Ruben duduk di meja makan bersama Vera dan keluarganya, ternyata orangtua Vera adalah rekan bisnis keluarga Ruben, ayah Vera pak Ferdi sangat antusias ketika tahu bahwa Ruben adalah putra kedua pak Handy Wirata, ia bahkan berfikir untuk menjodohkan keduanya dalam hubungan yang serius, dan sepertinya Handy Wirata tidak akan keberatan.
Ruben tidak menceritakan banyak tentang keluarganya, tapi Vera yang tak berhenti bicara, ia tahu keluarga mereka adalah rekan bisnis maka ia memberitahu ayahnya tentang siapa Ruben. "Jadi orangtuamu masih di Amerika?" tanya Ferdi. "Iya, Om!" "Kenapa dari tadi kamu nggak bicara?" "Vera sudah bicara terlalu banyak, saya rasa itu sudah jadi perwakilan!" katanya memasukan sesendok nasi ke mulutnya, "Dia memang begitu!" sahut Pak Ferdi, "Papa, keahlian Vera bicara membuat Vera jadi ketua OSIS, itu berguna kan!" belanya pada diri sendiri. Setelah makan malam Ruben ngobrol dengan Vera di serambi belakang tapi tak terlalu lama karena Ruben sudah meminta diri untuk pulang. Di depan rumah .... "Sebenarnya gue masih pingin lo di sini, ini kan baru jam 9!" "Sejak Kak Dennis di rumah jam malam gue dibatasi!" dalihnya, tapi itu memang benar meski begitu Ruben tetap melanggarnya, ia janji akan menunggu Melanie sampai pulang dari Caffe, itu sebabnya ia pulang cepat dari rumah Vera. "Ya udah, ngomong-ngomong thanks ya udah dateng!" "Ok, gue cabut dulu!" katanya berjalan ke arah mobilnya, "Ben!" panggil Vera, Ben menoleh, "Hanya itu saja?" tanyanya, sebenarnya Vera mengharap Ruben akan memeluk atau bahkan menciumnya sebelum pergi. "Ehm ... apa lagi?" Ruben mengernyit, "Lo mau langsung pergi gitu aja!" tambahnya, dan sepertinya Ruben mengerti apa yang diinginkan Vera, ia kembali dan berdiri di depan Vera persis, perlahan ia mendekat tapi akhirnya ia hanya mencium pipi kanan Vera. "Hanya itu?" tanya Vera lirih. "Ver, lo tahu, jujur ... gue nggak pernah lakuin itu, maksudnya ciuman, gue nggak pernah lakuin itu sama semua cewe gue, so ... gue harap lo harus ngerti itu!" katanya lalu pergi. Vera cukup terkejut, ternyata Ruben tak seburuk yang ia kira, meski ia seorang playboy ternyata ia tak sebrengsek itu. Ruben melaju menuju Caffe, ia memasuki tempat itu, biasanya kalau sudah jam segini tempat itu lebih ramai. Ia duduk di meja langganannya, menonton Melanie yang sedang menyanyi. Dennis ngobrol dengan dua temannya di salah satu meja, mereka juga asyik mendengarkan lagu yang dinyayikan oleh Melanie. Sedari tadi Dennis mengamati gadis di atas panggung itu, ia merasa seperti pernah melihatnya di tempat lain. Selesai membawakan lagu itu, Melanie turun karena ia melihat Ruben yang sudah duduk di tempat biasa, "Hai, kupikir kamu bakal lama makan malam di rumah Vera!" "Gue kan udah janji mau ke sini!" "Aku lagi sedikit nggak enak badan, jadi tadi aku udah minta ijin pulang lebih awal sama menejernya!" jelas Melanie. "Loe sakit ya?" tanya Ruben menyentuh dahi Melanie. Sejak tadi mata Dennis mengikuti ke mana wanita itu melangkah dan ia cukup terkejut melihat siapa