"Begini Nis, mungkin sebelumnya sudah abah sampaikan, bahwa sebelum ibumu meninggal, ia berwasiat menitipkanmu pada kami. Untuk itu, kedatangan kali ini bermaksud mengajakmu tinggal bersama di rumah kami. Karena bagaimanapun kamu masih butuh bimbingan, meski boleh dibilang telah dewasa, akan tetapi sangat riskan jika seorang gadis tinggal di rumah sendirian. Ya, walaupun berdekatan dengan rumah Mak Dijah, tetapi tidak setiap saat Mak Dijah bisa mengawasimu, kan? Mak Dijah juga punya keluarga yang harus diperhatikan, bukankah begitu Mak Dijah?" tanya Pak Kyai sambil mengalihkan pandangannya ke Mak Dijah. MakDijah yang duduk di sebelahku mengangguk-angguk, mengiyakan kata-kata Pak Kyai.
"Insyaallah kami akan siap membimbing dan mendampingimu, Nis. Memenuhi segala kebutuhan hidup dan sekolahmu. Anggaplah kami sebagai pengganti ibu dan bapakmu. Ya, meskipun kami paham tidak ada yang bisa menggantikan posisi itu, Nis. Paling tidak kami akan sangat lega karena sudah menunaikan pesan terakhir ibumu." Bu Nyai menimpali kata-kata Pak Kyai."Iya, Nis .... Tinggalah bersama abah dan umi mi, jadilah bagian dari keluarga kami. Agar kamu tidak kesepian, dan bisa kembali melanjutkan sekolah." Mas Iqbal ikut menimpali anjuran ayahnya.Aku hanya bisa menunduk. Meski yakin, apa yang mereka tawarkan itu tulus dan ikhlas, tetapi aku tidak bisa mengiyakan begitu saja. Butuh pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan besar ini. Aku tak bisa berkata-kata, hanya tertegun untuk sejurus kemudian memandang wajah Mak Dijah, meminta pertimbangan pada wanita seusia ibu.Meski sebelumnya Pak Kyai pernah menyampaikan hal itu sesaat setelah ibu menghadap Illahi, tetapi aku sama sekali belum bisa memberikan kepastian. Sepertinya bukan hanya pesan terakhir ibu yang menjadi alasan beliau ingin mengasuhku, tetapi juga karena kepedulian beliau pada anak yatim piatu dan anak-anak yang tidak mampu. Sepertinya Mak Dijah dapat membaca tatapan mataku, dengan sopan wanita bersuara cempreng itu mohon izin untuk menyampaikan pendapatnya."Mohon maaf, Pak Kyai, Bu Nyai .... Untuk saat ini mungkin Nisa belum bisa mengambil keputusan. Kalau boleh saya usul biarkan Nisa mempertimbangkan semuanya. Karena jujur, saya pun tidak tega jika Nisa harus tinggal seorang diri di rumah ini. Sementara saya juga tidak bisa menemaninya terus-menerus setiap saat. Apalagi Nisa juga masih harus melanjutkan sekolah, yang pasti butuh biaya tidak sedikit. Kalau sekolahnya berhenti juga sayang, sudah kelas tiga, sebentar lagi lulus." Tanpa mengurangi rasa hormat Mak Dijah menyampaikan pendapatnya."Benar Mak Dijah, tak apa jika sekarang Nisa masih bimbang. Mintalah petunjuk pada Allah, cobalah salat Istikharah. InshaAllah akan ditunjukkan mana yang terbaik." Dengan arif Pak Kyai menimpali kata-kata Mak Dijah. Tak lupa aku dan Mak Dijah menghaturkan terima kasih pada niat baik Pak Kyai dan Bu Nyai. Setelah mengobrol ringan, tak berapa lama mereka berpamitan untuk pulang."Rumah kami terbuka kapan pun kamu siap Nis. Jangan sungkan, ya ..." kata Bu Nyai sembari meraihku dalam pelukannya.Pak Kyai pun meng-iya-kan kata-kata istrinya. Tangannya mengelus-elus pucuk kepalaku. Sementara Mas Iqbal hanya terdiam, beberapa kali tanpa sengaja pandangan kami bertemu, tetapi sejurus kemudian kami saling menunduk. Entah apa yang ada dalam benaknya ....