Ruben duduk di depan piano, jari jemarinya menari di atas tuts piano, melantunkan nada demi nada. Membentuk irama yang indah. Ia sedang memainkan Moonlight kesukaan Melanie. Melanie sendiri berdiri bersandar badan piano, kedua lengannya ia tidurkan di atas badan piano itu, dagunya ia sanggakan di atas lengannya. Matanya lekat ke wajah Ben yang sedang asyik memainkan sebuah lagu untuknya. Melanie menyunggingkan senyum yang menawan, sudah lama mereka tidak seperti itu. Permainan piano Ruben memang indah, ia sangat berbakat dalam bidang itu. Ben menyelesaikan lagu itu sambil melirik gadis di sampingnya. "Permainan kamu tambah bagus!" puji Melanie. "Terima kasih, Nona. Tapi rasanya nggak adil jika Anda hanya menonton. Bersediakan Anda menyumbangkan sebuah lagu?" pintanya sambil bercanda. Melanie tertawa merdu. "Aku sedang malas menyanyi!" tolaknya. "Ayolah, please!" seru Ben sambil mengatupkan kedua belah telapak tangannya untuk memohon dengan wajah yang memelas pula, "Sudah lama aku
Ben menelepon Vera ketika sampai di depan rumahnya. Gadis itu berhambur keluar menghampiri mobil Ruben. Melanie sudah keluar dari mobil. "Hai Mel, sudah pulang?" tanyanya. "Sorry, keasyikan main kita jadi lupa kalau udah malam!" jawab Ben yang hanya menongolkan kepalanya dari kaca mobil. "Namanya juga lagi dimabuk cinta, pasti lupa waktu!" cetus Vera. Ben tersenyum, "Gue titip pacar gue ya, jagain loh!" balas Ben pada Vera. "Beres, aman kok! " Ben menoleh Melanie. "Inget ya, jangan ke mana-mana!" "Memangnya aku mau ke mana? Aku bukan tukang kelayapan seperti kamu!" "Sudah pulang sana, ini sudah malam!" usir Vera lalu menarik Melanie menjauh dari Ben dan masuk ke dalam rumah, kalau tidak begitu Ben tidak akan pulang-pulang. Akhirnya Ben memutar mobilnya juga dan meninggalkan rumah Vera. Malam itu Handy Wirata sudah ada di rumahnya kembali. Saat Ben memasuki rumah, papanya menghentikan langkahnya tepat di depannya di ruang tamu. "Dari mana saja, kebiasaanmu belum sembuh terny
Ben masih terdiam setelah mendapat telepon dari Vera. Melanie pergi. Orangtuanya datang ke rumah Vera dan mengancam semua yang ada di sana, itu sebabnya Melanie pergi. Ia kenal gadis itu, gadis yang tak pernah ingin menyakiti siapa pun. Ben pikir Melanie akan aman di rumah Vera, ternyata itu salah. Ia lupa siapa orang tuanya, tentu saja. Mereka akan sangat mudah menemukan Melanie dan berusaha membuat mereka terpisah. Rico menepuk bahunya. "Ada apa? Gue denger Melanie pergi. Pergi ke mana?" tanya Rico. "Entahlah, gue nggak tahu!" jawabnya. "Gue rasa kita harus pergi sekarang, kita cari Melanie!" tambah Rico. Mereka akhirnya berlari keluar sekolah, menuju mobil masing-masing. Tapi mereka tak pergi satu arah, mereka menyebar agar lebih mudah menemukan temannya. Melanie bejalan mengikuti kakinya, ia menyeka airmatanya sendiri. Maafkan aku, Ben. Aku nggak bisa menepati janjiku. Aku harus pergi!Ia sendiri tak tahu harus ke mana sekarang? Ia tak punya siapa pun. Sebenarnya ia tak cuk
Ben menatap Melanie dalam, ia berjanji untuk melindunginya. Tapi ia selalu saja membiarkan gadis itu tersakiti, ia selalu datang terlambat menolongnya. "Masuk yuk!" ajak Ben. "Apa?" sahut Melanie. "Pakaianmu kan basah, kita perlu ganti pakaian jika nggak ingin sakit!" jelasnya. Untuk saat ini Ben belum mau membahas peristiwa tadi. Itu pasti akan membuat Melanie sedih dan terluka. Ben keluar dari mobil, ia berjalan memutar dan membukakan pintu untuk Melanie. Melaniepun keluar dari mobil. Ben menuntunnya masuk ke salah satu butik. Begitu masuk seorang wanita cantik menghampiri mereka. "Selamat datang, silahkan!" serunya. Dia karyawan butik itu. "Ehm ... Mbak tolong bantu teman saya memilih baju yang cocok!" pinta Ben. Wanita itu mengangguk dan menuntun Melanie untuk memilih baju di bagian wanita. Ben sendiri memilih pakaian untuk dirinya sendiri. Ben duduk di sebuah kursi yang tersedia, menunggu Melanie selesai ganti pakaian. Tak terlalu lama, Melanie bukan wanita yang ribet dala