pemuda yang didatangi oleh wanita penyanyi caffe itu. Dia meminta ijin pada rekan kerjanya untuk pergi sebentar dan menghampiri Ruben. "Nggak apa-apa kok, cuma kurang enak badan aja!" "Ruben!" panggil seseorang, Ruben menoleh dan itu membuatnya tercengang, "Kak Dennis!" desisnya. "Jadi selama ini kamu bergaul dengan wanita seperti ini? Pantas kelakuanmu juga jadi liar!" "Kak, Melanie nggak seperti apa yang Kak Dennis pikirkan!" "Semua penyanyi caffe itu sama, murahan!" hardiknya, mendengar itu Ruben tak terima, "Kak, jangan pernah bicara seperti itu tentang dia, Kak Dennis itu nggak tahu apa-apa!" "Aku lebih banyak tahu hal seperti itu, sekarang lebih baik kamu pulang dan jauhi dia!" suruhnya. Ruben menarik Melanie dan keluar dari sana, "Ruben!" panggil Dennis tapi Ruben tak menghiraukannya, Maksud Dennis adalah pergi sendiri bukan malah membawa wanita itu! Ruben membawa Melanie ke mobil dan melaju pergi. "Maaf, kalau tadi Kak Dennis kasar sama lo!" "Mungkin sebagian penyanyi caffe memang seperti itu!" "Tapi dia nggak berhak ngomong kek gitu, gue nggak terima!" "Terima kasih kamu udah peduli sama aku!" "Gue akan selalu peduli sama loe, gue nggak mau pulang, gue nginep di rumah lo!" katanya meminta ijin. "Ben, kalau kamu nginep nanti Kak Dennis malah berfikir yang macem-macem, anterin aja aku pulang trus kamu juga pulang ke rumah!" saran Melanie "Bener juga!" setelah mengantar Melanie Ruben juga pulang ke rumah, saat berjalan melewati ruang tamu ternyata Dennis sudah di sana. "Ingat pulang juga rupanya!" seru Dennis menghampiri adiknya. Ruben menghentikan langkahnya, "Jadi setiap malam kamu menghabiskan waktu di sana, dulu kamu bergaul dengan berandalan sekarang dengan wanita caffe, besok apalagi, dengan para pelacur!" "Kak, Melanie bukan wanita seperti itu!" teriaknya, "Lo nggak kenal dia jadi nggak usah sok menilai, dia itu jauh lebih baik dari wanita mana pun!" belanya , ia berjalan naik tapi Dennis menahan tangannya. "Aku ingin kamu menjauhinya!" suruhnya tapi Ruben tak menanggapi, ia melepaskan diri dari tangan kakaknya lalu masuk ke dalam kamar. Membanting pintu kamarnya dengan kencang, dan tentunya ia tidak akan mendengarkan kakaknya, karena tidak ada seorang pun yang akan ia biarkan untuk memisahkannya dengan Melanie. *** Di sekolah Ruben nyelonong duduk di samping Melanie yang sedang membaca buku di taman halaman sekolah. "Lo udah baikan, kalau nggak enak badan harusnya nggak usah ke sekolah!" "Aku udah sehat kok, kalau sering nggak masuk nanti nggak lulus!" jawabnya tanpa memindahkan mata dari buku yang tengah dibacanya. "Eh, pulang sekolah ikut gue yuk!" "Ke mana?" menutup buku dan menatap cowo itu, "Ada deh, lo pasti bakal suka!" janjinya, Melanie mengangguk, Ruben ingin membuatnya merasa senang dan nyaman bersamanya, ia tak ingin kejadian semalam membuatnya mempengaruhi hubungan mereka. Ia ingin Melanie selalu di sampingnya, itu saja. Tomi sedang berjalan ke kantin ia melihat Andien duduk sendiri membaca buku, ia juga suka membaca buku, Tomi menghampirinya, tidak