Arkan sedang dalam perjalanan bersama Dodi sang asisten. Dodi adalah temannya semasa kuliah, karena merasa hanya pemuda itu yang bisa ia percaya, Arlan pun mengajak Dodi bergabung sebagai asisten pribadinya.
Dodi tampak membacakan jadwal Arkan pada siang hari, sedangkan Arkan sendiri fokus menyetir. Mengamati jalanan yang ramai dan sedikit macet, tatapan Arkan tertuju pada sesosok yang sepertinya tidak asing baginya. Tidak ingin kehilangan jejak, Arkan tanpa berpikir langsung menghentikan laju kendaraannya, membuat Dodi terkejut karena bosnya itu langsung saja keluar dari mobil.
Tentu saja apa yang dilakukan Arkan membuat jalanan semakin macet karena ia memberhentikan mobilnya di tengah jalan.
"Arkan! Setdah tuh bos, ngapain berhenti di tengah jalan!" gerutu Dodi yang langsung berpindah ke belakang kemudi untuk menepikan mobil Arkan.
Arkan berlari seperti orang gila, mengedarkan pandangan di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Dia sampai mengguyar rambutnya frustasi ketika tidak menemukan apa yang ia lihat. "Sial! Aku yakin itu dia!" umpatnya.
Dodi lari tergopoh mencari keberadaan Arkan setelah memarkirkan mobilnya, ia terlihat terengah -engah ketika sampai di belakang Arkan.
"Ar! Dasar kamu! Kalau bukan bosku, udah aku tinggal tadi!" gerutu Dodi yang kesal.
Tak menggubris ucapan Dodi, Arkan langsung berbalik pergi karena tidak mendapatkan apa yang ia lihat.
"Arkan!!Si Arkan!" seru Dodi frustasi, susah payah dia berlari menghampiri pemuda itu, kini ia ditinggalkan lagi.
"Napa sih? Kau aneh sekali!" Dodi memperhatikan Arkan yang sekarang enggan di belakang kursi kemudi, ia malah duduk di kursi penumpang.
"Jalankan saja mobilnya! Jangan banyak tanya!" perintah Arkan yang tentu saja membuat Dodi mencebik kesal.
"Yes, Bos!" ledeknya.
Dodi mengemudikan mobil itu, sedangkan Arkan terlihat menyangga dagunya menatap jalanan. Pikiran pemuda itu sedang berkelana entah kemana, mungkin ke negeri dongeng atau ke barat menerka apa kitab suci ada di sana. Bodoh! Pikirannya tertuju pada sebuah punggung yang ia rasa mengenalinya.
"Aku yakin itu dia, tapi jika itu dia apa tidak ada keinginan untuk menemuiku!" Pikiran Arkan masih terus berjalan-jalan, berputar-putar menerka apakah yang ia lihat benar?
-
-
-
-
Arkan berjalan cepat menuju ruangannya ketika mereka sampai di perusahaan. Dodi benar-benar kewalahan menghadapi Arkan yang tidak seperti biasanya.
"Ar! Aku ini jadi asistenmu atau jadi atlet jalan cepat, sih!" gerutu Dodi. "Sejak tadi kamu jalan begitu cepat, bikin aku kewalahan!"
Arkan menghentikan langkahnya secara mendadak, membuat Dodi dengan sigap ikut menghentikan langkahnya agar tidak menabrak pemuda yang ada di hadapannnya itu. Untung kakinya lincah, jika tidak mungkin akan ada adegan asisten menabrak bos seperti di novel-novel. Iya itu kalau asistennya cewek, kelihatan so sweet. Kalau asistennya cowok, jadinya gimana?
Pemuda itu membalikan tubuhnya, menatap Dodi yang sudah bersungut kesal. "Makanya, jadi cowok itu olah raga. Jadi kalau ngikutin aku nggak kewalahan!" Arkan mendorong kening Dodi dengan jari telunjuknya.
"Sialan! Resek kamu, Ar!" Dodi semakin kesal karena Arkan terkekeh setelah meledeknya.
Arkan berjalan kembali ke ruangannya, sedangkan Dodi terlihat mengecek jadwal Arkan.
"Perwakilan perusahaan Smith ingin bertemu, mereka ingin mengajukan pinjaman dalam jumlah besar," kata Dodi menutup buku jurnalnya.
"Biarkan Account Officer mengurusnya!" perintah Arkan.
