Penunjuk waktu di pergelangan tangan kiri Nadya menunjukkan pukul sebelas siang ketika mereka tiba di kota Bandung. Devan mengarahkan mobilnya ke sebuah rumah sederhana yang memiliki halaman cukup luas. Halaman rumah itu sangat teduh dan asri, karena terdapat dua pohon mangga yang cukup besar dan beberapa tanaman hias, yang membuat halaman rumah itu indah di pandang mata.Devan memarkir mobilnya di samping rumah, tepatnya di bawah naungan pohon mangga. Dia sengaja memilih tempat di sana untuk memarkir mobilnya, agar tidak terkena sinar matahari secara langsung.“Yuk, kita masuk! Ibuku ada di dalam. Beliau biasanya menghabiskan waktu dengan menyulam.” Devan kemudian menggandeng tangan Nadya menuju pintu utama rumahnya.Tok...tok...tok.Cukup lama mereka berdiri di depan pintu utama, menunggu pintu itu dibuka oleh penghuni rumah. Tak lama terdengar suara anak kunci sedang digerakkan dari dalam. Lalu tak lama pintu itu terbuka dan menampakkan sosok wanita paruh baya dengan kacamata berte
“Pak, tadi siang Devan menanyakan soal jati dirinya.” Nani mengungkapkan kepada suaminya, apa yang Devan tanyakan padanya. Mereka sedang berada di kamar pribadi, dan berbicara dengan sangat perlahan pada saat menjelang tidur.“Tanya apa, Bu?” tanya Satria penasaran. Dia langsung mendekatkan diri ke arah istrinya agar pembicaraan mereka tidak terdengar oleh Devan maupun tunangannya.“Tadi dia bilang kalau kira-kira seminggu yang lalu ada orang yang mengira dirinya adalah orang lain yang mirip dengan dia. Lalu dia tanya apa dia mempunyai saudara, tapi aku enggan menjawab pertanyaan dia. Karena aku takut kalau dia tahu yang sebenarnya, dia akan membenci kita dan meninggalkan kita, Pak. Aku sangat sayang pada Devan dan aku tidak mau kehilangan dia, Pak.” Nani mulai meneteskan air matanya dan menggelengkan kepalanya seraya terus berkata, “Aku tidak mau kehilangan Devan. Aku sangat mencintai dia, Devan itu anakku.”“Bu, sepertinya kita memang harus berterus terang pada Devan. Sepandai-panda
"Mas, kamu malam ini bisa temani aku ke resepsi nggak?" Nadya menatap Devan yang tengah menikmati sarapannya. "Rekan bisnis Papa mengundang Papa ke resepsi pernikahan anaknya. Tapi, Papa nggak bisa datang. Jadi aku yang diminta Papa untuk mewakili beliau datang ke resepsi itu.""Bisa. Jam berapa?" tanya Devan saat dia selesai menikmati sarapannya."Resepsinya sih dimulai jam tujuh malam," sahut Nadya."Ok. Aku akan siap sebelum jam tujuh malam. Paling yang lama kamu. Dandan sana dandan sini. Nanti saran aku, dandannya biasa saja, ya. Jangan terlalu cantik dandannya. Biar aku saja yang menikmati kecantikan kamu." Devan lalu bergeser ke arah Nadya dan menghapus tetesan air mineral yang masih ada di bibir gadis itu dengan bibirnya, lalu melumat bibir ranum itu.Nadya terkejut dengan ulah Devan. Namun, keterkejutannya itu tidak berlangsung lama, karena dia segera merespon lumatan bibir Devan."Mas! Kamu paling pintar kalau ambil kesempatan, deh," ucap Nadya sesaat setelah melepaskan tauta
“Sayang, aku ke toilet dulu ya.” Devan melepaskan tangannya dari pinggang Nadya yang dari tadi dia peluk dengan erat.“Huum.” Nadya menganggukkan kepalanya sambil menikmati hidangan makanan penutup.Nadya tengah menikmati cake yang tersedia di meja prasmanan kala sebuah suara mengagetkannya. Dia sudah menebak si pemilik suara itu. Suara orang yang ingin selalu dia hindari.“Nad, kamu cantik sekali malam ini. Maaf, maksudku kamu semakin hari semakin cantik saja,” ujar pemilik suara itu yang ternyata adalah David. Dia rupanya dari tadi memperhatikan Nadya. Hanya saja enggan untuk mendekat karena ada Devan di sampingnya. Dan kini, ketika dia melihat Devan sedang tidak ada di samping gadis itu, maka dia berani mendekati Nadya.“Oh, hai,” sahut Nadya singkat. Nadya melanjutkan menikmati hidangan makanan penutup tanpa memperdulikan David yang ada di sisinya. Hal itu tentu saja membuat David yang semula sudah terbakar hatinya melihat wanita yang dia suka bermesraan dengan pria lain, kini sem
