Salah satu suster itu keluar dari ruang perawatanku. Tak lama kemudian kembali dengan membawa sebuah kursi roda. Mereka membantu aku untuk menaikinya. Setelah berada di atas kursi roda, salah satu dari perawat mendorongnya. Berjalan melewati beberapa ruang perawatan menuju lorong rumah sakit. Tepat di ujung ruangan rumah sakit, tibalah kami di depan pintu sebuah ruangan yang bertuliskan ruang jenazah. Jantung berdebar hebat serta lututku terasa lemas. Aku belum siap menerima kenyataan harus kehilangan salah satu anggota keluargaku. Salah satu perawat membuka pintu dan seketika udara dingin menyeruak menusuk kulit. Tercium juga bau kimia yang sangat menusuk hidung.Tubuhku gemetar, melihat beberapa jasad yang terbujur kaku tertutup kain berwarna putih. Perawat membawaku ke salah satu jasad yang juga tertutup kain berwarna putih."Ibu sudah siap melihat salah satu anggota keluarga Ibu yang telah berpulang?" tanya salah satu perawat dengan tatapan sendu.Aku hanya menjawab dengan anggukk
Aku terdiam mendengar pertanyaan Pak Askara. Musuh? Aku merasa tidak punya musuh. Satu-satunya orang yang menganggap musuh mungkin Mas Adnan, karena dia tidak menerima keputusan perceraian, ditambah kini aku sudah menikah lagi."Apa mungkin Mas Adnan mantan suami saya yang melakukan ini semua, Pak?" Aku malah balik bertanya kepada laki-laki yang semakin terlihat gagah sat memakai seragam kebesarannya."Segala kemungkinan bisa saja terjadi, Bu Aisha. Akan tetapi, perlu bukti untuk membuktikan itu semua. Apakah selain mantan suami, adakah yang dicurigai, Bu Aisha?" tanya Pak Askara lagi.Mas Akbar menoleh ke arahku. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu, namun terlihat sungkan dengan kehadiran Pak Askara. Aku jadi teringat dengan peneror tempo hari, yang mengirimkan pesan berupa ancaman. Begitupun dengan pengirim photo ke nomornya Mas Azam."Pak Askara, sebenarnya beberapa minggu terakhir ini saya dan suami pernah mendapatkan teror dan kiriman photo dari seseorang yang tidak dikenal.”P
Aku terkejut mendapatkan kembali pesan ancaman dari nomor yang tidak dikenal. Pasti pengirimnya masih sama dengan peneror sebelumnya. Aku merasa heran, darimana dia tahu nomor kontak yang baru? Padahal seingatku, nomor kontak baru hanya diberikan kepada teman dekat dikantor, atasan dan keluarga. Selebihnya tidak ada.Aku segera mengirimkan screen shoot pesan beserta nomor kontak peneror itu ke Pas Askara. Pesan berlogo hijau itu sudah terkirim, tetapi belum terbaca oleh Pak Askara.Aku menantikan pesan balasan darinya, akan tetapi hingga setengaj jam lamanya menunggu tidak kunjung ada. Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan. Rasa cemas dan takut kembali menghampiriku. Tak lama berselang, Mas Azam masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya menonton televisi di ruang keluarga.“Hubby, kamu kenapa? Kok wajahmu tegang begitu?” tanya suamiku heran.“Peneror itu kembali mengirimkan pesan ancaman, By. Aku takut!” jawabku seraya terisak.Mas Azam menghampiri dan merengkuhku dalam p
