Pagi itu, aku sudah disibukkan dengan laporan kesehatan para pasien dokter Careld. Tidak menyangka, setiap harinya dokter muda itu menerima lebih dari ratusan pasien. Rata-rata perempuan semua. Padahal dia dokter spesial jantung tapi sudah seperti dokter praktek umum.
Aku menggeleng-gelengkan kepala, saat melihat daftar pasien dokter pemikat hati perempuan itu. Semua yang daftar perempuan. Padahal setahu ku, kalau penyakit jantung itu kebanyakan para pria yang menderita. Tapi ini ...
"Ckckck ..."
suara decakku mengusik kesibukan si tampan yang ada di seberang meja kerjaku. Dengan sedikit terkejut dia menolehkan pesona wajahnya ke arahku. Buru-buru ku tundukkan muka untuk menghindari tatapannya. Aku kembali kekesibukan ku yang semula.
Hari tak terasa sudah berganti siang. Tiba-tiba kepalaku terasa pening. Kupejamkan mata sebentar barang kali karena kelelahan saja. Tapi keringat dingin sudah menetes dari dahiku. Aku yakin wajahku sudah pucat seketika.
Pemirsa yang budiman, jangan lupa bacca dan klik vote, like, dan koment nya Terima kasih
Sesampainya aku di meja kerjaku, ku hentakkan semua barang-barang yang ku bawa tadi. Dokter Careld terkejut sesaat lalu mata elangnya menatapku bingung dan heran. Dokter muda itu mendekati aku, dan bersandar di tepi meja kerja ku. "Ada apa, kok mukanya kesal begitu?" tanyanya sambil melihat kekesalan mutlak di wajahku. Aku menggelengkan kepala dengan lemah, lalu duduk di kursi kerja ku. Dokter Careld hanya mengelus pundakku dan kembali ke meja kerja nya. "Move," kembali dokter Careld memanggil ku. Aku menjawab sambil meletakkan ponsel genggam dan kunci apartemen yang di berikan oleh Ray tadi siang. Dokter Careld menggelengkan kepala ketika aku menjawab panggilannya. Laki-laki itu mengurungkan niatnya memberikan hadiah pada Move ketika dilihatnya wanita itu sudah menaruh ponsel genggamnya. Di masukkannya benda yang terbungkus persegi itu kembali ke brankasnya. Pria itu menyodorkan ponsel genggamya ke⁰ meja ku setelah beberapa lama
"Pak! Laporan meeting hari ini," Clarisa menyodorkan catatan laporan dari meeting dengan oara dean direksi hari ini kepada Ray, selaku direktor perusahaan. Meeting pagi ini terbilang sukses dengan penampilannya yang begitu mempesona, menghipnotis seluruh anggota dewan direksi dengan presentasinya yang begitu brilian. "Clarisa!" Panggilnya ketika melihat sekertarus sudah membuka pintu. Spontan gadis muda itu membalikkan badan. "Iya, Pak. Apa masih ada yang Bapak, perlukan lagi?" jawabnya. "Tolong suruh manager keuangan ke ruangan, Saya." Perintahnya. Gadis muda yang baru bekerja 2 tahun di perusahaannya mengangguk patuh, selanjutnya pamit untuk kembali ke ruangannya. Tak lebih dari 5 menit, Fito Prayoga, selaku manager keuangan sudah berada di ruanga direktur. "Bapak, memanggil Saya?" "Oh! Fito duduk! ucapnya bernada memerintah. Laki-laki yang umurnya dibawahnya beberapa tahun itu patuh dengan perintahnya. Agak sed
Jam kantor sudah hampir selesai beberapa menit lagi. Ray Dinata, sudah membereskan barang-barangnya. Hari ini dia akan langsung ke rumah sakit, untuk menjemput sang kekasih. Sesudah menutup layar laptopnya, dia menjinjing tas kerjanya, langsung menuju pintu keluar. Di koridor kantornya, Dattan Sergio Sesha sudah menunggunya di depan lift. "Numpang boleh, ya? Mobil di bengkel ni," ucapnya sambil memasang muka memelas. "Nggak! Aku ada janji sama Move, mau jemput dia," tukasnya bohong, lalu menuju ke lift setelah pintu lit terbuka. "Ikut lah, lama juga nggak bertemu dengan gadis impianku itu. "ujarnya kembali mengikuti langkah Ray di belakang. Ray memasang tatapan tajam ke arah Dattan mendengar apa yang diucapkan laki-laki sejuta pesona itu. "Tenang bro, gitu aja marah. Santai napa?" kilah Dattan sambil menarik senyumnya. "Jaga mulut kamu itu!" Dengan wajah kesal Ray meninju lengan sahabatnya itu. Dattan hanya
Ray, berusaha menenangkan perasaannya, yang tiba-tiba tidak nyaman. Dia tidak bisa pungkiri, bahwa nama Nafisya Auriestella sangatlah berpengaruh terhadap kenyamanan hatinya sekarang. Niatnya menjemput sang kekasih, tetapi sekarang hatinya tergerak mengikuti langkah kaki ke dua wanita itu. Ray urung melangkahkan kakinya ke ruangan dokter Careld. Kini kakinya berjalan mengikuti langkah kaki Isya dan Feronika. Ketika didapatinya sebuah ruang VIP, Ray menarik napas pendek. Mencoba menerka siapa yang dirawat di ruang tersebut. Dan hatinya seolah terpukul ketika melihat sosok yang digilainya hampir 5 tahun dahulu kala itu membaringkan tubuh ringkihnya yang terlihat lebih kurus dari yang dia lihat dulu. Ada yang mengalir di hatinya, rasa yang sudah hampir puluhan tahun silam dia kubur, kini seolah-olah hadir kembali. Ada sepercik kerinduan yang menggebu dihatinya ingin berjumpa dan memeluk gadis masa silamnya itu. Ray benar-benar lupa bahwa dia