bisa mendekati Vera , Andien pun boleh lah, mungkin ada kesempatan karena Vera rasanya sudah tidak mungkin. "Hai Ndien, sendirian!" Andien menoleh lalu membuang nafas kesal, "Nggak, berdua sama setan!" "Judes amat sih, gue temenin ya, biar setannya pergi!" Andien menutup buku dan bangkit dari duduknya, ia berjalan pergi, Tomi mengikuti, Andien tahu itu, ia pun menoleh. "Ngapain lo ngikutin gue, mau jadi playboy juga kaya' temen lo!" "Nggak, lo tahu sendiri gue belum pernah pacaran,itu artinya ... gue cowo setia!" "Setia ... nggak laku iye!" balasnya lalu melanjutkna jalan, tapi Tomi masih mengikutinya. Vera mencari Ruben di kelasnya, tapi tak ada di sana, ia pun mencari di lapangan footsall, biasanya Ruben di sana selesai jam olah raga. Dan benar dia memang di sana, sedang bermain footsall. Vera mendekat, Ruben melihatnya dan berhenti bermain, ia menghampiri Vera. "Ada apa?" "Nggak ada apa-apa sih, ehm ... pulang sekolah nanti ada acara nggak?" "Sayangnya ada tuh!" "Sama siapa?" "Melanie!" jujurnya, "Melanie? Tadinya gue pingin kita jalan bareng soalnya kan waktu kita di sekolah nggak banyak, lo tahu sendiri gue sibuk!" harapnya menyembunyikan rasa cemburu, "Mungkin lain kali, soalnya gue udah janji sama Melanie, sorry ya!" katanya tanpa Dosa, "Nggak apa-apa kok!" *** Ruben sudah menunggu Melanie di pinggir mobilnya, Melanie muncul, Ben langsung tersenyum dan membuka pintu mobil padahal Melanie masih beberapa meter lagi, "Aku masih jauh kali, kamu udah siap aja!" "Biar nggak kesorean!" "Emangnya kita mau ke mana?" "Udah ikut aja, ntar juga tahu!" Melanie masuk, Ben menutup pintu dan ia pun masuk dari sisi lain. Mereka langsung melaju kencang, melewati jalan tol, untung tidak terlalu macet. "Kita sudah terlalu jauh, sebenarnya mamu mau ajak aku ke mana?" "Ke Cibubur!" "Hah? Ngapain?" "Mengunjungi suatu tempat, udah lama banget gue nggak ke sana!" jelasnya, Melanie tampak mengangguk meski sebenarnya masih bingung ke mana si kadal ini mau membawanya. Ia pun menyalakan radio dan mendengarkan lagu, ia bahkan tertidur selama perjalanan. Akhirnya mereka sampai juga di sebuah rumah, rumah itu tak terlalu besar tapi suasananya cukup nyaman dan damai. Ruben membangunkan Melanie dengan mengguncang tubuhnya. "Mel!" Melanie menggeliat dan terbangun, "Apa kita sudah sampai?" tanyanya. "Keluarlah!" suruh Ben, Mereka keluar dari mobil, Melanie ternganga melihat sebuah rumah yang terlihat indah. "Ini rumah siapa?" "Dulu ini rumah Nenek, gue yang ngelarang orangtua gue buat jual rumah ini, gue suruh aja orang buat jaga dan bersihin, terkadang kalau gue kangen sama Nenek gue pasti ke sini!" Ruben mengajaknya masuk. Seorang pria paruh baya membuka pintu. "Eh, Den Ruben!" "Mel, ini Pak Diman, yang jaga rumah ini!" Ben mengenalkan, Melanie tersenyum pada orang itu. Mereka masuk ke dalam. "Rumah ini indah!" pujinya. "Lo suka?" Ben menatap gadis itu dalam yang terlihat sangat kagum pada apa yang dilihatnya, "Iya, di sini terasa lebih nyaman!" Melanie mengamati setiap sudut rumah itu