Selama dalam perjalanan di dalam mobil Melanie dan Ben diam. Amarah jelas terlihat sekali di wajah Ben, ia tak menyangka kalau ternyata semua yang terjadi dengan Melanie memang atas perintah keluarganya. Melanie menoleh, memerhatikan ekspresinya. "Ben, seharusnya kamu nggak berbicara kasar pada orangtamu, apalagi di depan banyak orang!" nasehatnya. "Mereka memang salah!" "Tapi nggak seharusnya kamu bersikap seperti itu. Bagaimana pun mereka orangtuamu, kamu harus tetap menghormati mereka!" "Menghormati kamu bilang? Apa kamu pikir mereka pantas untuk dihormati?" gerutunya mencengkeram setir. "Ben!" "Mereka yang membayar Fiki untuk melecehkanmu di depan mataku, mereka juga membayar Fiki untuk memperkosamu rame-rame!" teriak Ben. "Ben!" "Kamu dilecehkan di depanku. Fiki hampir memperkosamu dua kali, dan kamu masih bisa memaafkan mereka? Kamu masih bisa memaafkan merekaaa!" teriak Ben sambil membanting setir dan menginjak rem dengan geram. Membuat Melanie terkejut. Mobil itu mena
Erika mencoba menghubungi Ruben, tapi hpnya tidak aktif. Ia mulai mondar-mandir di ruang tamu. "Ma, duduklah!" seru Dennis. "Ke mana adikmu pergi, apa orangmu nggak ada yang menemukannya?" tanya Erika cemas. "Aku sudah menyuruh mereka mencari, tapi sejauh ini belum ada jejak!" "Suruh mereka mencari sampai dapat, Mama nggak mau tahu!" kesalnya. "Mungkin untuk sementara biarkan saja Ma, Ben butuh waktu untuk pulang." "Bagaimana kalau adikmu nggak mau pulang?" seru Handy. Dennis menoleh papanya. "Bagaimanapun caranya kamu harus menemukan dia, dan bawa dia pulang. Kalau perlu dengan cara paksa!" Sambungnya. Dennis terdiam, ia sekarang malah yang mengalami dilema. Di satu sisi orangtuanya memaksa untuk berpendapat sama, di sisi lain ia kasihan melihat adiknya seperti itu. Artika benar, Tuhan memudahkan jalan baginya tapi kenapa Tuhan tak melakukan hal yang sama terhadap adiknya? Ruben yang memiliki pendirian kukuh seperti papanya tetap bersikeras dengan jalan hidupnya sen
Jam 5 dini hari, Melanie keluar dari kamarnya setelah solat subuh. Ia berjalan ke kamar sebelah, membuka pintunya perlahan. Melanie cukup tercekat menemukan apa yang dilihatnya di dalam kamar itu. Ben sedang duduk di atas sajadah, kedua tangannya menenangadah ke atas. Sesekali ada isakan yang terdengar dari suaranya. "Hamba nggak akan meminta apa pun kecuali sedikit kebahagiaan untuk Melanie. Selama ini ... hamba selalu menyalahkan-Mu atas semua yang terjadi, ampuni hamba ya Allah ... Hanya kepada-Mu hamba memohon. Engkau yang mengetahui segala yang terbaik bagi kami, jika apa yang kami lakukan salah maka tegurlah kami. Berikannya kami jalan yang terbaik, agar kami tidak tersesat!" Terdengar Ben seperti menghirup ingusnya. "Engkau yang mengetahui apa-apa yang tidak kami ketahui. Hilangkanlah rasa takut ini ... yang selalu mendera jika malam datang, hamba sungguh sangat takut ... takut pada semua yang akan terjadi. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?" tangisnya. Melanie terdiam
Bangun pagi Melanie langsung ke dapur dan membuat sarapan, ia tak berani mengetuk pintu kamar Ruben. Ia tahu betul bagaimana pemuda itu jika sedang marah. Ben keluar kamar dan langsung duduk di meja makan, tapi ia tak menyentuh makanannya. Meletakkan kedua telapak tangannya yang ia satukan di depan mulutnya. Melanie menaruh teh manis hangat di depannya dan ikut duduk. Ia mengambilkan makanan untuk Ruben. Dan Ben juga belum menyentuh sendoknya. Melanie melirik, "Apa kamu masih marah soal semalam?" tanyanya, "Maafkan aku, aku nggak bermaksud berpikiran seperti itu. Kamu tahu, aku akan melakukan apa pun yang kamu katakan. Kamu tahu aku bahkan hampir nggak pernah membantahmu!" jelasnya. Ben masih diam, kali ini ia mengangkat sendoknya dan mulai menyendok sarapannya, memasukkannya ke mulut. Mengunyahnya pelan. "Ben, katakan sesuatu. Kamu tahu aku nggak bisa kalau kamu marah seperti ini!" "Aku nggak marah sama kamu!" sahutnya. "Apa!" "Harusnya aku yang minta maaf, karena telah bersik