Jam istirahat baru saja mulai, tapi Ruben dan Sita sudah dari 30 menit yang lalu mereka beduaan di taman belakang sekolah.
"Ben, apa lo nggak bisa serius sedikit saja dalam pacaran!" pinta Sita. "Buat apa terlalu serius, kita masih muda, lo nggak berfikir mau nikah muda kan?" jawab Ben memainkan rambut Sita. "Ya nggaklah, siapa juga mau nikah muda," jawab Sita. Mereka duduk bersandar di kursi taman, tangan Ruben merangkul pundak Sita. Melanie melihatnya, tapi dia diam saja dan malah menyingkir, tentu, untuk apa marah, dirinya dan Ruben hanya berteman. Tetapi beda dengan Andien, ia langsung saja melabrak ke sana. "Ben, gue cari-cari dari tadi rupanya lo di sini, ini lagi!" kata Andien menarik lengan Sita menjauh dari Ben, "Ngapain sih lo nemplok-nemplok ke Ruben!" tambah Andien. Sita melempar tangan Andien dari dirinya lalu berdiri. "Suka-suka gue dong, gue kan sekarang pacaran sama Ruben!" "Apa! Ben itu masih pacar gue!" "Mantan mulai sekarang!" Andien menatap cowo bermata abu-abu itu. "Ben, loe nggak bakal mutusin gue gara-gara dia kan?" "Ya ... kalau lo masih mau jadi pacar gue juga nggak apa-apa, kalian kan bisa sharing!" jawab Ruben enteng. "Apa!" kata keduanya serempak. "Nggak, gue nggak mau putus sama lo!" seru Andien. "Gue juga nggak mau sharing sama lo, enak aja, Ruben itu punya gue sekarang, mendingan lo pergi deh!" suruh Sita. "Lo aja yang pergi, gue masih ada urusan sama Ben!" balas Andien. "Lo lama-lama nyolot ya, dasar cewe gatel!" maki Sita,. "Apa, lo tuh yang gatel, lo rebut Ben dari gue!" "Gue nggak ngrebut dia, lo aja yang nggak bisa buat dia seneng!" Mereka adu mulut cukup hebat, dan itu membuat Ben jenuh, akhirnya Ben menyingkir disaat keduanya masih berantem. Sementara, Melanie duduk di samping Rico dengan wajah lesu, Rico menoleh. "Eh, kenapa lo, kusut gitu kaya baju belum diseterika!" tanya Rico. "Aku bingung, kenapa sih temen kamu nggak pernah berubah?" "Temen gue, temen gue yang mana?" cengir Rico. "Ben!" "Yee ... dia temen lo juga!" Tomi tertawa, "Ruben itu nggak bakalan berubah, sampai bumi berubah rotasinya dia ya gitu-gitu aja, playboy kelas tengiri!" "Tapi aku nggak bisa lihat dia terus seperti itu, sekarang aja udah begini gimana kalau dewasa nanti!" "Aduh Mel, kalau lo terus mikirin si Ben, lo bisa stress sendiri!" seru Rico. "Makan nggak lo?" tawar Tomi. "Nggak laper!" jawabnya. *** Sita menunggu Ben di parkiran, tepatnya di samping mobil Ben, sementara Ben dan teman-temannya muncul bersamaan. Sita langsung menggadeng tangannya, "Ben, gue pulang sama lo ya, tapi ... anterin gue ke mall dulu, ada yang mau gue beli!" pinta Sita. "Gue mau pulang bareng temen-temen gue!" jawab Ben. "Sekali-kali nggak pulang bareng kenapa, mereka kan punya mobil sendiri!" Ruben melirik Melanie, gadis itu tahu harus bagaimana. "Nggak apa-apa, Ben. Aku pulang bareng Rico sama Tomi!" katanya. Ben masuk mobilnya diikuti Sita. Melanie, Rico dan Tomi masih berdiri, "Korban sakit hati lagi, ngomong-ngomong si Andien di kemanain?" tanya Tomi, entah pada siapa! "Pasti udah kelaut!" jawab Rico. "Bunuh diri?" "Berenang!" celetuk Rico memasuki mobil. Melanie mengikuti. Di dalam mobil, Rico melirik gadis itu yang melamun, "Udahlah Mel, nggak usah terlalu