lalu pandangannya terkunci pada sebuah foto di dinding, ia mendekatinya. "Itu foto Nenek, dia cantik kan!" seru Ruben memuji menatap foto neneknya dengan penuh kerinduan. "Senyumnya indah sekali!" puji Melanie. "Ya, Nenek punya senyum yang selalu bikin gue tenang," pujinya lalu menoleh ke gadis yang memiliki senyum yang sama. Itu salah satu yang membuat Ruben nyaman bersamanya. Tak mau terlalu larut Ben pun mengalihkan perhatian, "Eh, mau lihat ruangan lain nggak?" tawarnya, Melanie mengangguk, Mereka melihat setiap ruangan. Dan akhirnya mereka duduk di atas loteng, memandangi alam semesta dari atas. "Ini indah, kenapa nggak dari dulu kamu tunjukin tempat ini?" "Baru kepikiran belakangan ini!" "Di sini sangat nyaman, aku jadi pingin tinggal lebih lama!" "Kita nginep saja malam ini!" Melanie menoleh, "Besok kan harus sekolah!" "Kita bisa balik pagi-pagi buta!" Mereka duduk bersebelahan, semilir angin membuai rambut mereka, matahari tenggelam perlahan, dan gelap mulai merambat, menghampar ke seluruh alam. Melanie menyandarkan kepalanya di pundak Ruben, Ruben hanya menoleh sejenak lalu kembali memandang ke depan. ***Pagi-pagi sekali Ruben menyetir mobilnya kembali ke Jakarta, Melanie bilang ia tak mau terlambat ke sekolah. Maka Ruben membawanya pulang disaat hari masih petang. Karena pakaian sekolah mereka masih tersimpan di dalam tas maka mereka langsung menggantinya ketika masih di rumah itu. Mereka sampai di sekolah sekitar jam 6.35. Mereka turun dari mobil di parkiran. "Mel, besok ada hari libur kan tanggal merah!" "Iya, kenapa? " "Gue mau ngajak lo ke makam nenek, dateng pagi-pagi ke rumah gue ya! " pintanya. Melanie tersenyum dan mengangguk. Selama di sekolah mereka sibuk dengan kesibukan masing-masing, Ruben lebih meluangkan waktunya untuk Vera sebagai pengganti hari kemarin. Pulangnya Ben juga jalan dengan Vera jadi Melanie pulang sendiri. Ruben tak pulang terlalu malam, ia bahkan pulang sebelum kakaknya pulang kerja. Ia menghabiskan waktu bermain piano sampai tak tahu Dennis sudah di belakangnya. "Kamu selalu memainkan lagu itu! " katanya membuat Ruben berhenti bermain dan menoleh
Hari itu Ruben sudah memakai baju sekolah tapi ia tidak sampai di sekolah. Ia malah diam di dalam mobilnya di pinggir jalan. Seolah menunggu seseorang, ia memang menunggu seseorang. Menunggu gadis berpayung itu muncul. Tapi lama ia diam di sana gadis itu belum muncul juga. Ia pun keluar dari mobil, berjalan menuju lampu merah. Ketika rambu lalu lintas menyala merah ia tetap diam, tak mencoba menyeberang. Ia mulai lelah berdiri, matahari juga sudah mulai terik. Ruben berbalik dan siap berjalan kembali ke mobilnya. Tapi ia seperti melihat sesuatu yang ditunggunya selama ini. Ruben kembali berbalik lagi dan melihat gadis itu muncul berjalan ke arah rambu lalu lintas. Menunggu lampu menyala merah. Ruben tersenyum, memandangnya tak berkedip. Sementara di sekolah .... Melanie menghampiri Tomi dan Rico. "Hai, kalian lihat Ruben?" tanya Melanie. "Nggak tuh, malah nggak masuk kelas!" jawab Rico. "Nggak masuk kelas, dia bolos!" Melanie terkejut. Keduanya mengangkat bahu. Tiba-tiba Vera ju
