Share

BAB. 3. WASIAT IBU

"Begini Nis, mungkin sebelumnya sudah abah sampaikan, bahwa sebelum ibumu meninggal, ia berwasiat menitipkanmu pada kami. Untuk itu, kedatangan kali ini bermaksud mengajakmu tinggal bersama di rumah kami. Karena bagaimanapun kamu masih butuh bimbingan, meski boleh dibilang telah dewasa, akan tetapi sangat riskan jika seorang gadis tinggal di rumah sendirian. Ya, walaupun berdekatan dengan rumah Mak Dijah, tetapi tidak setiap saat Mak Dijah bisa mengawasimu, kan? Mak Dijah juga punya keluarga yang harus diperhatikan, bukankah begitu Mak Dijah?" tanya Pak Kyai sambil mengalihkan pandangannya ke Mak Dijah. MakDijah yang duduk di sebelahku mengangguk-angguk, mengiyakan kata-kata Pak Kyai.

"Insyaallah kami akan siap membimbing dan mendampingimu, Nis. Memenuhi segala kebutuhan hidup dan sekolahmu. Anggaplah kami sebagai pengganti ibu dan bapakmu. Ya, meskipun kami paham tidak ada yang bisa menggantikan posisi itu, Nis. Paling tidak kami akan sangat lega karena sudah menunaikan pesan terakhir ibumu." Bu Nyai menimpali kata-kata Pak Kyai.

"Iya, Nis .... Tinggalah bersama abah dan umi mi, jadilah bagian dari keluarga kami. Agar kamu tidak kesepian, dan bisa kembali melanjutkan sekolah." Mas Iqbal ikut menimpali anjuran ayahnya.

Aku hanya bisa menunduk. Meski yakin, apa yang mereka tawarkan itu tulus dan ikhlas, tetapi aku tidak bisa mengiyakan begitu saja. Butuh pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan besar ini. Aku tak bisa berkata-kata, hanya tertegun untuk sejurus kemudian memandang wajah Mak Dijah, meminta pertimbangan pada wanita seusia ibu.

Meski sebelumnya Pak Kyai pernah menyampaikan hal itu sesaat setelah ibu menghadap Illahi, tetapi aku sama sekali belum bisa memberikan kepastian. Sepertinya bukan hanya pesan terakhir ibu yang menjadi alasan beliau ingin mengasuhku, tetapi juga karena kepedulian beliau pada anak yatim piatu dan anak-anak yang tidak mampu. Sepertinya Mak Dijah dapat membaca tatapan mataku, dengan sopan wanita bersuara cempreng itu mohon izin untuk menyampaikan pendapatnya.

"Mohon maaf, Pak Kyai, Bu Nyai .... Untuk saat ini mungkin Nisa belum bisa mengambil keputusan. Kalau boleh saya usul biarkan Nisa mempertimbangkan semuanya. Karena jujur, saya pun tidak tega jika Nisa harus tinggal seorang diri di rumah ini. Sementara saya juga tidak bisa menemaninya terus-menerus setiap saat. Apalagi Nisa juga masih harus melanjutkan sekolah, yang pasti butuh biaya tidak sedikit. Kalau sekolahnya berhenti juga sayang, sudah kelas tiga, sebentar lagi lulus." Tanpa mengurangi rasa hormat Mak Dijah menyampaikan pendapatnya.

"Benar Mak Dijah, tak apa jika sekarang Nisa masih bimbang. Mintalah petunjuk pada Allah, cobalah salat Istikharah. InshaAllah akan ditunjukkan mana yang terbaik." Dengan arif Pak Kyai menimpali kata-kata Mak Dijah. Tak lupa aku dan Mak Dijah menghaturkan terima kasih pada niat baik Pak Kyai dan Bu Nyai. Setelah mengobrol ringan, tak berapa lama mereka berpamitan untuk pulang.

"Rumah kami terbuka kapan pun kamu siap Nis. Jangan sungkan, ya ..." kata Bu Nyai sembari meraihku dalam pelukannya.

Pak Kyai pun meng-iya-kan kata-kata istrinya. Tangannya mengelus-elus pucuk kepalaku. Sementara Mas Iqbal hanya terdiam, beberapa kali tanpa sengaja pandangan kami bertemu, tetapi sejurus kemudian kami saling menunduk. Entah apa yang ada dalam benaknya ....

***

Pagi ini aku sudah mantap menerima tawaran Pak Kyai untuk tinggal di rumahnya. Mak Dijah mengantarku ke rumah yang berada satu kompleks dengan masjid terbesar di kampung ini. Dengan suka cita mereka menerima kedatangan kami.

"Ya begini, Nis, sepi rumah ini. Kemarin masih ada Iqbal, tadi ba'da Subuh dia sudah kembali ke Semarang, jadi sekarang cuma berduaan sama umi," kata Pak Kyai sambil terkekeh.

Suara Pak Kyai mengingatkanku pada almarhum bapak. Semoga bapak bahagia di sana, kini ibu sudah menyusul bapak. Setelah beberapa saat kami berbasa-basi, akhirnya Mak Dijah menyampaikan kemantapan hatiku untuk tinggal di rumah tokoh agama yang disegani itu.

