Semua orang berkumpul di ruang keluarga, Dennis baru pulang dini hari tadi. Artika meyakinkannya bahwa tak sepenuhnya itu kesalahan dirinya. Kita tidak akan bisa mengulang waktu, yang bisa di lakukan sekarang hanyalah memperbaiki semuanya. Ya, itu benar. Kita tak akan bisa mengulang waktu dan mengubah yang telah terjadi. Handy Wirata, kini mengerti mereka memang lebih mementingkan bisnis bukan putranya. Ia bahkan tak mengenal siapa putranya. Mengingat apa yang terjadi pada Ben pasca meninggalnya melanie ia tahu betapa gadis itu sangat berarti bagi putranya. Dan selama ini gadis itulah yang mengisi kekosongan hidup Ruben. Setelah ini ia tak tahu apa yang akan terjadi, ia khawatir dengan keadaan psikis putra bungsunya. Sementara Erika sibuk mondar-mandir di depan keduanya. "Ma, duduklah!" pinta Dennis. "Apa menurut kalian Ben akan keluar kamar hari ini?" tanyanya cemas. "Ma, melihat dari apa yang terjadi semalam kurasa dia sudah mulai membaik!" jawab Dennis. "Mama takut mengetuk pi
Ben duduk di dapur di rumah yang dulu ia beli untuk Melanie tinggali. Di setiap sudut rumah itu ada wajah Melanie, ada tawanya, ada senyumannya. Ia jadi tersenyum sendiri mengingat dirinya sedang menunggu hidangan yang dibuat Melanie selesai sambil terus menggodai gadis itu. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya hingga ia terkejut. "Kunyuk loe!" serunya. Rico dan Tomi tertawa. "Loe tuh kadal tengik, senyum-senyum sendiri. Kirain udah normal loe!" samber Rico. "Sialan loe, emangnya gue gila!" "Eh, dia nggak nyadar!" keluh Tomi. "Loe tuh emang sempet gila sehari tahu nggak, nih buat sarapan. Loe belum ngisi perut kan!" tambahnya. Ruben melirik bungkusan McD yang ditaruh Tomi di meja, ia menyambarnya, membuka isinya dan langsung melahapnya. "Thanks! " jawabnya sambil mengunyah. "Kepsek bilang loe tetap boleh ikut UAN bulan depan , mengingat loe murid nomor satu dilihat dari otak!" seru Rico memberitahu temannya. "Kalau dari badung, nomor satu juga!" tambah Tomi. "Eh!" seru Rico.
Seperti biasa, tiga sekawan itu nongkrong di warung kopi Budhe Imah. Kawasannya memang tak terlalu ramai di jam-jam tertentu. Apalagi kalau udah larut gini. Kepulan asap putih mengudara dari mulut dan hidung cowo ganteng yang berambut sedikit pirang itu. Di atas meja di depannya, di dalam asbak telah terkumpul beberapa putung rokok yang telah padam. Tomi yang baru mendudukkan pantatnya menggeleng, "Anjir... baru gue tinggal nyetor sebentar udah ludes aja sebungkus!" Senyum miring terlukis di bibir Ben, "Lo nyetor apa ngerem, ampe setahun!" tangannya mengedikkan abu diujung rokok yang terselip di antara kedua jarinya ke asbak. Rico terkekeh, "Ngeremin anak siapa lo di toilet?" "Brengsek, gue bukan buaya macam die ...," Tomi melempar kulit kacang ke jidat Ruben. Yang dilempari tetap asyik menyesapi rokok di tangannya. "Ya kirain ... lama ngejomblo terus nemu bencong lo sekep deh!" kelakar Rico. "Bangsad lo, gue masih normal tahu!" semprot Tomi nonyor kepala Rico. Benda pipih
Jam istirahat baru saja mulai, tapi Ruben dan Sita sudah dari 30 menit yang lalu mereka beduaan di taman belakang sekolah. "Ben, apa lo nggak bisa serius sedikit saja dalam pacaran!" pinta Sita. "Buat apa terlalu serius, kita masih muda, lo nggak berfikir mau nikah muda kan?" jawab Ben memainkan rambut Sita. "Ya nggaklah, siapa juga mau nikah muda," jawab Sita. Mereka duduk bersandar di kursi taman, tangan Ruben merangkul pundak Sita. Melanie melihatnya, tapi dia diam saja dan malah menyingkir, tentu, untuk apa marah, dirinya dan Ruben hanya berteman. Tetapi beda dengan Andien, ia langsung saja melabrak ke sana. "Ben, gue cari-cari dari tadi rupanya lo di sini, ini lagi!" kata Andien menarik lengan Sita menjauh dari Ben, "Ngapain sih lo nemplok-nemplok ke Ruben!" tambah Andien. Sita melempar tangan Andien dari dirinya lalu berdiri. "Suka-suka gue dong, gue kan sekarang pacaran sama Ruben!" "Apa! Ben itu masih pacar gue!" "Mantan mulai sekarang!" Andien menatap cowo be