dipikirin, suatu saat dia juga bakal nyadar!" "Aku hanya berharap dia nggak menyia-nyiakan hidupnya seperti ini!" "Lo beneran suka sama Ruben?" Melanie tak menjawab pertanyaan Rico, ia melempar pandangan keluar mobil. Mengamati jalanan luar, ia berfikir, seandainya Ben tahu apa yang dirasakannya selama ini! Entah ... kenapa sejak pertama bertemu ia miliki perasaan sayang yang berbeda pada Ruben di banding teman-temannya. Ruben menemani Sita menghabiskan waktu di mall, shoping. Namanya juga cewe, tidak akan lepas dari hal itu, dan sebenarnya itu membuat Ben jenuh, hampir semua cewe yang ia pacari akan membawanya ke mall, ke salon, berbeda dengan Melanie, jika ia bersamanya mereka pasti hanya akan makan di lesehan, bercanda dan lebih lama di perpustakaan atau toko buku, meski begitu Ruben merasa lebih senang menemani Melanie ketimbang semua pacarnya. Bukan masalah, dia mengeluarkan uang untuk para pacarnya, hanya ... hal itu membuatnya boring. "Ben, makasih ya udah nememin gue, ntar malem lo ada acara nggak?" manja Sita yang bergelayut di lengannya. "Gue ada acara sama temen-temen gue!" "Nggak bisa dibatalin apa!" "Ya nggak bisalah, kan kita baru jalan!" "Gue kan masih pingin jalan sama lo!" "Masih ada lain waktu kali, udahlah pulang yuk!" katanya berjalan ke parkiran. *** Di Caffe, "Ben ke mana sih?" resah Melanie. "Kalau udah sama gebetannya pasti sering telat!" sahut Tomi. Di caffe itu Melanie menyanyi untuk menyambung hidupnya, dan caffe itu juga tempat nongkrong mereka. Ben datang dan langsung duduk di tempat Tomi dan Rico duduk, sementara Melanie kini sedang menyanyi. "Akhirnya lo dateng juga, kirain bakalan nungguin anak manja itu!" sinisRico. "Sita maksud lo!" "Siapa lagi!" sahut Tomi. "Fiuuh ...!" sahut Ben. "Tom, menurut lo berapa lama Sita bakal jadi gebetannya si kadal?" tanya Rico sambil memungut fries, memasukkannya ke mulut. "Paling besok juga udah dilempar," suara Tomi setengah acuh sambil mendekatkan gelas berisi cairan coklat. Rico mengangkat satu alis, "Taruhan yuk, lima juta. Sita bakal bertahan lebih dari tiga hari." Tomi menyunggingkan senyum kecut, "Siapa takut, gue jamin ya ... tuh cewe manja bakal dibuang nggak sampai tiga hari!" yakinnya. "Semprul!" Ben menoyor kepala dua temannya bergantian, "Enak bener ya ... cewe gue lo jadiin barang taruhan!" Keduanya terkekeh, "Kek nggak biasanya ajah," sahut Rico. "Daripada lo, ganti cewe kek ganti khutang!" celetuk Tomi. "Emang lo pernah pake khutang, Kong?" balas Ben menarik piring fries di depan Rico. "Boro-boro, Ben. Kan lo tahu dia nih jomblo ngenes...," "Males ngurusin cewe, bikin pusing!" "Bilang ajah, emang nggak laku!" timpal Rico, lalu menatap Ben yang tengah mengamati Melanie. "Eh, Ben! Kenapa lo nggak pacarin Melanie aja, dia kan jauh lebih cantik!" goda Rico. "Melanie kan temen gue, nggak lucu kali pacaran sama temen!" "Siapa tahu aja! Lagian perhatian lo ke dia kadang-kadang juga berlebihan!" Ben tak memyahut, ia menuang minuman ke gelasnya dan meneguknya. Mereka mengobrol sambil minum sembari menunggu Melanie selesai menyanyi. Tapi tampaknya malam sudah cukup larut, Tomi dan Rico pulang lebih awal, itu sudah kebiasaan, Ben selalu menunggu Melanie sampai selesai dan