***Pagi ini aku sudah mantap menerima tawaran Pak Kyai untuk tinggal di rumahnya. Mak Dijah mengantarku ke rumah yang berada satu kompleks dengan masjid terbesar di kampung ini. Dengan suka cita mereka menerima kedatangan kami."Ya begini, Nis, sepi rumah ini. Kemarin masih ada Iqbal, tadi ba'da Subuh dia sudah kembali ke Semarang, jadi sekarang cuma berduaan sama umi," kata Pak Kyai sambil terkekeh.Suara Pak Kyai mengingatkanku pada almarhum bapak. Semoga bapak bahagia di sana, kini ibu sudah menyusul bapak. Setelah beberapa saat kami berbasa-basi, akhirnya Mak Dijah menyampaikan kemantapan hatiku untuk tinggal di rumah tokoh agama yang disegani itu."Alhamdulillah .... " Spontan Pak Kyai dan Bu Nyai bersamaan mengucap kata syukur."Anggaplah rumah ini seperti rumahmu sendiri, Nis. Anggap juga kami sebagai orang tuamu. Jangan sungkan-sungkan dan malu-malu di sini. Bertanyalah jika kamu belum tahu. Pasti semua orang di sini siap membantu," ujar Bu Nyai dengan senyum khasnya."Almarhumah ibumu pasti akan senang di alam sana karena keinginan terakhirnya terpenuhi. Jangan lupa doakan dia terus. Biar Gusti Allah memberikan tempat terbaik untuknya." Ah, Pak Kyai seperti tahu apa yang semalam aku mimpikan.Ya, semalam usai salat Istikharah aku bermimpi bertemu ibu. Beliau terlihat cantik dengan gamis dan kerudung serba putih seperti saat terakhir aku melihatnya hendak berangkat ke majelis. Ibu tidak berkata apa pun, hanya tersenyum dan memandangku beberapa saat untuk kemudian membalikkan badan membelakangi ku."Ibuuu ...." Aku memanggil sambil mendekat ke arahnya. Namun, ibu tetap diam dan tanpa menoleh melangkah meninggalkanku.Aku tak bisa berucap, heran dengan sikap ibu yang mengabaikan diri ini. Tanpa ragu ku ikuti langkahnya sambil terus memanggilnya. Berharap wanita berparas manis itu menoleh. Namun, harapanku sia-sia karena ibu terus berjalan tanpa sekejap pun menoleh ke arahku.Tiba-tiba, ibu berhenti di halaman sebuah rumah besar, menatapku dengan senyumnya yang teduh. Tanpa pikir panjang aku segera menghambur ke dalam pelukannya. Kerinduan pada ibu yang membuncah sejenak terobati. Beberapa saat kami berpelukan, ibu merengkuh pundakku erat sekali. Tanpa kata, tanpa suara, wanita yang telah melahirkanku itu memeluk diri ini. Membuatku hanyut dalam dekapannya dan tertidur layaknya bayi dalam buaian.Aku terbangun saat sayup-sayup terdengar suara azan dari masjid di samping rumah besar itu. Pelan-pelan aku melepas pelukan ibu, dan bersamaan dengan itu aku tersadar kalau ternyata semua itu hanya mimpi. Namun, semua itu tergambar nyata dalam ruang benakku. Tentang sosok ibu juga tentang rumah besar di samping masjid.Ah, bukankah itu rumah Pak Kyai Hambali? Subhanallah ... apa tafsir dari mimpi ini ya, Allah? Apakah ini petunjuk dari-Mu ya, Rabb? Agar aku menerima tawaran Pak Kyai dan Bu Nyai untuk tinggal bersamanya? Menjadi anak asuhnya dan menjadi bagian dari keluarganya? Entahlah, seperti ada dorongan yang mengarahkan dan memantapkan hati ini