Ray masih terpaku di depan pintu. Careld berhenti sejenak, menatap sepupunya itu. "Kamu belum siap?" Ray hanya menghembuskan napas panjang. "Ikut aku sini!" Careld menarik tangan Ray menuju lorong koridor yang ada di sebelah kamar VIP Isya. "Sebenarnya apa yang mau kamu lakukan selanjutnya? Kamu mau memutuskan, Move hanya karena Nafisya kembali ke sini? Alangkah jahatnya kamu Ray!" Nafas Careld tersengal dengan muka merah. "Dengar Ray! Nafisya ke sini itu bukan sekali dua kali, dia itu sakit! Jantung sebelah kirinya bocor. Dan Aku dokter yang ia pilih untuk menangani penyakitnya. Dia datang kesini untuk berobat bukan untuk kembali padamu!" Suara Careld menggebu antara marah dan kesal. "Tapi ingat, Ray! Kalau kali ini kamu melepaskan Move, aku jamin kamu tidak akan bisa kembali lagi sama dia!" Ray tersentak sesaat. "Karena Aku tak akan pernah mengizinkanmu menyakiti dia lagi!" lanjut Careld masih dengan muka yang sama. Marah. Ra
Aku memberikan parcel itu, setelah terlebih dahulu memperbaikinya. Sebenarnya, nggak diperbaiki juga nggak apa-apa. Parcelnya kan hanya untuk adiknya. Nggak harus formal-formal banget. Tapi karena itu kesalahanku, mau nggak mau aku harus menebusnya. Laki-laki itu menatapku dengan sorot tajam sampai membuatku jengah. Apa semarah itu sama aku? Kan sudah aku perbaiki parcelnya. Aku tak mau ambil pusing. Bodo amatlah! Yang jelas aku ingin segera pergi dari tempat itu. "Sekali lagi, Aku minta maaf. Ini kesalahanku yang tak memperhatikan jalan. Maafkan Aku." Berulang kali aku minta maaf dan mengangguk hormat sebagai perminta maafan yang resmi kepadanya. Setelah itu aku memutar badanku melanjutkan langkahku yang tertunda, tanpa menunggu jawaban darinya. Entah memaafkan aku atau tidak. Aku tak peduli. Tapi tiba-tiba dia menarik tanganku hingga aku terjerembab kedalam pelukannya. Sesegera mungkin aku melepaskan pelukan yang tak sengaja itu. Ada rasa gugup di a
"Move!" Suara dokter Careld terdengar begitu keras di lorong rumah sakit. Dokter tampan dengan wajah ke bule-bule-an itu masih mengejar langkahku yang semakin cepat menuju lift. Aku sendiri tidak tahu, sebenarnya mau kemana. Ruang kerjaku di ruang praktek dokter Careld, sedang aku sudah di depan lift. Memang sebentar lagi jam istirahat dan makan siang. Tapi rasanya aku sudah tidak selera. Sakit banget rasanya hati ini. Semua skenario yang Ray rencanakan, hanya kali ini aku merasakan paling sakit luar biasa. Karena dia lebih memilih wanita lain di bandingkan dengan aku. Bahkan, Ray sama sekali sudah tidak perduli padaku. Seolah cinta 6 tahun itu hilang begitu saja, seperti cuma sampah di matanya yang bisa di buang seenak jidat dia. Air mataku benar-benar dengan suka rela terjun bebas di pipiku. Bahkan aku juga tidak berniat untuk mencegahnya. Punggungku terguncang hebat dengan suara isak tangis yang luar biasa ku tahan. Namun pertahananku bobol. Aku sesengguka
Aku menahan napas, ketika melewati ruang VIP tersebut. Ku urungkan niatku untuk memeriksa kondisi Nafisya, karena masih kulihat sosok Ray di situ. Kulanjutkan langkshku ke ruang praktek dikter Careld. Di sana masih kosong. Dokter muda itu belum kembali sama sekali dari urusannya. Aku hanya termangu sambari membereskan barang-barangku. Karena sebelum pulang harus memeriksa kondisi Isya terlebih dahulu. Rasanya berat sekali kaki ku melangkah ke sana. Tapi memang harus aku paksakan. Berharap nanti setelah beberapa jam yang akan datang, sosok Ray, sudah pergi. Baru saja aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku, ku dengar dari arah pintu ada suara langkah kaki menuju ruang kerjaku. Aku tersenyum ketika melihat sosok itu sudah kembali. Tapi senyumku seakan lenyap tertarik dengan bibirku, ketika ku sadari ada sosok lain yang bergeleyut di lengan dokter tampan itu. Seorang gadis yang penampilannya persis banget kayak bule. Selain cantik juga badannya ramping,