akan mengantarnya pulang. Tapi saat itu tampaknya Ruben terlalu banyak minum hingga mabuk, ia menyandarkan kepalanya di meja, dan mengigau. "Nenek ... Nek ... jangan pergi!" lirihnya, itu sering terjadi, jika ia mengigau ia akan menyebut neneknya, memang selama ini yang merawatnya di rumah adalah neneknya selagi masih hidup, orangtuanya sangat sibuk bekerja, bahkan jarang di rumah. Dulu ia juga dekat dengan kakaknya, Dennis tapi sejak kakaknya ikut terjun ke dunia bisnis, dia juga jadi ikut sibuk dan jarang di rumah juga. "Ben!" Melanie menggoyang tubuh Ruben, tapi pria itu tak menyahut, tentu, dia setengah tak sadarkan diri. "Ben, caffenya udah mau tutup, pulang yuk!" ajak Melanie, Ben membuka mata dan mengangkat kepalanya. "Apa?" tanyanya pelan. "Mabuk lagi, kalau gini caranya aku yang repot!" "Mabuk? Siapa yang mabuk, gue cuma minum dikit!" "Dikit, kamu habis dua botol bilang dikit, kamu gila ya!" seru Melanie marah, ia menarik Ruben ke kakinya dan memapahnya keluar dari caffe. Karena Ruben tak mungkin menyetir sendiri maka ia yang membawa mobil. Sesampainya di rumah Ruben, Melanie membawanya masuk dan menidurkannya di kamarnya, itu sering terjadi. Melanie membuka sepatunya, kemudian membuka jacket lalu menyelimutinya, ia memandang wajah cowo yang kini menjadi bagian dari hidupnya sejenak kemudian bangkit tapi tangan Ruben menariknya hingga ia jatuh ke dalam pelukannya. "Ben, Ruben, lepasin!" Melanie meronta, tapi Ruben malah makin mempererat pelukannya seperti sedang memeluk guling, tak lama setelah itu terdengar nafasnya yang panjang karena sudah terlelap tapi ... ia masih tak melepas pelukannya. Akhirnya Melanie pun terlelap di sana. ***Melanie membuka matanya perlahan, dan ketika matanya terbuka penuh ia melihat wajah seorang pria tepat di depan matanya, ia pun membelalak dan terbangun. Tapi tangan Ben masih nyangkut di tubuhnya, karena dekapan itu cukup erat ia pun melayangkan sebuah tamparan ke wajah pemuda itu, membuatnya tersentak dan bangun sambil memegang pipinya yang terasa panas dan pedas. "Ah ... auw!" rintihnya, "ada apa ini?" tanyanya masih setengah tak sadar, ia mengucek matanya dengan tangannya yang lain untuk memperjelas pandangannya karena ia seperti melihat seseorang di depannya. Ben pun terbangun dan terjaga sepenuhnya. "Melanie, jadi lo yang nampar gue?" tanya Ben sambil bangkit duduk, "Pagi-pagi begini sudah main gampar!" "Karena kamu emang pantes dapat itu!" "Maksud lo? Tunggu-tunggu ... lo ngapain di sini?" tanya Ben meski ia sudah tahu Melanie sering berada di sana. "Semalam itu kamu mabuk, makanya aku ada di sini!" "Maksud lo ... kita ...." "Nggak, jangan mikir yang nggak-nggak de
"Eh, Tom. Kamu yang jemput aku?" tanya Melanie, pagi itu Tomi yang menjemputnya, "Lo berharap si palyboy tengik itu, ngarep banget sih lo sama dia!" "Yee, siapa juga, aku tuh cuman nanya!" "Emangnya gue nggak pernah jemput lo apa?" protes Tomi."Udah ah, ntar telat!" serunya naik ke motor Tomi, "Jalan!" sambungnya menepuk pundak temannya, mereka pun melaju ke sekolah. Ryo mengejar Vera yang terus menghindarinya, ""Ver, please ... kasih gue kesempatan sekali lagi!" pintanya sambil memegang lengan gadis itu dengan kuat, "Lepasin, Yo. Gue udah bilang sama lo gue nggak mau balikan sama lo!" katanya melepaskan diri dan terus berjalan. "Tapi Ver ...," "Cukup!" potongnya sambil berbalik ke Ryo yang terus mengikutinya, "Lo berhenti ikutin gue atau gue teriak nih!" ancam Vera lalu berbalik lagi dan melangkah, Ryo hanya diam memandang gadis itu berlalu darinya, kemudian ia meninju angin dengan kesal. Saat itu Ruben lagi ngumpul berempat di tangga, Vera melewati mereka, sempat melirik