Ruben menjemput Vera di rumahnya dan mengajaknya pergi. Mereka duduk di caffe .... "Ben, Ryo masih aja ngejar- gejar gue!" Vera memberitahukannya tapi sepertinya Ruben tak masalah dengan hal itu. "Terus masalahnya?" "Ya kan sekarang kita pacaran, paling nggak lo lakuin sesuatu!" pintanya. "Biarin aja!" sahutnya santai."Kok lo gitu sih?" protes Vera,"Semua orang berhak buat masih mempertahankan perasaannya, kita juga nggak bisa paksa mereka buat lupain kita!" "Tapi gue nggak nyaman! Lagian makin hari gue makin sayang sama lo!" Vera memberitahukan perasaannya. Meski apa yang dikatakan Ruben ada benarnya,Buset...kalau gini caranya bakal susah gue nglepasin nih cewe."Ver, terus gue harus ngapain? Kalau Ryo masih sayang sama lo, ya itu hak dia!""Tapi gue udah terlanjur kecewa sama dia,"Ben menggaruk pelipis dengan telunjuk, "Boleh gue tanya?"Vera menatap lebih serius karena ia merasa air muka Ben sedikit aneh."Apa?""Kenapa lo mau pacaran sama gue? Padahal lo tahu ... gue ngga
Pagi itu Dennis sudah berdiri di depan pintu kamar adiknya. "Ben. Kamu masih di dalam?" tanyanya agak keras. Tapi ia tak mendengar jawaban, maka ia pun memutar gagang pintu kamar itu dan membuka pintunya. Mendorongnya terbuka sedikit lebar dan melongokkan kepalanya untuk melihat apa adiknya ada di dalam kamar atau tidak. Ia melihat Ruben masih terlelap di bawah selimut, maka ia pun memunculkan seluruh badannya ke dalam kamar. Ia masuk membiarkan pintu tetap terbuka. Dennis mencoba membangunkan Ben, saat tangannya hendak menggoncangkan tubuh adiknya ia melihat sesuatu yang terselip di antara tangan dan dada adiknya. Sebuah frame, ia pun mengambilnya, mencabutnya secara perlahan agar adiknya tidak terbangun dulu. Setelah benda itu ada di tangannya maka ia pun membalik benda itu. Itu adalah foto nenek mereka. Sebuah foto perempuan tua yang sedang tersenyum. Selalu foto nenek yang dipeluknya, Tapi ia juga melihat foto gadis penyanyi caffe itu di dalam frame, diletakkan di ujung di dal
Ruben duduk berdua di dalam mobil bersama Melanie. Tadi Ben sempat memberi pesan pada Tomi untuk Melanie. Katanya Ben menunggunya di parkiran sepulang sekolah, ada hal penting yang ingin dibicarakan. Tapi keduanya masih diam tak bersuara, akhirnya Ruben mengawali pembicaraan. "Gue minta maaf, soal tadi. Seharusnya gue nggak bentak lo kaya' gitu!" katanya menyesal, lalu ia melanjutkan kalimatnya, "Gue nggak tahu gimana harus bersikap. Lo tahu kan gue nggak bisa kehilangan lo. Lo itu berarti banget buat gue, Mel!" jelasnya memandang gadis itu. "Ben, kamu nggak harus menggantungkan hidup kamu hanya pada satu orang. Kamu harus bisa berdiri di atas kaki kamu sendiri!" "Tapi Mel, sejak kita ketemu, hidup gue berubah. Gue merasa punya arti, gue nunda sekolah ke Wina karena gue pingin selalu deket sama lo!" "Sebesar apa arti aku buat kamu?" tuntut Melanie,"Segalanya, segalanya Mel!" "Ben," mata Melanie memanas,"Buat saat ini ... gue nggak bisa kehilangan lo. Gue nggak siap!" aku Ben,M