untuk menerima tawaran Pak Kyai. Semoga dengan keputusan ini, ibu bahagia di alam sana. Nisa berjanji akan terus mendoakan ibu dan bapak.Lalu, tentang rasaku pada Mas Iqbal sebisa mungkin akan aku simpan lebih rapi di bilik hati. Biarlah hanya aku dan Allah yang tahu rasa ini. Aku akan berusaha menjaga sikap saat di depannya, agar tidak gugup dan salah tingkah lagi. Toh belum tentu Mas Iqbal juga punya rasa yang sama. Daripada nanti kecewa, lebih baik dari awal belajar menganggap dia biasa saja.Lagi pula, aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Pak Kyai dan Bu Nyai jika tahu kalau ternyata aku, Khairunnisa--yang tak lain adalah anak asuhnya--diam-diam menaruh hati pada putra bungsunya. Tentu mereka punya kriteria sendiri tentang menantu idaman, yang cantik, pintar dan tentunya dari keluarga terpandang.Untuk poin satu mungkin aku masuk, wajahku tidak jelek-jelek amat bahkan banyak yang bilang sepintas aku mirip Citra Kirana saat memakai jilbab, Hemm ....Untuk poin kedua aku juga masuk. Sejak SD hingga hampir lulus SMK aku selalu masuk rangking lima besar dan sering menyabet juara dalam berbagai lomba.Namun, aku kalah di poin ketiga. Diriku bukan dari keluarga terpandang. Seorang yatim piatu, hanya anak asuh dari keluarga ini. Hatiku menciut jika sadar dengan keadaan. Akan tetapi, bukankah cinta tidak mengenal kasta? Tak peduli dengan harta dan takhta?Ah sudahlah ....Yang terpenting bagiku saat ini bisa melanjutkan sekolah, lalu lulus dengan nilai bagus dan bisa secepatnya bekerja. Agar aku tidak terlalu lama merepotkan keluarga Pak Kyai. Meski mungkin bagi mereka menyantuni anak yatim piatu sepertiku adalah sebagai ladang pahala.Sore hari, setelah menyampaikan kemantapan hati tinggal di rumah Pak Kyai, aku segera berkemas. Dibantu Mak Dijah aku memasukkan seluruh seragam sekolah dan beberapa stel baju harian ke dalam tas besar. Sedangkan buku-buku dan alat sekolah lainnya aku kemas rapi dengan kardus bekas. Sengaja aku tidak langsung membawa semua barang-barang, agar bisa bolak-balik ke rumah. Bagaimana juga banyak kenangan tercipta di rumah ini. Alhamdulillah Pak Kyai dan Bu Nyai tidak keberatan dengan permintaanku. "Ndak papa, Nis. Kamu bawa saja barang yang dirasa perlu dulu. Lainnya bisa nyicil besok-besok. Toh, rumahmu dekat. Atau mau aku panggilkan Pakde Tono biar diangkut pakai truk? Hehehe ...?" canda Bu Nyai. Pakde Tono adalah sopir truk di tempat penggilingan padi Pak Kyai. "Nggak usah, Bu Nyai, terimakasih ... biar saya boncengkan saja naik sepeda. Wong barang-barang saya cuma dikit. Saya nggak mau merepotkan Pakde Tono," jawabku jujur. "Hehehe ... kamu itu loh, Nis ... kok lugu banget, wong aku
Selain Pak Kyai dan Bu Nyai, ada sepasang suami istri separuh baya yang sehari-hari membantu di rumah ini. Mereka menempati rumah kecil di belakang rumah besar ini. Kang Sarman dan Yu Girah nama suami istri itu. Kang Sarman bertugas membantu membersihkan masjid dan pekarangan sekitar rumah. Sedang Yu Girah membantu Bu Nyai di dapur dan membersihkan rumah, serta pekerjaan rumah tangga lainnya. Sedikit cerita dari Yu Girah, katanya keluarganya sudah turun temurun bekerja pada keluarga ini. Pak