Akhirnya hari yang ditunggu tiba. Kami semua berlibur di pulau Dewata. Siang itu, kami berwisata ke tanah lot bali. Ingin menikmati keindahan senja di sana.
“Aku ke sana dulu, Bu.” Zafran dan keluarga kecilnya memilih berpencar dari kami. Bu Sekar tak melarang dan mengizinkan mereka untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya. Aku, Pak Farabi, kedua orang tuanya, dan Airin jalan bersama. “Pak Adilaga.” Tanpa sengaja ayah mertua bertemu sahabat lamanya. Pria itu lantas meminta izin pada istrinya untuk berbincang dan melepas rindu bersama sahabatnya. Bu Sekar mengizinkan. Kami lantas kembali melanjutkan langkah untuk menikmati keindahan tanjung batu bolong.Suasana begitu ramai hari itu. Kebanyakan pengujung merupakan turis asing. Bu Sekar begitu antusias ketika kami tiba di dekat batu bolong. Beliau lantas berdiri di tepi pagar, memandang ke ara batu bolong.Lokasi di sana begitu indah dan sangat coc“Jangan sampai menyesal kamu tidak bisa memiliki apa yang kamu suka. Seperti aku yang mencintaimu.” Pria itu juga menjelaskan bahwa perasaannya sama seperti menyukai topi itu. Maka dari itu dengan cara apa pun dia lakukan untuk mendapatkanku. Tanpa peduli perasaanku. Yang dia tahu saat itu adalah menjaga dan menghapus air mataku.Aku terkesima mendengar perkataan pria itu.“Deema, ayo kita cari makan. Aku lapar.” Pak Farabi memegang perutnya. Aku tersenyum mengiyakan permintaan pria itu.Pria itu berjalan menggandeng tanganku. Menyusuri jalan. Mencari tempat makan. Bersama Pak Farabi, entah mengapa aku merasa nyaman. Ada perasaan hangat saat bersamanya. Perasaan ini begitu beda ketika aku bersama Mas Bhanu Zafran.***“Kalian dari mana saja?” tanya Bu Sekar yang duduk di lobi bersama Airin. Pak Adilaga dan keluarga Zafran sudah terlebih dulu masuk ke dalam kamar.Usai makan bersama Pak Farabi, aku menikmati senj
“Zafran. Dia tak terima aku menyentuhmu.” Pak Farabi menjelaskan semua padaku tentang apa yang terjadi tadi. Ternyata Pak Farabi tadi ke luar mencari musala untuk salat. Pria itu lantas beristirahat sebentar di kafe dekat hotel. Pria itu sengaja berlama-lama di luar agar aku bisa melakukan apa pun secara nyaman.Ketika beliau hendak kembali ke kamar, pria itu berpapasan dengan Zafran. Melihat situasi sepi waktu itu, Zafran meluapkan amarahnya pada Pak Farabi. Kesal mendengar jawaban kakaknya, dia meninju kakaknya.Beruntung ada Namira baru saja dari kamar Bu Sekar untuk mengambil Rana. Kehadiran Rana menjadi alasan mereka berhenti bertengkar. Akhirnya Zafran memenuhi permintaan Namira dan kembali ke kamarnya.Sebagai seorang kakak, Pak Farabi juga menjelaskan, kalau dirinya tak membalas perbuatan adiknya. Semua yang dilakukan demi kebaikan Zafran.“Sudah kamu tidur saja.” Pak Farabi mengambil bantal lalu beranjak menuju ke sofa
Aku berdiri di depan mobil. Aku sangat cemas, juga merasa bersalah. Semua yang terjadi karena aku.Hingga beberapa kali mengetuk pintu, Zafran tak menanggapi permintaan kakaknya. Dari kaca mobil, aku bisa melihat pandangan pria itu kosong. Dia menatap lurus ke depan. Namira yang duduk di sampingnya terus saja menangis. Aku tak bisa membayangkan bila berada di posisi Namira.Pak Farabi terus berusaha membujuk Zafran.“Zafran! Apa yang kamu inginkan? Jangan seperti ini!”Zafran tetap diam. Namira berusaha membuka pintu mobil. Akhirnya, wanita itu keluar dan memelukku.Badan Namira bergetar hebat. Betapa sakit dan pedih cobaan hidup yang selama ini dia rasakan. Hidup dengan pria yang tak mencintainya. Walaupun sepenuh jiwa dia melayaninya, tapi tetap saja pria itu hanya menjadikannya pelampiasan.“Maafkan aku, Namira.” Seribu kata maaf pun, mungkin tak akan cukup untukku membayar segala penderitaan wanita itu. Semu
Malam itu, Pak Farabi dan Zafran pergi untuk menunaikan Salat Magrib, aku memilih menunaikan salat di ruang perawatan Namira. Usai melaksanakan kewajiban tiga rakaat, tak lupa kupanjatkan doa kepada Sang Maha Kuasa untuk kesembuhan Namira. Memang wanita itu sudah merebut kebahagiaanku dulu. Namun, aku sama sekali menaruh dendam padanya. Toh semua yang terjadi bukan keinginan wanita itu. “Deema.” Mendengar seseorang memanggil, aku mengedarkan pandangan. Tak ada orang lain di ruangan itu, hanya ada aku dan Namira. Bergegas aku melipat mukena dan perlahan mendekati ranjang. Aku memandang wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Beruntung tak ada luka serius yang didapat. Hanya kaki dan tangannya yang terluka. Kaki yang dulu patah, kini kembali patah. Menurut dokter, hal itu akan sulit untuk disembuhkan. Ternyata wanita itu sudah terjaga. Dia tersenyum memandangku. Ada setitik air menetes melihat wanita itu telah sadar. Ada perasaan lega bisa kembali mendengar suaranya. Be