"Baik, note!" Dodi terlihat mencatat.
Setelah semua dibacakan, Dodi kembali ke meja. Membuka laptopnya, dia mulai sibuk dengan aktifitas yang biasa ia lakukan.
Arkan terlihat membuka dokumen yang ada di meja, tapi pikirannya tidak ada di sana. Ia masih tidak bisa menghilangkan bayangan Jessie dari hidupnya.
Arkan ingat saat terakhir kali ia bertemu dengan Jessie sebelum gadis pujaan hatinya itu pergi ke Australia.
"Jika aku tidak pernah kembali bagaimana?" tanya Jessie sehari sebelum kepergiannya.
"Maka aku akan menyusulmu setelah selesai dengan study-ku," jawab Arkan.
Kala itu mereka benar-benar merasa bahwa dunia hanya milik mereka, keduanya mengabaikan orang yang berlalu lalang di taman itu. Jessie memang sengaja menyempatkan pergi ke kampus untuk menemui Arkan, ia paham jika Arkan pasti tidak akan sempat mengantarnya ke bandara mengingat jika pemuda itu harus kuliah dan bekerja di Mall setelahnya.
"Jes, jangan cari bule di sana," pinta Arkan seraya mengecup punggung tangan gadis itu.
"Aku tidak suka bule, meski Daddy-ku orisinil orang Australia," seloroh Jessie.
Mendengar jika kekasihnya tidak suka orang luar negeri, tentu saja membuat Arkan sedikit tenang, setidaknya ia tidak akan khwatir jika sang kekasih akan melirik pemuda dari negara itu.
Arkan mendesah kasar ketika mengingat hari itu, kemudian ia tampak memegangi keningnya. Kepalanya terasa berdenyut mengingat jika cintanya kandas begitu saja. "Apa kamu benar-benar kecantol cowok bule? Terkena karma karena pernah bilang kalau tidak suka dengan cowok luar negeri!" batin Arkan.
"Dod! Bikinin kopi!" perintah Arkan.
"Aku asistenmu, bukan pelayanmu!" Jelas Dodi menolak, dari sekian banyak hubungan antara asisten dengan bos, di mana asisten selalu takut dengan bosnya, mungkin Dodi memecahkan rekor sebagai asisten yang paling berani membantah perintah bos.
"Bonus bulanan, potong!" ancam Arkan.
Dodi langsung memicingkan mata begitu mendengar kata 'potong', ia mendecih kesal kemudian langsung berdiri dan keluar dari ruangan itu. Arkan tersenyum tipis, ancaman potong gaji atau potong bonus memang paling ampuh untuk menjinakkan anak buah yang membangkang.
Dodi pergi menuju dapur khusus di lantai itu untuk membuatkan kopi Arkan. Membuka-buka lemari penyimpanan, Dodi tidak menemukan jenis kopi yang biasa diminum Arkan.
"Alah! Sial banget, kenapa kopinya habis!" gerutunya.
Dari pada membuatkan kopi lain tapi nanti kena omel karena beda. Dodi akhirnya memilih keluar dan pergi ke minimarket terdekat untuk membeli kopi favorite bos sekaligus temannya itu.
-
-
-
Dodi terlihat sedang memilih kopi bubuk, tapi ia bingung kopi merek mana yang biasa di minum Arkan. Pemuda itu tampak menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal seraya menatap rak display kopi.
"Aghh ... ini apa ini?" tanyanya sendiri dalam hati seraya menunjuk bungkus merk kopi yang terpampang.
Bingung, Dodi terlihat menengok kanan dan kiri, mencoba mencari seseorang yang bisa ia mintai pendapat.
Akhirnya Dodi melihat seorang gadis dengan rambut pendek berjalan ke arahnya, gadis itu ternyata juga sedang memilih jenis kopi.
"Maaf bisa bantu saya?" tanya Dodi pada gadis itu.
"Boleh, bantu apa?" tanya gadis itu balik dengan senyum yang tiba-tiba mengalihkan dunia Dodi.
Gadis itu menatap Dodi kebingungan karena pemuda itu malah terdiam dengan senyum bodoh hanya menatapnya tanpa mengatakan sesuatu.
"Maaf, mau minta bantu apa, ya?" tanya gadis itu sekali lagi.
