertanya lagi.

Aku hanya menggeleng lemah menjawab pertanyaannya.

"Kenapa wajahmu pucat seperti itu?" Interogasi sang polisi belum selesai, sedangkan aku makin dilanda kebingungan dan juga ketakutan akan hal ini.

Tidak lama kemudian, banyak warga kampung yang datang berbondong-bondong. Pak Arto--ayah Alina berlari memeriksa kuburan anaknya yang kosong, sedangkan ibu Alina tidak datang. Mungkin dia sedang menjaga Alisa di rumah. Tidak mungkin dia meninggalkan atau membawa Alisa kemari.

"Astaghfirullah ...." Pak Arto mengusap dadanya, wajah pria itu memucat. "Di mana jasad anak saya? Kenapa bisa seperti ini?" tanya Pak Arto memandang nanar ke semua orang. Air matanya luruh.

Para warga hanya menggeleng-geleng. Entah menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihat atau menggeleng menjawab pertanyaan Pak Arto.

"Pak Polisi, tolong cari dan temukan jasad anak saya, Alina ...." Pak Arto memohon dengan menyatukan kedua telapak tangan di dada. Dia menangis.

"Baik, Pak. Kasus ini pasti akan saya tuntaskan." Polisi muda itu menjawab mantap.

Setelah mengucapkan hal itu, sang polisi pergi keluar dari area pemakaman. Aku pun langsung mengikutinya. Baru teringat aku sudah terlambat datang ke tempat kerja. Kuharap Pak Jarot tidak memarahiku.

Ketika menaiki mobil polisi itu, dari kejauhan aku melihat Fadli yang bersama warga lainnya juga ikutan datang tergopoh menuju ke area makam. Wajahnya terlihat begitu panik. Tidak sempat aku bicara terlebih dahulu dengan Fadli, si polisi sudah melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"Kenapa? Ingin bicara dengan suami almarhumah sahabatmu itu?" Di tengah perjalanan, si polisi bertanya.

"Tidak." Aku menggeleng. Bohong. Jujur saja aku ingin bicara dengan Fadli mengenai jasad Alina yang menghilang.

"Kamu mau ke mana?" Sang polisi kembali bertanya.

"Warung makan Pak Jarot."

"Joshi Pratama. Kamu siapa?" Polisi muda yang ternyata bernama Joshi Pratama itu mengulurkan tangannya kepadaku.

"Tania Azzahira." Aku menyatukan kedua telapak tangan di dada. Membiarkan uluran tangan sang polisi mengambang di udara.

Ekspresi Polisi Joshi terlihat kesal, tetapi segera dia ubah raut wajahnya menjadi datar dan kembali menarik uluran tangannya. Fokus pada setir mobil.

**

"Kamu sudah bosan bekerja di sini? Kenapa baru datang sekarang? Kamu tau tidak, jam berapa sekarang? Hah!"

Baru saja tiba di warung makan, di dapur Pak Jarot sudah menyambutku dengan amarahnya.

Ya, aku salah. Aku terlambat masuk kerja.

"Maaf, Pak. Aku tadi ...."

"Saya tidak mau dengar apa pun penjelasanmu!" Pak Jarot memotong perkataanku. "Sebagai hukuman atas kesalahanmu ini, kamu harus cuci piring dan bersihkan warung sendirian nanti."

"Wahh, berat, tuh!" Tiba-tiba Mesya menyeletuk di belakangku.

Wanita yang selalu tampil menor itu, memang sangat suka melihatku menderita.

"Ingat Mesya, kamu jangan bantuin Tania. Biar dia jangan ulangi lagi kesalahannya ini. Saya tidak suka ada orang malas bekerja denganku!" tandas Pak Jarot, lalu keluar dari dapur.

"Siap, Bos!" Mesya menyahut antusias sembari menatap punggung Pak Jarot yang sudah menjauh dari dapur.

Aku mengembuskan napas kasar, lalu mengambil pekerjaan. Menulis pesanan pembeli, lalu mengantarkan apa yang mereka pesan. Aku juga membuat aneka minuman yang mereka pesan. Untuk makanannya, dibuat oleh istri Pak Jarot. Setelah itu, aku membersihkan meja-meja yang kotor dan membawa piring bekas ke dapur. Begitu terus sampai sore.

**

"Jangan lupa kunci warung, setelah kamu membersihkan semuanya!"

Pukul 18.00, Pak Jarot memberikan sebuah kunci kepadaku. Lantas, mereka bertiga pulang. Meninggalkanku sendiri di warung dengan pekerjaan yang menumpuk.

Aku melanjutkan pekerjaan, mencuci piring yang menggunung juga peralatan dapur lainnya.

"Kira-kira siapa, yah, yang membunuh Alina? Apa orang yang membunuh Alina sama dengan orang yang membongkar mayat Alina dan menculiknya?"

Sembari mencuci piring, pikiranku malah berkelana mencari tahu tentang kasus yang menimpa sahabat karibku itu.

'Prang!'

"Astaghfirullah aladzim!" Aku terlonjak kaget, ketika tiba-tiba mendengar kuali jatuh di belakang.

Sontak aku berbalik, melihat kuali yang berputar-putar di lantai itu. Perlahan, aku hendak mengambilnya. Namun, tiba-tiba saja lampu padam. Lantas, disusul angin dingin yang berembus kencang menerpa pipiku.

"Tania ... ihihihihihi ...!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status