Malam itu sekitar jam 11 Ruben masuk ke kamarnya, Dennis sedang di ruang kerja sehingga tak terlalu mendengar suara mobil adiknya yang memasuki halaman rumah mereka. Dennis melihat jam di dinding yang sudah menunjuk angka 11 lebih 20 menit. Ia menutup sebuah map dan berdiri dari kursinya, berjalan keluar dari ruang kerjanya dan menuju kamar adiknya, ia membuka pintu kamar Ruben perlahan dan melihat adiknya yang sudah berada di bawah selimut. Ia pun melangkah lebih dekat, menatap wajah adiknya yang terlelap, ia menjulurkan tangan dan mengusap rambut anak muda yang sedang tertidur itu, lalu ia keluar, menutup pintunya kembali. Ruben membuka mata setelah kakaknya menghilang di balik pintu, ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya, sengaja pura-pura tertidur karena tidak mau bertengkar di tengah malam begini. Dan rupanya ia senang dengan apa yang kakaknya lakukan tadi. Itu sudah lama sekali sejak terakhir kali Dennis melakukan hal itu, bahkan ia sudah lupa kapan. Ruben tersenyum la
Melanie datang ke tempat jogging, Ruben, Tomi dan Rico sedang duduk bertiga di tempat penjual bakso, mereka sudah selesai jogging, dan sedang istirahat. Melanie celingukan mencari teman-temannya, sudah seperempat jam ia mencari mereka tapi belum juga ketemu. Akhirnya ia menemukan tiga cowo itu yang sedang asyik ngobrol sambil makan bakso, Melanie menghampiri mereka tapi langkahnya terhenti saat melihat Bela mendekat di samping Rico. "Hai sayang!" sapanya duduk di samping Rico, "Hai!" jawab Rico yang wajahnya langsung sumringah, "Mau makan bakso?" tawarnya. "Nggak ah, nggak laper!" Melanie melanjutkan langkah mendekati mereka, Ruben melihatnya, "Hai Mel, lama banget sih?" "Aku kan harus bersihin rumah dulu!" jawabnya duduk di samping Ruben. "Sayang kita jalan yuk!" ajak Bela. "Bentar lagi ya, lagian gue belum mandi kita pulang dulu ya!" "Ganti baju aja, gue udah bawain baju buat lo, yuk!" katanya menarik lengan Rico. "Eh, gue jalan dulu ya, biasa!" serunya sambil berdiri. T
Ruben duduk di meja makan bersama Vera dan keluarganya, ternyata orangtua Vera adalah rekan bisnis keluarga Ruben, ayah Vera pak Ferdi sangat antusias ketika tahu bahwa Ruben adalah putra kedua pak Handy Wirata, ia bahkan berfikir untuk menjodohkan keduanya dalam hubungan yang serius, dan sepertinya Handy Wirata tidak akan keberatan. Ruben tidak menceritakan banyak tentang keluarganya, tapi Vera yang tak berhenti bicara, ia tahu keluarga mereka adalah rekan bisnis maka ia memberitahu ayahnya tentang siapa Ruben. "Jadi orangtuamu masih di Amerika?" tanya Ferdi. "Iya, Om!" "Kenapa dari tadi kamu nggak bicara?" "Vera sudah bicara terlalu banyak, saya rasa itu sudah jadi perwakilan!" katanya memasukan sesendok nasi ke mulutnya, "Dia memang begitu!" sahut Pak Ferdi,"Papa, keahlian Vera bicara membuat Vera jadi ketua OSIS, itu berguna kan!" belanya pada diri sendiri. Setelah makan malam Ruben ngobrol dengan Vera di serambi belakang tapi tak terlalu lama karena Ruben sudah meminta di