Kyai dan Bu Nyai memperlakukan mereka dengan sangat baik, hingga mereka betah bertahun-tahun bekerja di sini. Padahal anak-anak mereka semua sudah hidup berkecukupan dan berkali-kali menawari untuk ikut bersamanya, namun mereka tetap bersikukuh tinggal di sini. Beruntung sejak kecil aku terbiasa bangun sebelum subuh, hingga tidak kaget saat awal-awal tinggal di rumah ini. Sudah menjadi kewajiban dan kebiasaan seluruh penghuni rumah harus menunaikan salat Subuh berjamaah di masjid. Setelah salat
GADIS BERKERUDUNG BIRUHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat tatap mata kita bertemuSaat senyum tersungging di bibirmuSaat pipimu menjadi merah daduLalu kau tertunduk maluHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat jarak memisahkanku darimuSaat tak kudengar merdu suaramuAda selaksa rindu yang menggebuEntah kapan tiba waktu itu ?Waktu di mana kan ungkap rasaku padamuHai, Gadis Berkerudung Biru ....Tahukah kau apa yang ada di kalbu?Saat kusebut namamu di untaian doakuHanya satu yang kuminta pada Rabb-kuJadikanlah engkau RatukuDan bersemayam abadi di kalbuM. I. HambaliBerulang kali kubaca tiga bait puisi pada secarik kertas berwarna biru. Aku bisa memastikan kalau puisi itu Mas Iqbal yang membuat, karena di sudut kanan bawah tertera inisial namanya, Muhammad Iqbal Hambali.Gadis Berkerudung
"Oh, begitu ... tapi maaf sebelumnya, rumah saya ndak bagus, kecil pula." Aku mengatakan apa adanya."Wah, nggak papa Mbak Nisa, yang penting bisa buat berteduh, karena saya di sini nggak cuma sehari dua hari, jadi memang butuh tempat tinggal, gak masalah besar atau kecil, bagus atau jelek , yang penting bisa ditempati," ujar Mas Ilham jujur."Iya, Nis ... tadi Mas Ilham sudah lihat-lihat rumahmu, dan katanya cocok, selain dekat dengan Balai Desa, rumahmu juga dekat masjid, bukan begitu Mas Ilham ...?" Mak Dijah sepertinya mendukung keinginan Mas Ilham.Mak Dijah benar juga, kalau ada yang menempati otomatis ada yang membersihkan dan merawat rumahku."Iya, Nis .... Lebih baik biar ditempati Mas Ilham selama beliau tugas di sini, sayang kalau terlalu lama kosong, jadi terlihat gimana gitu?" Ujar Bu Nyai sambil melirik Pak Kyai."Benar, Nis ... saran kami kalau ada yang menempati itu sangat bagus. Toh kamu sudah di sini, tidak bisa rutin merawat. Tapi semua kembali sama kamu, membolehkan
Sore ini tanpa memberi tahu terlebih dahulu, Mas Ilham menjemputku kuliah. Aku kaget ketika melihatnya duduk di atas motor matic warna hitam miliknya, menungguku di depan gerbang kampus. Aku tak bisa menolak saat dia mengajak ke pantai yang lokasinya tak jauh dari kampus. Hanya butuh waktu lima menit kami sudah sampai di pantai yang menjadi ikon wisata di kotaku. Mungkin karena akhir pekan, sore ini pantai lumayan ramai. Selain para nelayan, pantai ini banyak dikunjungi para pelancong dari dalam maupun luar kota. Kami duduk di salah satu gazebo, menghadap ke laut lepas melihat pemandangan yang memanjakan mata."Aku mau bicara serius denganmu, Dik." Setelah beberapa saat kami berbasa-basi akhirnya Mas Ilham menyampaikan maksudnya menjemputku lalu mengajakku kesini. Sejak kami akrab, Mas Ilham mengubah panggilannya padaku, kalau sebelumnya dia memanggilku Mbak Nisa sekarang menjadi Dik Nisa. Aku tidak keberatan dengan panggilan itu, toh usiaku memang tujuh tahun lebih muda darinya."Ten