Di luar rumah angin bertiup cukup kencang. Ditambah mendung merajai malam. Sendiri aku menyepi. Duduk menatap ke luar melalui jendela. Korden yang menutupi sebagian jendela, melambai. Aku kembali mengingat perkataan Ayah siang tadi. Entah. Haruskah aku tertawa? Menertawakan kabar yang dibawa Ayah atau aku harus bersedih mendengar sang mantan mendapat karma dari segala yang dilakukan padaku pada masa lalu. Tidak! Aku bukan wanita seperti itu. Aku bukan wanita jahat, yang akan menyimpan dendam karena kejadian masa silam. Semua yang terjadi pada Mas Bhanu ada sebab dan akibatnya. Andai, dia tak terlalu diperbudak oleh cinta, maka hal tragis itu tak akan terjadi. Dari cerita Ayah, nasib Mas Bhanu dan ibunya kini terlunta-lunta. Rumah mereka sudah dijual oleh Afseen. Beberapa waktu mereka tinggal di rumah wanita itu. Hingga pada akhirnya, anak dan ibu itu diusir dari rumah wanita kejam itu seperti anjing. Bukan hanya itu, janin dalam kandungan Afseen juga buka darah daging Mas Bhanu. M
Heran, aku memandang pria itu.“Aku ikut denganmu.” Pria itu memandangku dengan tatapan entah.Mengangguk, aku mengiyakan permintaannya.Kopi dalam gelas pun segera dihabiskan. Ingin jalan bersama alasannya.Diam, itu yang bisa aku lakukan ketika jemari kami saling terkait. Semakin hari, aku semakin nyaman dengan pr8a itu. Walaupun, hubungan kami berawal dari sebuah keterpaksaan karena tragedi yang menimpa ayahku, diri ini berharap, rumah, pernikahan kami akan langgeng hingga maut memisahkan.***Sebelum berangkat ke kantor, Pak Farabi mengantarkanku ke rumah Bu Diah. Pikirku, pada pukul enam pagi Bu Nirmala pasti belum berangkat bekerja. Usai dari rumah Bu Nirmala, aku langsung berangkat bekerja. Rana, sementara bersama pengasuhnya. Sedangkan Airin ada Mbak Darsi.Pagi tadi, aku juga menyiapkan sarapan buat Bu Nirmala. Pasti wanita itu kerepotan karena harus bekerja. Aku berharap, makanan yang aku bawa bisa bermanfaat untuknya.“Deema, apa kamu tidak takut untuk bertemu dengan Bhanu
Napas terasa berat. Dada terasa sesak. Aku begitu tak menyangka dengan kejadian yang menimpaku tadi. Beruntung Pak Farabi sigap dan mendorong tubuh Mas Dhanu menjauh. Dibantu Bu Nirmala, suamiku itu mendorong tubuh pria itu. Sedang aku berlari keluar. Bu Nirmala gegas mengunci pintu kamar pria itu. Dari luar, aku masih bisa mendengar beberapa kali pria itu memanggil namaku. Merasa bersalah dengan apa yang terjadi, Bu Nirmala berkali-kali meminta maaf. “Deema. Tenanglah.” Pak Farabi menggenggam kedua pundakku. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi pipi. Bukan hanya rasa takut yang menyelimuti diri, tapi juga rasa berdosa karena disentuh pria bukan mahramku. Kami bergegas pamit pada Bu Nirmala dan Bu Diah. Dengan derai air mata penyesalan, wanita itu melepas kepergianku. Mungkin, ini kali terakhir, aku menginjakkan kaki di rumah itu Di tengah perjalanan, karena tak tega melihat kondisiku, Pak Farabi menghentikan mobil. Memberi waktu agar aku lebih tenang. Namun, setengah jam
“Ya, sudah. Aku pergi dulu. Kamu baik-baik Deema.” Sebelum pergi Pak Farabi mengecup keningku. Hal itu juga dilihat oleh Zafran yang sedang duduk di ruang tamu. Aku bisa melihat pria itu intens menatap ke arah kami. Pada posisi ini aku benar-benar merasa tidak enak hati.Pada acara makan malam bersama aku merasa canggung karena duduk satu meja dengan Zafran. Sedangkan Namira berada di kamar. Wanita itu makan di kamarnya karena kondisi yang tidak memungkinkan.Di sampingku duduk, ada Rana dan Airin. Telaten, aku menyuapi buah hati Namira dan Zafran itu. Ibu juga menawarkan diri untuk menyuapi gadis kecil itu, tapi aku melarangnya dengan dalih dia kelelahan.Kami makan hanya berlima, karena Pak Adilaga juga pergi bersama Pak Farabi Da urusan penting katanya. Menurut Pak Farabi mereka baru pulang besok pagi. Urusan apa aku sendiri tidak tahu.“Deema, kamu tidak makan?” Ibu memandangku yang masih menyuapi Rana.“Habis menyuapi Rana, Bu.”“Ya sudah.” Wanita itu kembali melanjutkan makan.