Kayden dan Devan kemudian menuju laboratorium untuk melakukan tes DNA. Kedua pria itu menjadi pusat perhatian para kaum hawa yang ada di rumah sakit itu. Mereka terkesima dengan ketampanan dan kegagahan kedua pria itu.“Satu saja sudah buat kita terpesona. Apalagi ini ada dua,” ucap seorang wanita yang berada di pinggir koridor rumah sakit kepada temannya.“Tapi, yang satu sudah ada yang punya tuh,” balas temannya. Hal itu membuat Nadya mengulum senyumnya. Dia merasa berbangga hati menjadi tunangan Devan. Di antara banyak wanita, hanya dia yang mampu mencuri hati Devan, hingga tidak tersisa sedikit pun untuk wanita lain.Akhirnya mereka tiba di laboratorium. Kayden dan Devan segera menemui petugas di sana, dan segera mengutarakan maksud kedatangan mereka malam ini. Sedangkan Nadya duduk di kursi tunggu yang ada di luar laboratorium.“Tapi, ini sudah jam setengah sembilan malam, Pak. Sebaiknya besok, jam sembilan pagi Bapak datang lagi kemari,” ucap petugas laboratorium itu memberi sar
“Pantas saja Papa tidak menemukan kamu. Ternyata kamu keliling Indonesia, ya.” Kayden berdecak sambil menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, yang penting sekarang kita sudah bertemu dan dapat berkumpul bersama kedua orangtua kita. Malam ini kalau kamu ke rumah, Mama sama Papa pasti akan senang.”“Iya, aku juga ingin sekali bertemu dengan mereka,” sahut Devan. Dia lalu tersenyum dan menghapus sisa air mata yang ada di ekor matanya.“Kalau begitu nanti antarkan aku pulang dulu, Mas,” sahut Nadya menyela pembicaraan saudara kembar yang baru saja bertemu, setelah lama terpisah.“Kamu nggak mau ikut?” tanya Devan menatap manik mata tunangannya itu.“Aku ingin memberi kesempatan kepada Mas Devan untuk melepas rindu bersama keluarga. Kamu kan terpisah cukup lama, Mas. Tiga puluh lima tahun,” ucap Nadya.Tak lama pintu ruang laboratorium itu terbuka, dan petugas yang memeriksa Devan serta Kayden muncul di ambang pintu.“Bapak Kayden Herlambang!” Panggil petugas itu.Kayden bangkit dari kursi dan
Waktu sudah cukup larut saat mereka tiba di sebuah rumah mewah berlantai dua dengan gaya eropa klasik. Devan melihat penunjuk waktu di tangan kirinya yang sudah menunjukkan waktu hampir pukul dua belas malam.“Sepertinya Mama dan Papa sudah tidur,” tebak Devan yang langsung dijawab oleh gelengan kepala Kayden.“Belum tentu juga. Kadang Papa masih nonton TV dan berharap tiba-tiba anaknya yang hilang datang, dan bisa menemaninya nonton TV. Sedangkan Mama jam segini memang biasanya sudah tidur, tapi kadang suka terbangun dan memanggil nama anaknya yang hilang.” Kayden menghela napas, kala mengingat orangtuanya yang selalu memikirkan salah satu anak kembarnya yang entah di mana keberadaannya sekarang. Dan malam ini dia akan memberikan kejutan kepada kedua orangtuanya, dengan membawa kembali anak yang telah hilang tiga puluh lima tahun yang lalu.“Kayden! Kamu baru pulang?” tiba-tiba terdengar suara laki-laki dari arah lain. Dan terdengar langkah yang semakin lama semakin terdengar jelas m
Bunyi alarm dari telepon genggam Devan berbunyi nyaring, membangunkan dia dari tidurnya. Dilihatnya jam di dinding kamar itu menunjukkan pukul enam pagi. Menurut ayahnya, kamar itu merupakan kamarnya yang memang disiapkan oleh ibunya sejak lama. Ibunya berkeyakinan kalau Keenan akan datang suatu saat nanti, karena itu ibunya meminta asisten rumah tangga selalu membersihkan kamar itu. Ibunya berharap kalau suatu saat Keenan datang, dia bisa tidur di kamar yang sudah disiapkan.Devan menatap langit-langit kamar yang terkesan maskulin dengan kombinasi warna hitam, putih dan coklat. Menurut ayahnya, yang merancang kamar ini adalah ibunya. Devan tersenyum memandang kamar yang dia tempati saat ini. Dia mengacungkan jempol untuk ibunya yang merancang kamar ini dengan baik, sehingga kamar ini terlihat sangat nyaman. Ibunya merancang kamar itu dengan mengaplikasikan satu dinding di belakang headboard dengan warna hitam. Sedangkan dinding lainnya berwarna putih. Sementara itu lantai dan langit-