"Alhamdulillah .... " Spontan Pak Kyai dan Bu Nyai bersamaan mengucap kata syukur.

"Anggaplah rumah ini seperti rumahmu sendiri, Nis. Anggap juga kami sebagai orang tuamu. Jangan sungkan-sungkan dan malu-malu di sini. Bertanyalah jika kamu belum tahu. Pasti semua orang di sini siap membantu," ujar Bu Nyai dengan senyum khasnya.

"Almarhumah ibumu pasti akan senang di alam sana karena keinginan terakhirnya terpenuhi. Jangan lupa doakan dia terus. Biar Gusti Allah memberikan tempat terbaik untuknya." Ah, Pak Kyai seperti tahu apa yang semalam aku mimpikan.

Ya, semalam usai salat Istikharah aku bermimpi bertemu ibu. Beliau terlihat cantik dengan gamis dan kerudung serba putih seperti saat terakhir aku melihatnya hendak berangkat ke majelis. Ibu tidak berkata apa pun, hanya tersenyum dan memandangku beberapa saat untuk kemudian membalikkan badan membelakangi ku.

"Ibuuu ...." Aku memanggil sambil mendekat ke arahnya. Namun, ibu tetap diam dan tanpa menoleh melangkah meninggalkanku.

Aku tak bisa berucap, heran dengan sikap ibu yang mengabaikan diri ini. Tanpa ragu ku ikuti langkahnya sambil terus memanggilnya. Berharap wanita berparas manis itu menoleh. Namun, harapanku sia-sia karena ibu terus berjalan tanpa sekejap pun menoleh ke arahku.

Tiba-tiba, ibu berhenti di halaman sebuah rumah besar, menatapku dengan senyumnya yang teduh. Tanpa pikir panjang aku segera menghambur ke dalam pelukannya. Kerinduan pada ibu yang membuncah sejenak terobati. Beberapa saat kami berpelukan, ibu merengkuh pundakku erat sekali. Tanpa kata, tanpa suara, wanita yang telah melahirkanku itu memeluk diri ini. Membuatku hanyut dalam dekapannya dan tertidur layaknya bayi dalam buaian.

Aku terbangun saat sayup-sayup terdengar suara azan dari masjid di samping rumah besar itu. Pelan-pelan aku melepas pelukan ibu, dan bersamaan dengan itu aku tersadar kalau ternyata semua itu hanya mimpi. Namun, semua itu tergambar nyata dalam ruang benakku. Tentang sosok ibu juga tentang rumah besar di samping masjid.

Ah, bukankah itu rumah Pak Kyai Hambali? Subhanallah ... apa tafsir dari mimpi ini ya, Allah? Apakah ini petunjuk dari-Mu ya, Rabb? Agar aku menerima tawaran Pak Kyai dan Bu Nyai untuk tinggal bersamanya? Menjadi anak asuhnya dan menjadi bagian dari keluarganya? Entahlah, seperti ada dorongan yang mengarahkan dan memantapkan hati ini untuk menerima tawaran Pak Kyai. Semoga dengan keputusan ini, ibu bahagia di alam sana. Nisa berjanji akan terus mendoakan ibu dan bapak.

Lalu, tentang rasaku pada Mas Iqbal sebisa mungkin akan aku simpan lebih rapi di bilik hati. Biarlah hanya aku dan Allah yang tahu rasa ini. Aku akan berusaha menjaga sikap saat di depannya, agar tidak gugup dan salah tingkah lagi. Toh belum tentu Mas Iqbal juga punya rasa yang sama. Daripada nanti kecewa, lebih baik dari awal belajar menganggap dia biasa saja.

Lagi pula, aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Pak Kyai dan Bu Nyai jika tahu kalau ternyata aku, Khairunnisa--yang tak lain adalah anak asuhnya--diam-diam menaruh hati pada putra bungsunya. Tentu mereka punya kriteria sendiri tentang menantu idaman, yang cantik, pintar dan tentunya dari keluarga terpandang.

Untuk poin satu mungkin aku masuk, wajahku tidak jelek-jelek amat bahkan banyak yang bilang sepintas aku mirip Citra Kirana saat memakai jilbab, Hemm ....

Untuk poin kedua aku juga masuk. Sejak SD hingga hampir lulus SMK aku selalu masuk rangking lima besar dan sering menyabet juara dalam berbagai lomba.

Namun, aku kalah di poin ketiga. Diriku bukan dari keluarga terpandang. Seorang yatim piatu, hanya anak asuh dari keluarga ini. Hatiku menciut jika sadar dengan keadaan. Akan tetapi, bukankah cinta tidak mengenal kasta? Tak peduli dengan harta dan takhta?

Ah sudahlah ....

Yang terpenting bagiku saat ini bisa melanjutkan sekolah, lalu lulus dengan nilai bagus dan bisa secepatnya bekerja. Agar aku tidak terlalu lama merepotkan keluarga Pak Kyai. Meski mungkin bagi mereka menyantuni anak yatim piatu sepertiku adalah sebagai ladang pahala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status