Empat hari yang lalu, kota Adelaide, Australia. "Dad! Plis dong jangan!" Jessie terlihat memelas pada ayahnya. "Apanya jangan?" tanya Finlay—ayah Jessie. "Jangan kirim aku ke sana!" Finlay menatap putrinya itu, ia terlihat bingung karena putrinya menolak mengurus perusahaan cabang miliknya yang sedang tidak stabil kondisinya. "Daddy nggak bisa pergi, Jes! Kamu tega perusahaan Daddy bangkrut?" tanya Finlay sedikit mengangkat kedua alisnya. Jessie mencebik sebal, bibirnya sudah mengerucut dua centi meter. "Kirim aku ke mana pun, ke Afrika juga boleh asal jangan kesana!" kekehnya tak mau tahu alasan ayahnya mengirim dirinya. "Jessie sayang, hanya kamu yang bisa Daddy percaya. Tolong ya!" Kini gantian Finlay yang memelas pada putrinya. Jessie terperanjat bingung, hal yang paling tidak bisa ia lihat a
"Mas Feri! Kamu kerja sama Daddy sudah berapa tahun?" tanya Jessie yang masih duduk di kursi penumpang dengan menyangga dagu menatap jalanan."Sudah sekitar lima tahun, Non!" jawabnya.Jessie mendeham, tatapannya masih tertuju pada jalanan yang sangat ramai sore itu. "Jangan pangil aku 'Non', bisa nggak Jessie aja!" pintanya."Ya, tapi nggak sopan!" Feri terlihat kikuk."Nggak apa, kalau kamu manggil 'Non' aku malah merasa aneh saja, lagi pula kamu nggak terlalu cukup tua dari aku, coba 'ku tebak! Umurmu pasti dua puluh delapan, hanya lebih tua dua tahun dariku, 'kan," ucapnya menebak.Feri mengusap tengkuknya kikuk, ia nyengir kuda seraya melirik bayangan Jessie dari kaca spion.Mobil itu masih melaju, tatapan Jessie menajam ketika melewati Mall terbesar di kota itu, apalagi kalau bukan PG Mall. "Apa dia masih kerja di sana? Kalau iya, maka aku tidak akan pe
Dodi yang tersadar jika Jessie menanti bantuan apa yang ingin dia minta pun tersenyum canggung, ia kemudian bertanya pada Jessie, merk kopi mana di antara dua kemasan di tangannya yang lebih nikmat.Mendengar pertanyaan Dodi tentu saja membuat Jessie hampir meledakkan tawa. Ia pikir bantuan apaan karena pemuda itu terlihat begitu serius."Ini!" Jessie menunjuk pada kemasan yang ada di tangan kanan Dodi.Setelah membantu memilihkan kopi untuk Dodi, Jessie langsung mengambil beberapa bungkus kemasan kopi yang ia inginkan, kemudian pergi dari tempat di mana Dodi masih berdiri mematung.Tersadar jika gadis yang sempat mengalihkan dunianya berlalu, Dodi secepat kilat mengejarnya yang sudah berdiri di mesin kasir."Semuanya dua ratus empat puluh lima ribu," kata kasir itu seraya memasukkan barang Jessie ke kantong.Jessie membuka dompetnya hendak mengambil lembaran uang dari sana, tapi te
"Ji, putramu mana?" tanya Jessie."It's time for me, tentu saja dia sama neneknya. Hahahaha." Jihan tertawa lepas, ia memang sengaja menitipkan putranya kepada sang nenek."Kita udah nikah, dapat bonus juga. Kamu kapan? Umur udah matang, jangan sampai nunggu perawan tua baru nikah!" cibir Shelly."Hei, hei! Mulut ibu-ibu ternyata lebih pedas dari sambal setan!" cibir Jessie balik."Ingat, kamu lagi hamil jadi jangan banyak marah-marah. Nanti darting, terus kata orang jawa kalau lagi hamil lalu benci sama orang, anaknya bakal mirip yang kamu benci. Mau anakmu mirip aku," timpal Jessie. "Eh, kayak aku tak apa, aku 'kan cantik," imbuh Jessie memuji diri sendiri."Cih, amit-amit mirip kamu, yang ada nanti anakku nggak laku kayak kamu meski cantik," cibir Shelly sedikit mendecih dengan mengusap perutnya yang besar."Ih ... kamu ya, suka banget doain aku nggak laku, ucapan adalah doa, kam
