Malam yang kutunggu telah tiba. Aku berdiri tegap layaknya seseorang yang sedang menyiapkan dirinya untuk masuk ke dalam ruang kesunyian.
Pukul 21.00. Waktu dimana hampir separuh manusia mulai tertidur. Termasuk aku. Tapi, aku mempunyai sebuah alasan tersendiri kenapa aku begitu gugup untuk tidur.Ketika angin berhembus kencang, aku melihat pohon-pohon yang bergoyang di hadapanku. Pasti akan terasa melelahkan bagi dedaunan yang melekat pada cabang pohon rapuh.
Seperti cabang yang berusaha menggenggam daun dengan erat. Semuanya sia-sia kala angin hadir dan membawanya pergi tanpa arah.Tiba-tiba saja terdengar suara bisikan, aku mendengarnya beberapa kali, dari dalam hutan. Entah apa itu? tapi tanpa sadar aku melangkahkan kaki ke dalam sana. Aku mencari sumber suara tersebut.
Ada sebuah sinar di ujung sebelah barat, menyita perhatianku. Sinar putih yang semula kecil, lalu bermetamorfosis menjadi besar lalu membesar hingga mega giga besar.
SementaraHari ini sudah datang, hari yang menentukan segalanya.Sesuatu akan berakhir hari ini, entah itu aku, kami, atau pun mereka.Ini adalah saat-saat terakhir untuk kita semua, kematian adalah takdir yang terpampang jelas di hadapan kami.Profesor Javier sudah menyatukan kristal dengan Arloji milikku dan Mario. Tapi kami belum tahu kekuatan apa yang akan dihasilkan oleh benda yang kami pakai sekarang ini.Kami berdua berdiri di bawah gempuran para musuh, robot yang kami lawan. Di sebuah kota yang tadinya terlihat damai kini menjadi ladang pembantaian. Saat ini, tengah terjadi sebuah perang penentuan. Pasukan musuh yang terkenal akan kebarbaran dan kekejaman mereka yang tak kenal ampun, berusaha menghancurkan yang ada di tempat itu, dimana aku berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkan mereka satu persatu.Sedari tadi aku tidak melihat profesor Azura yang sangat ingin kubunuh jika bertemu, bahkan aku belum tahu keberadaan kekasihku Belinda ada dimana?
Aku mengenali sosok yang baru saja datang dihadapan kami saat ini, dia adalah wanita pemanah yang pernah aku temui. Melihatnya aku langsung bersiaga, karena aku tahu dia dari pihak musuh. Mungkin saja dia akan melakukan serangan secara tiba-tiba.Wanita itu mendengus ketika melihat reaksi sigapku, "Tenang agen Akira, kau tidak perlu khawatir dengan kedatanganku." ujar wanita itu."Siapa dia Akira!?" tanya Mario."Dia musuh yang pernah aku hadapi, berhati-hatilah kalian!" perintah aku."Aku datang untuk menikmati pertempuran ini, tapi tidak untuk melawan kalian." ujarnya."Apa maksudmu!?" tanyaku."Namaku Lyara, sekarang aku akan membantu kalian." berseru dia membuat aku tersentak dengan ucapannya itu, sekarang dia malah berpihak kepada kami. "Aku akan urus sisanya, aku harap kau bisa mengalahkan naga itu Akira!" lanjutnya sambil berbalik badan lalu menyerang para robot dan monster yang masih tersisa.Sementara itu sang naga semakin me
Detik demi detik terus berlalu. Mengiringi tiap desah napas yang kuhirup dan kuhembuskan.Waktu terus merangkak. Tanpa terasa bilangan hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Dan di setiap bulan yang tergenapi dan terganti. Sudah 2 tahun sepeninggalan sahabatku Mario yang telah pergi menyusul orang-orang yang kusayangi pergi ke surga, sekarang aku hidup berbahagia bersama Belinda. Aku pun menikahinya dan memiliki satu orang anak laki-laki yang begitu lucu, namanya Aero.Dan juga berkat perperangan itu aku bisa menyelamatkan ibuku, senang rasanya bisa berkumpul lagi. Sayangnya keluarga kami tidak utuh. Aku sangat berterimakasih sekali dengan sahabatku dan profesor Javier, sekarang hidupku menjadi membaik. Walaupun terkadang batin ini selalu merasa ada yang kurang.Hidup memberi banyak pengalaman..Pengalaman yang paling tidak bisa dilupakan bahkan diterima sekalipun adalah pengalaman ketika harus menerima kenyataan yang sebenarnya dan melewati itu dengan
