“Ren, maaf Aku tinggal sebentar ya. Di depan rumah ada Pak RT yang ingin bertemu!” ucapku berpamitan.Reno mengangguk, menyetujui permintaanku. Aku melangkah menuju pintu gerbang dan membukanya. Betapa terkejutnya Aku saat tidak hanya mandapati Pak RT dan dua orang keamanan, melainkan ada Mas Adnan juga. Aku jadi semakin penasaran, apa yang sebenarnya terjadi?“Maaf Pak RT, ada apa ini?” tanyaku tidak sabar.Pak RT menatap ke arah Mas Adnan sekilas, lalu kembali menatapku. “Mohon maaf sebelumnya Bu Aisha, karena sudah mengganggu waktunya. Saya mendapatkan laporan dari Pak Danang pihak keamanan yang sedang patroli, beliau melihat Pak Adnan sedang menggali tanah dan seperti sedang menguburkan sesuatu di depan gerbang rumah Bu Aisha!” Pak RT akhirnya menjelaskan alasannya ingin bertemu denganku.“Mengubur sesuatu? mengubur apa Pak?” tanyaku fokus pada Pak RT. Aku sama sekali tidak menghiraukan kehadiran Mas Adnan diantara Kami.“Silakan tanyakan langsung pada Pak Adnan, Bu!” jawab Pak
"Tuh kan bener, apa Bibik bilang? Pak Adnan enggak bisa pakai cara kasar, jadi dia pakai cara halus. Naudzubillah, bukannya Bapak katanya dulu marbot, Bu?" tanya Bik Darmi heran."Iya, Bik. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu sifat dan sikap seseorang bisa saja berubah. Tergantung dengan kadar keimanannya!" jawabku lirih."Ya sudah Bu, sekarang istirahat saja. Enggak usah banyak fikiran. Bibik senang sekarang Ibu sudah kembali mendekatkan diri kepada Allah. Semoga untuk kedepannya, Allah akan selalu menjaga Ibu dan keluarga dari gangguan orang yang berniat jahat!" harap Bik Darmi dengan wajah tulusnya."Amiin. Terimakasih doanya, Bik. Saya permisi beristirahat dulu ya!" ucapku seraya melangkah menuju kamar. Malam ini mataku sulit untuk terpejam. Bayangan Mas Adnan tadi dengan kilatan amarah di matanya membuatku tidak tenang. Apalagi sebelum pergi dia sempat mengancam. Bagaimana jika dia sungguh-sungguh dengan ancamannya?Namun Aku berusaha meyakinkan diri, jika Kita jangan pernah
Nama Umi Mus tertera di layar ponselku. Jantungku berdebar kala menerima panggilan darinya. Ada apa gerangan beliau menghubungiku?"Assalamualaikum, Umi," sapaku mengawali pembicaraan."Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Mbak Aisha, mohon maaf mengganggu waktunya!" jawab Umi Mus."Tidak Umi, kebetulan Saya sedang santai. Adakah yang bisa Saya bantu?" tanyaku tanpa berbasa-basi."Tidak ada, Mbak Aisha. Saya hanya ingin mengobrol dan mengenal Mbak Aisha lebih jauh. Apa Mbak tidak keberatan?" tanya beliau, membuatku bertanya-tanya dalam hati.Umi Mus menghubungi hanya ingin mengobrol denganku? dan mengenalku lebih jauh? untuk apa?"Tidak keberatan sama sekali, Umi. Kalau untuk mempererat tali silaturahmi, Insya Allah Saya bersedia," balasku lagi.Kami akhirnya saling berbincang melalui telepon. Aku menjawab semua pertanyaan yang dilayangkan oleh Umi. Walaupun sedikit heran, namun Aku berusaha bersikap biasa saja. Mungkin saja apa yang dilakukan beliau, sama seperti kepada jemaah
“Lalu siapa, Bik?” tanyaku tidak sabar.“Pak Ustaz Azam dan istrinya, Bu!” jawab Bik Darmi membuatku terhenyak.Bagaimana bisa mereka tahu kalau Aku sedang tidak sehat? lagipula sakitku hanya demam biasa. Rasanya merepotkan saja sampai harus di jenguk segala.“Tolong sampaikan saya akan temui mereka, Bik!” ucapku seraya bangkit dari pembaringan. Melangkah perlahan menuju lemari pakaian, meraih jaket berbahan kain dan hijab seadanya. Setelah beberapa detik mematut diri di cermin, Aku melangkah menuju ruang tamu. Jantungku berdebar saat melangkah akan menemui mereka. Sepertinya Alma yang sudah memberitahukan kepada Umi Mus kalau Aku sedang tidak sehat. Ah, sahabatku itu memang menyebalkan.“Mba Aisha, kenapa keluar kamar?” tanya Umi Mus bangkit dari tempat duduknya dan menyambutku. Aku tersenyum dipaksakan dengan sedikit rasa gugup. “Tidak apa-apa Umi, saya hanya demam biasa. Sebentar juga akan sembuh!” jawabku sambil menundukkan wajah. Tidak berani menatap wajah beliau, apalagi ke ara