Pagi-pagi sekali Ruben menyetir mobilnya kembali ke Jakarta, Melanie bilang ia tak mau terlambat ke sekolah. Maka Ruben membawanya pulang disaat hari masih petang. Karena pakaian sekolah mereka masih tersimpan di dalam tas maka mereka langsung menggantinya ketika masih di rumah itu. Mereka sampai di sekolah sekitar jam 6.35. Mereka turun dari mobil di parkiran. "Mel, besok ada hari libur kan tanggal merah!" "Iya, kenapa? " "Gue mau ngajak lo ke makam nenek, dateng pagi-pagi ke rumah gue ya! " pintanya. Melanie tersenyum dan mengangguk. Selama di sekolah mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing, Ruben lebih meluangkan waktunya untuk Vera sebagai pengganti hari kemarin. Pulangnya Ben juga jalan dengan Vera jadi Melanie pulang sendiri. Ruben tak pulang terlalu malam, ia bahkan pulang sebelum kakaknya pulang kerja. Ia menghabiskan waktu bermain piano sampai tak tahu Dennis sudah di belakangnya. "Kamu selalu memainkan lagu itu! " katanya membuat Ruben berhenti bermain dan menoleh
Hari itu Ruben sudah memakai baju sekolah tapi ia tidak sampai di sekolah. Ia malah diam di dalam mobilnya di pinggir jalan. Seolah menunggu seseorang, ia memang menunggu seseorang. Menunggu gadis berpayung itu muncul. Tapi lama ia diam di sana gadis itu belum muncul juga. Ia pun keluar dari mobil, berjalan menuju lampu merah. Ketika rambu lalu lintas menyala merah ia tetap diam, tak mencoba menyeberang. Ia mulai lelah berdiri, matahari juga sudah mulai terik. Ruben berbalik dan siap berjalan kembali ke mobilnya. Tapi ia seperti melihat sesuatu yang ditunggunya selama ini. Ruben kembali berbalik lagi dan melihat gadis itu muncul berjalan ke arah rambu lalu lintas. Menunggu lampu menyala merah. Ruben tersenyum, memandangnya tak berkedip. Sementara di sekolah .... Melanie menghampiri Tomi dan Rico. "Hai, kalian lihat Ruben?" tanya Melanie. "Nggak tuh, malah nggak masuk kelas!" jawab Rico. "Nggak masuk kelas, dia bolos!" Melanie terkejut. Keduanya mengangkat bahu. Tiba-tiba Vera ju
Ruben menjemput Vera di rumahnya dan mengajaknya pergi. Mereka duduk di caffe .... "Ben, Ryo masih aja ngejar- gejar gue!" Vera memberitahukannya tapi sepertinya Ruben tak masalah dengan hal itu. "Terus masalahnya?" "Ya kan sekarang kita pacaran, paling nggak lo lakuin sesuatu!" pintanya. "Biarin aja!" sahutnya santai."Kok lo gitu sih?" protes Vera,"Semua orang berhak buat masih mempertahankan perasaannya, kita juga nggak bisa paksa mereka buat lupain kita!" "Tapi gue nggak nyaman! Lagian makin hari gue makin sayang sama lo!" Vera memberitahukan perasaannya. Meski apa yang dikatakan Ruben ada benarnya,Buset...kalau gini caranya bakal susah gue nglepasin nih cewe."Ver, terus gue harus ngapain? Kalau Ryo masih sayang sama lo, ya itu hak dia!""Tapi gue udah terlanjur kecewa sama dia,"Ben menggaruk pelipis dengan telunjuk, "Boleh gue tanya?"Vera menatap lebih serius karena ia merasa air muka Ben sedikit aneh."Apa?""Kenapa lo mau pacaran sama gue? Padahal lo tahu ... gue ngga