“Kau berubah banyak sejak Aero lahir. Lebih sabar. Lebih tenang. Terkadang, aku berpikir, kau jauh lebih siap menerima kepergian Mario dibandingkan aku,” aku berkata terus terang. Memikirkan, bagaimana perasaan terempas, kesedihan, dan tak berdaya, datang tak terelakkan dalam hari-hariku.“Benarkah?” istriku tersenyum. “Terkadang isi hatiku pun berontak. Namun, aku ingat suatu hari saat aku merasa begitu sedih melihat wajahnya. Ia menghapus air mataku, lalu berkata ia mencintaiku dan bahagia menjadi istriku. Sejak itu, aku bertekad tidak akan lagi muram dan berpikir negatif akan hidup ini.”“Mario adalah anugerah. Ia guru kehidupan kita,” aku bergumam.Mata istriku bercahaya. “Beberapa tahun yang penuh cinta. Ia hadir menguatkan kita. Aku harap, ia melihat kita makan malam berdua di sini.”Aku termenung menatap piring kosong di hadapanku, lalu beralih pada wajah istriku. “Cekungan itu belum ada
"Sebenarnya apa yang kau lakukan di tempat ini Lyara!?" tanyaku. Lyara bergidik, tidak mungkin rasanya bila dia datang untuk menemuiku tanpa sebab. "Jika kau ingin tahu, ikutlah denganku sebentar!" ajak Lyara. "Kemana!? apakah aku bisa mempercayaimu." tanyaku. "Kau khawatir denganku, hal ini akan membuatmu tertarik." ucap Lyara. "Baiklah kalau begitu, tapi jika kau macam-macam aku akan membunuhmu!" geretak aku. Lyara hanya mengangguk, lalu ia berjalan. Aku pun melanjutkan perjalananku. Hanya saja kini aku telah ditemani oleh seorang wanita petarung berzirah yang masih belum aku ketahui, ia akan membawaku kemana. Kami terus berjalan menyusuri lembah terjal dipenuhi bebatuan yang kapan saja dapat runtuh menimpah atau menyeret kami ke dasar jurang yang hampir tak dapat terlihat di mana ujungnya itu. Aku berjalan di belakang sambil terus memperhatikan sekeliling. “Sebenarnya berada di tempat macam apa aku ini?” Tiba-tiba sebuah seruan membuyarkan
Langkahku ringan, nyaris melayang di atas tanah. Bohlam di sisi jalan berkedip seolah menyapa saat kulewati. Hari ini semakin sepi dan dingin, tampak dari butir salju yang makin menggunung menutupi jalanan. Aku tidak bisa mengabaikannya ketika Lyara menceritakan semua kejadian yang terjadi pada tempat tinggalnya, pikiran ini tidak bisa diajak kompromi untuk berhenti berpikir sebentar saja. Setelah beberapa saat aku sampai dirumah, ternyata disana sudah ada profesor Javier yang datang untuk berkunjung. "Aku pulang!!" berseru aku. "Akira... sudah lama aku menunggumu." ucap profesor. "Prof, ada apa kau sampai datang kesini!?" tanyaku. "Hanya untuk makan malam bersama keluarga lamaku.." kata profesor, aku pun duduk di dekatnya. "Profesor ingin melihat anak kita.." ucap istriku memotong pembicaraan. "Benarkah!?" "Ya sekalian, lagi pula aku sedang merasa bosan belakangan hari ini, tidak banyak yang kukerjakan." kata profesor.
Air yang sangat jernih. Banyak bebatuan yang menambah keindahan sungai itu. Bahkan dengan ikan-ikan kecil sekali pun. Setelah kami menghindari bola api yang menyerangku tadi, kami melanjutkan perjalanan dengan mengikuti aliran air menuju ke hulu, "Kenapa kau ingin menolongku sekarang!?" tanya Lyara. Aku mengernyitkan dahi ketika Lyara tiba-tiba bertanya seperti itu, "Apa kau sudah tidak butuh bantuanku sekarang? sebelumnya kau memaksaku untuk pergi mengikutimu, bukan?" ujar aku. "Bukan seperti itu, aku hanya ingin mengetahui alasanmu saja!?" lirih Lyara. "Tentu saja karena aku peduli dengan orang-orang di tempat tinggalmu. Sudalah jangan berpikir aneh-aneh, apa tujuan kita masih jauh!?" kataku dengan tegas. "Tidak sebentar lagi!" jawab Lyara. Sementara itu, gemuruh suara air terjun di hadapan kami terdengar merdu. Tapi saat itu tidak ada jalan lagi yang kulihat, seolah kami sudah menemui jalan buntu. "Mau kemana kita sekarang, disini sudah tid
Lyara masih disana. Duduk di sebuah tempat sambil memeluk lututnya, air matanya masih setia membasahi wajah cantiknya itu, meski berkali-kali diseka dengan kasar, cairan bening itu tetap tak jera mengalir dari sudut matanya. Dia mendesah pelan, sepertinya ia sedang menyesali karena tidak bisa banyak membantu sebab rekan-rekannya yang telah terbunuh. Dia tengah berada di sebuah tempat, dengan rumput yang menghampar bak permadani hijau di setiap jengkal matanya memandang, di beberapa sisi terdapat sekumpulan bunga mawar putih yang sangat indah, dia tersenyum kecil. Kemudian dia mendongak sedikit keatas, melihat langit yang mulai berwarna kemerahan. Tiba-tiba saja Lyara menghentikan langkahnya, ia merasakan nyeri menerjang sekujur tubuhnya. Dia berjongkok sambil berteriak kesakitan, tubuhnya seperti dihujani ribuan panah berapi, begitu panas dan perih. Aku yang tak sengaja melihatnya, langsung menghampirinya ketika itu. "Ada apa! kau kenapa Lyara!?" tanyak