Melanie membuka matanya perlahan, dan ketika matanya terbuka penuh ia melihat wajah seorang pria tepat di depan matanya, ia pun membelalak dan terbangun. Tapi tangan Ben masih nyangkut di tubuhnya, karena dekapan itu cukup erat ia pun melayangkan sebuah tamparan ke wajah pemuda itu, membuatnya tersentak dan bangun sambil memegang pipinya yang terasa panas dan pedas. "Ah ... auw!" rintihnya, "ada apa ini?" tanyanya masih setengah tak sadar, ia mengucek matanya dengan tangannya yang lain untuk memperjelas pandangannya karena ia seperti melihat seseorang di depannya. Ben pun terbangun dan terjaga sepenuhnya. "Melanie, jadi lo yang nampar gue?" tanya Ben sambil bangkit duduk, "Pagi-pagi begini sudah main gampar!" "Karena kamu emang pantes dapat itu!" "Maksud lo? Tunggu-tunggu ... lo ngapain di sini?" tanya Ben meski ia sudah tahu Melanie sering berada di sana. "Semalam itu kamu mabuk, makanya aku ada di sini!" "Maksud lo ... kita ...." "Nggak, jangan mikir yang nggak-nggak de
"Eh, Tom. Kamu yang jemput aku?" tanya Melanie, pagi itu Tomi yang menjemputnya, "Lo berharap si palyboy tengik itu, ngarep banget sih lo sama dia!" "Yee, siapa juga, aku tuh cuman nanya!" "Emangnya gue nggak pernah jemput lo apa?" protes Tomi."Udah ah, ntar telat!" serunya naik ke motor Tomi, "Jalan!" sambungnya menepuk pundak temannya, mereka pun melaju ke sekolah. Ryo mengejar Vera yang terus menghindarinya, ""Ver, please ... kasih gue kesempatan sekali lagi!" pintanya sambil memegang lengan gadis itu dengan kuat, "Lepasin, Yo. Gue udah bilang sama lo gue nggak mau balikan sama lo!" katanya melepaskan diri dan terus berjalan. "Tapi Ver ...," "Cukup!" potongnya sambil berbalik ke Ryo yang terus mengikutinya, "Lo berhenti ikutin gue atau gue teriak nih!" ancam Vera lalu berbalik lagi dan melangkah, Ryo hanya diam memandang gadis itu berlalu darinya, kemudian ia meninju angin dengan kesal. Saat itu Ruben lagi ngumpul berempat di tangga, Vera melewati mereka, sempat melirik
Malam itu sekitar jam 11 Ruben masuk ke kamarnya, Dennis sedang di ruang kerja sehingga tak terlalu mendengar suara mobil adiknya yang memasuki halaman rumah mereka. Dennis melihat jam di dinding yang sudah menunjuk angka 11 lebih 20 menit. Ia menutup sebuah map dan berdiri dari kursinya, berjalan keluar dari ruang kerjanya dan menuju kamar adiknya, ia membuka pintu kamar Ruben perlahan dan melihat adiknya yang sudah berada di bawah selimut. Ia pun melangkah lebih dekat, menatap wajah adiknya yang terlelap, ia menjulurkan tangan dan mengusap rambut anak muda yang sedang tertidur itu, lalu ia keluar, menutup pintunya kembali. Ruben membuka mata setelah kakaknya menghilang di balik pintu, ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya, sengaja pura-pura tertidur karena tidak mau bertengkar di tengah malam begini. Dan rupanya ia senang dengan apa yang kakaknya lakukan tadi. Itu sudah lama sekali sejak terakhir kali Dennis melakukan hal itu, bahkan ia sudah lupa kapan. Ruben tersenyum la
Melanie datang ke tempat jogging, Ruben, Tomi dan Rico sedang duduk bertiga di tempat penjual bakso, mereka sudah selesai jogging, dan sedang istirahat. Melanie celingukan mencari teman-temannya, sudah seperempat jam ia mencari mereka tapi belum juga ketemu. Akhirnya ia menemukan tiga cowo itu yang sedang asyik ngobrol sambil makan bakso, Melanie menghampiri mereka tapi langkahnya terhenti saat melihat Bela mendekat di samping Rico. "Hai sayang!" sapanya duduk di samping Rico, "Hai!" jawab Rico yang wajahnya langsung sumringah, "Mau makan bakso?" tawarnya. "Nggak ah, nggak laper!" Melanie melanjutkan langkah mendekati mereka, Ruben melihatnya, "Hai Mel, lama banget sih?" "Aku kan harus bersihin rumah dulu!" jawabnya duduk di samping Ruben. "Sayang kita jalan yuk!" ajak Bela. "Bentar lagi ya, lagian gue belum mandi kita pulang dulu ya!" "Ganti baju aja, gue udah bawain baju buat lo, yuk!" katanya menarik lengan Rico. "Eh, gue jalan dulu ya, biasa!" serunya sambil berdiri. T