Ruben menelpon Melanie karena dia tak ada di rumah. "Lo di mana?" tanya Ruben setengah berteriak. "Di caffe!" jawab Melanie pelan. "Apa!" kaget Ruben, "Lo bilang ... oh My!" umpat Ruben menutup teleponnya dan langsung berlari ke mobil, menjalankan mobilnya dengan laju super cepat. Melanie duduk lemas, ia tak mungkin memberitahukan Ruben bahwa Dennis mengintimidasi dirinya. Jika ia memberitahu Ben soal itu hubungan kedua kakak adik itu akan semakin buruk. Ben sangat berharap hubunganya dengan kakaknya akan seperti dulu. Kini Melanie tak tahu harus bicara apa, jika Ruben sampai di caffe nanti. Melanie masih menunggu Ruben datang, tepat saat hendak ke panggung malah Ben datang dan langsung menariknya kembali ke ruang rias. "Ben!" desisnya "Kenapa lo bohong ke gue?" tanyanya dengan nada marah. "Itu ... aku bisa jelasin tapi nggak sekarang!" "Gue mau penjelasan lo sekarang!" "Ben!" "Sek-ka-rang!" geramnya. Sepertinya cowo itu benar-benar marah. Akhirnya Melanie meminta menejer
Vera menghampiri Ruben yang sedang ngumpul di kantin bersama teman-temannya. "Ben!" sapanya. Ruben menoleh, dari ekspresi wajahnya. Ia terlihat kurang berkenan dengan kehadiran Vera. "Ada apa, Ver?" "Gue mau ngomong sebentar!" jawabnya, "Eh, gue pinjem Rubennya ya!" katanya meminta ijin dengan teman-temannya. "Ambil aja sono, siapa yang butuh!" kelakar Tomi sambil menyedot teh botol di tangannya. "Sialan lo ah!" timpal Ruben yang kemudian mengikuti Vera pergi. Mereka bicara di taman sekolah, duduk berdampingan. "Ben, kemarin lo ke mana sih? Gue telepon puluhan kali tapi nggak pernah lo angkat. Dan loe juga nggak nelpon gue balik. Lo pergi ke mana sama Melanie?" "Gue pergi ke mana itu bukan urusan lo!" "Tapi gue kan pacar lo!" kesal Vera dengan nada tinggi. "Terus ... harus jadi malasah buat gue, gitu?" Vera memandangnya aneh dan marah, sepertinya Ruben cuek sekali dengan hubungan mereka, dan belakangan terkesan menghindar. "Lo udah punya cewe lain?" Ruben tak menjawab, t
Ruben sudah siap di atas motornya, kali ini ia yang akan bertanding. Memang sudah lama sekali ia tak melakukan hal itu. Setiap kali orangtuanya di rumah malah ruang lingkupnya jadi semakin terbatas. Karena orangtuanya pasti akan selalu menyuruh orang untuk mengawasinya, selama ini sebenarnya ia memang selalu diawasi. Tapi tak pernah bermasalah, apalagi jika Dennis ada di rumah. Terkadang kakaknya itu akan sedikit membelanya di depan orangtuanya. Lawan Ruben kali ini adalah Fiki, mereka memang musuh lama. Selain dalam trak Fiki adalah kapten Klub basket di sekolah, dan memang ia tak pernah akur dengan Ruben. Dan selain Ryo, Fikilah yang selalu membuat ulah dengan Ben. Tapi Ryo masih belum ada apa-apanya dibanding Fiki dan klub basketnya. Mereka sudah bersiap di garis start, banyak orang menonton di sisi jalan yang berasal dari kedua gank. Selina, seorang gadis cantik nan seksi memegang sapu tangan warna merah bercampur biru sebagai aba-aba. Selina adalah pacar Fiki, tapi gadis itu bu