Diruang tempat bertemunya bagian penanggung jawab pinjaman, karyawan Arkan sedang melakukan diskusi dengan perwakilan Smith Company."Tidak bisa Nona, perusahaan Anda sedang tidak stabil dan kami lihat kalau harga saham saja sedang mengalami penurunan yang signifikan. Jadi kami tidak berani memberikan pinjaman dengan jumlah yang perusahaan Anda ajukan,"ujar karyawan itu."Tapi harga saham kami masih di atas rata-rata meski mengalami penurunan, bagaimana bisa kalian tidak mempertimbangkannya juga?""Tapi ini sudah peraturan, kami hanya bisa memberikan pinjaman antara lima puluh hingga tujuh puluh milyar saja," tandas karyawan itu.Jessie mendesah kasar, biaya operasional juga gaji karyawan yang sudah menunggak sebulan harus segera dibayarkan. Jika pinjaman yang diajukan kurang dari seratus, maka ia khawatir jika itu tidak bisa mencukupi mengingat kalau kas anak cabang perusahaan ayahnya itu sudah benar-benar me
"Kenapa?" tanyanya membuka percakapan mereka."kenapa apanya?" tanya Jessie balik mengalihkan tatapannya ke arah lain untuk menghindari tatapan Arkan.Arkan mengurai kedua tangannya, mengalihkannya ke kedua sisi kursi, bertumpu untuk mengunci Jessie di kursi yang diduduki. Ia menatap tajam mata gadis itu yang terus menghindari tatapannya."Jessie! Kenapa minta putus?!" Arkan menanyakan pertanyaan yang terus mengganjal di hatinya selama dua tahun ini."Tidak bisakah kita mengesampingkan urusan pribadi? Kita sedang di kantor, kenapa tidak membicarakan masalah bisnis!" kilah Jessie masih mencoba menghindar."Jangan mengalihkan pembicaraan, aku tidak akan membahas masalah bisnis sebelum tahu jawaban tentang pertanyaan yang tidak pernah kamu jawab!" paksanya.Jessie memejamkan mata sekilas, tidak ada alasan kenapa dirinya meminta putus. Hanya rasa bersalah karena terus memberi mimpi pada
Dodi langsung masuk ketika Feri pergi mengikuti Jessie. Ia terkejut ketika melihat Arkan sedang kesakitan karena kakinya terkena injakan sepatu fantofel milik Jessie."Kamu kenapa? Dan apa yang kamu lakukan, Ar!" Dodi menyelidik."Ahh ... bukan urusanmu!" Arkan masih dalam mode kesal.Arkan kembali ke kursinya, sungguh ia tidak menyangka kalau Jessie akan sampai sedikit kasar padanya. Arkan menyentuh bibirnya dengan jemari, ia bisa merasakan dinginnya bibir Jessie. "Apa sebegitu takutnya dia denganku sampai tubuhnya terlihat gemetar," gumamnya dalam hati."Ar! Kamu nggak melakukan pelecehan, 'kan! Tadi aku lihat dia keluar seraya menutup mulutnya," tuduh Dodi menatap curiga pada Arkan.Arkan hanya diam, ia enggan menanggapi perkataan Dodi, pikirannya masih tertuju pada Jessie. Beribu pertanyaan terus berputar di otaknya, kenapa dia tidak ingin kembali? Kenapa dia menolak?"Apa dia sudah menikah?" Arkan bertanya-tanya dalam hati. "Jika iya, lalu ak
Tian sudah berada di depan pintu kamar Jessie, pria itu sudah diberikan nomor kombinasi untuk membuka pintu oleh gadis itu sehingga langsung bisa masuk."Jes!" pangilnya mencari keberadaan Jessie.Tian berjalan menuju kamar yang terdapat di sana, pria itu membuka pintu kemudian melihat Jessie yang berbaring dengan selimut yang membungkusnya."Jes!" panggilnya lagi seraya berjalan mendekat ke ranjang Jessie."Ti-an, kamu sudah datang!" Jessie ingin membuka matanya tapi terasa berat.Tian langsung duduk di tepian ranjang Jessie, membuka selimut dan melihat keadaan gadis itu. Pria itu melihat ruam di kedua tangan Jessie yang membuatnya mendesah kasar."Sudah kamu minum obatmu?" tanya Tian.Jessie hanya mengangguk lemah, kepalanya masih terasa berat. Tian berdiri kemudian membuka koper yang ia bawa. Bukan pakaian yang ada di sana tapi peralatan medis, seperti stetoskop, cairan infus, obat-obatan juga selang dan penunjang lainnya.T