Aku baru keluar dari masjid usai pengajian rutin remaja, saat kulihat mobil sedan warna silver berhenti di halaman. Tak lama kemudian seorang gadis cantik berkerudung keluar dari pintu depan mobil sebelah kanan. pencahayaan yang cukup terang membuat diri ini bisa melihat jelas sosoknya. Penampilannya sangat modis, memakai celana jeans coklat dipadu dengan tunik panjang motif bunga-bunga warna salem dengan kerudung warna senada. Kedua ujung kerudung bagian depan diikat ke belakang memperlihatkan kalung manik-manik besar warna maron di dadanya. Tak ketinggalan tas kulit dengan brand terkenal ia cangklong di pundak. Aku lihat hak sepatunya tinggi dan runcing. Tak terbayang jika aku yang memakainya, pasti akan kerepotan berjalan dan keseleo berkali-kali.Gadis itu tersenyum saat melihatku berdiri mengawasinya. Aku membalas senyumnya."Assalamualaikum ...." Dia berjalan ke arahku, mengulurkan tangannya."Waalaikumsalam ...." Kami berjabat tangan."Saya Hanum, teman kuliah Iqbal, maaf bisa b
Kubiarkan saat Umi mengetok kamarku, mungkin Umi mengira aku telah terlelap. Aku tidak ingin Umi mendengar isak ini, melihat mataku sembab. Hingga Umi menanyakan apa penyebabnya. Tidak mungkin kan aku menceritakan semua ini pada Umi. Yang ada nanti Umi akan menilaiku sebagai anak yang tidak tahu diri, aku mengira-ngira sendiri reaksi Umi jika beliau tahu tentang perasaan ini.Hingga Subuh menjelang aku belum tidur sama sekali, ternyata begini rasanya patah hati. Benar kata almarhumah Ibu, jangan terlalu berharap pada Mas Iqbal. Mungkin karena Ibu tidak ingin melihatku terluka. Ibu ... seandainya beliau masih hidup, tentu akan kuluapkan tangis ini di pangkuanmu. Mencurahkan keluh kesah padamu dan tanganmu akan mengelus-ngelus pundakku hingga sakit ini sedikit terobati.***Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya, meski semalam nyaris tidak dapat tidur. Kuselesaikan tugas membersihkan rumah dengan cepat, lalu mandi kemudian segera bergegas ke toko. Aku menolak saat Umi dan Yu Girah
Seperti anjuran Umi, usai makan malam aku mohon restu pada Abah dan Umi. Selain mereka berdua, ada juga Mas Iqbal yang memang beberapa hari ini ada di rumah. Dia menunggu pelaksanaan wisuda bulan depan.Selama di rumah Mas Iqbal lebih sering ke penggilingan padi, dan hanya beberapa kali datang ke toko. Saat musim panen seperti sekarang ini, toko lebih sepi dari biasanya dan gantian penggilingan padi yang ramai."Abah sudah menduga sebelumnya Nis, dari tatapan Nak Ilham saat melihatmu, cara bicaranya padamu, hehehe .... Abah kan juga pernah muda, Nis." Abah terkekeh menanggapi ceritaku. Abah memang sering mengontrol toko dan beliau kerap mengobrol akrab dengan Mas Ilham."Iya, Nis... Umi dan Abah sering membicarakan kalian, sudah dari awal kami menangkap kalau Nak Ilham itu menaruh hati padamu, tapi Umi perhatikan sepertinya kamu sama sekali tidak merespons, adem ayem saja, bahkan terkesan cuek, tidak menanggapi sama sekali. Makanya kami pikir kamu tidak suka sama Nak Ilham, atau meman