Aku berusaha bangkit untuk berdiri, namun tidak bisa. Rasa sakit menjalar pada ibu jari kaki yang sedikit terluka akibat gesekan lantai parkiran. Itu karena Aku menggunakan sepatu sandal yang bagian ujungnya terbuka."Ibu kenapa? Ibu baik-baik saja?" tanya Aldi sambil membantuku berdiri.Berkat bantuan Aldi, Aku berhasil berdiri. "Ibu baik-baik saja, Nak. Mungkin karena melamun itu sebabnya Ibu jatuh. Perasaan Ibu tidak enak, Aldi!" ucapku meluapkan isi hati."Ya sudah kita pulang sekarang, Bu. Apakah Ibu bisa menyetir mobil? kalau tidak bisa sebaiknya kita pulang memesan taxi. Nanti biar mobil kita dititip di sini sebentar sampai kaki Ibu membaik!" ucap Aldi memberikan saran."Enggak usah, Ibu tidak apa-apa. Insya Allah Ibu kuat untuk mengendarai mobil," jawabku yakin."Baiklah kalau begitu. Nyetirnya pelan-pelan saja, Bu!" pesan Aldi kemudian. Aku menjawab dengan anggukkan. Tak berapa lama Kami pun pergi meninggalkan hotel.Disepanjang perjalanan, jantungku berdetak tidak karuan. Tid
Aku mengambil ponsel dari dalam tas dan membaca nama yang tertera di layar. Reno. Sebenarnya malas menerima panggilannya, namun penasaran juga tujuannya menghubungiku.“Hallo, Aisha. Alma sudah memberitahuku tentang hilangnya putrimu. Aku turut prihatin ya. Kamu yang sabar dan bantu dengan doa. Aku akan membantu mencari keberadaan putrimu dengan mengerahkan semua teman-teman intel di kepolisian."Aku terkejut dengan ucapan Reno. Sudah pasti Alma memberitahukannya, karena mereka saudara sepupu. Namun Aku tidak memintanya untuk membantu mencari keberadaan Adeeva, karena tidak mau merepotkan orang lain.“Maaf, ren bukannya Aku menolak bantuanmu. Namun Aku sudah dalam perjalanan menuju Kantor Polisi untuk melaporkan penculikan Adeeva," ucapku menolak tawarannya dengan halus.“Ya memang harus segera di laporkan ke Polisi, karena ini sudah masuk tindakan kriminal. Lebih banyak yang berusaha mencari, itu akan lebih baik agar keberadaan putrimu segera dan ditemukan!” kilah Reno.“Tapi Ren, Aku
Kenapa Mas Akbar bisa mencurigai Bik Darmi ikut terlibat penculikan Adeeva?" tanyaku terkejut bercampur heran."Logikanya, kalau memang gerbang sudah dikunci tidak mungkin ada yang bisa masuk. Kemungkinan bisa masuk jika gembok di rusak atau nekat menaiki gerbang. Tetapi rasanya beresiko jika penculik beraksi di siang hari, kecuali pada malam hari. Tetapi masalahnya gembok sama sekali tidak rusak. Lalu bagaimana penculik itu bisa masuk?" ucap Mas Akbar mengeluarkan argumennya.Aku terdiam dan mencerna kata-kata Mas Akbar. Kenapa Aku tidak kefikiran sampai kesitu? tetapi masuk akal juga argumennya Mas Akbar. Bagaimana bisa penculik itu bisa masuk, jika gembok masih utuh dan tidak rusak? apa jangan-jangan Bik Darmi berbohong dengan mengatakan jika gerbang sudah dikunci?"Apa mungkin Bik Darmi lupa mengunci pintu gerbang ya, Mas? tetapi dia berbohong dengan mengatakan sudah dikunci karena takut di salahkan? Adek rasa jika mengambil kesimpulan dia ikut terlibat rasanya tidak mustahil, Mas.
POV: Adnan"Ayah, kita mau kemana? kok dari kemarin enggak ada Ibu?" tanya Adeeva putriku."Iya sayang, sabar dulu. Ini kita mau pergi menemui Ibu!" jawabku berbohong.Entah sudah yang keberapa kalinya Aku membohongi Adeeva yang menanyakan Ibunya. Sebenarnya Aku tidak tega, namun apa boleh buat? Aku terpaksa berbohong agar dia mau ikut bersamaku. Padahal Aku akan membawanya pulang kampung ke kampung halamanku di Jawa Tengah.Andai saja Aisha mau Aku ajak rujuk, mungkin tidak akan seperti ini jadinya. Aku membawa lari Adeeva tanpa sepengetahuannya. Dengan memperdaya pembantu bodoh itu, Aku bisa membawa Aisha pergi dengan aman.Aku membohongi Bik Darmi dengan mengatakan ingin bertemu Adeeva untuk yang terakhir kalinya karena akan meninggalkan kota ini. Awalnya dia menolak, karena takut dimarahi Aisha yang berpesan agar jangan pernah membukakan pintu untukku. Memang keterlaluan sekali mantan istriku itu, padahal Aku adalah ayah kandungnya.Namun setelah Aku memohon dan berpura-pura menang