Pak Askara memberikan informasi jika dia berhasil melakukan investigasi di bengkel tempat Mas Azam membawa mobilnya sebelum keberangkatan ke Bali. Melalui rekaman CCTV, diketahui bahwa memang ada seseorang yang masuk ke dalam mobil Mas Azam saat sedang berada di bengkel. Seorang pria yang mengenakan topi serta masker di wajahnya. Namun tetapi orang itu dipastikan bukan karyawan, karena semua penghuni bengkel tidak ada yang mengenalinya. Aku sedikit kecewa mendengarnya, karena itu artinya belum diketahu dengan pasti siapa peneror yang sebenarnya. “Pak Askara, bagaimana dengan nomor ponsel peneror yang kemarin saya kirimkan?” tanyaku tidak sabar.“Setelah dilakukan penelusuran, ternyata peneror itu menggunakan identitas palsu untuk mendaftar kartu SIM di ponselnya.” Pak Askara menjawab pertanyaanku dengan menatap ke arah kami berdua secara bergantian.“Bukannya pendaftaran kartu SIM pada ponsel itu harus dengan identitas yang valid ya, Pak? Lalu bagaimana bisa peneror itu menggunakan id
“Kamu pulang diantar Pak Askara?” tanya Mas Azam dengan tatapan menyelidik.“Iya, tadi kebetulan dia lewat dan menawarkan tumpangan. Aku terpaksa menerima tawarannya, karena hari sudah malam, sedangkan nomor kamu tidak dapat dihubungi!” jawabku tegas.Aku tidak mau disalahkan hanya karena pulang bersama Pak Askara. Andai saja suasana tidak genting seperti saat ini, pasti lebih memilih menantinya datang menjemput. “Terpaksa katamu? Apa kamu tahu alasanku tidak menjemputmu?” tanya Mas Azam lagi, kali ini netranya memancarkan kilatan amarah.“Mana aku tahu, Mas! Sementara nomor ponselmu saja tidak dapat dihubungi sejak pukul setengah lima sore tadi,” jawabku tidak mau kalah.“Mobilku mogok, jadi terpaksa kembali masuk bengkel. Sementara ponselku mati karena lupa mengisi dayanya.”“Lalu, menurutmu aku harus menunggumu sampai datang? Sedangkan keadaan sedang genting begini? Kalau peneror itu nekat berbuat jahat kepadaku bagaimana?” cecarku kini kepada Mas Azam yang terlihat semakin menekan
“Ngomong yang bener kamu, Al. Mas Azam kenapa?” tanyaku tidak sabar.“Anu … mungkin aku salah lihat, Sha!” jawab Alma semakin membuatku penasaran.“Memangnya kamu lihat apa? Jangan bikin aku penasaran, Al!” ucapku sedikit dengan penekanan. Aku ingin tahu, apa yang sudah dilihatnya.“A-ku me-lihat Ustaz Azam ber-duaan de-ngan wa-nita di restaurant,” jawab Alma dengan terbata.Jantungku rasanya seperti berhenti berdetak saat mendengar jawaban Alma. Rasanya tidak percaya, tetapi tidak mungkin Alma berbohong. Dia sahabat yang paling aku percaya. “Memangnya kamu tidak bekerja?Kenapa jam segini berada di restaurant?” tanyaku seolah menepis kenyataan yang baru saja didengar. “Aku memang sengaja mengajukan cuti selama 2 hari, karena masih belum siap bekerja tanpamu. Kebetulan hari ini suamiku ngajak lunch di restaurant langganannya. Aku juga awalnya tidak percaya, sampai menanyakan langsung kepada suamiku. Ternyata memang benar, itu Ustaz Azam.”“Kamu punya photonya tidak? Aku mau lihat bukt
"Mbak Nisa kenapa, Mas?" tanyaku penasaran."Mbakmu, selingkuh...." Aku terkejut mendengar kabar dari Mas Akbar tentang Mbak Nisa. Rasanya tidak mungkin dia berselingkuh, karena setahuku dia bucin kepada Mas Akbar. Walaupun sebenarnya kata Mas Akbar kini sikap Mbak Nisa berubah, tetapi aku mengira itu hanya ujian dalam rumah tangganya. Mungkin Mbak Nisa merasa bosan dengan pernikahan yang sudah berusia puluhan tahun. Aku sama sekali tidak menyangka jika dia berselingkuh."Mas enggak boleh sembarangan menuduh kalau tanpa bukti!" ucapku berusaha menepis kabar dari Mas Akbar."Mas enggak nuduh, Dek. Mbakmu sendiri yang mengakuinya.""Dia mengakui kalau telah berselingkuh, Mas?" tanyaku tidak percaya."Dia tidak blak-blakan mengakui berselingkuh, tetapi dia bilang kalau sudah enggak cinta lagi sama Mas.""Mas percaya apa yang dikatakan Mbak Nisa? Mungkin dia hanya ingin menguji kesabaran Mas, atau mungkin ingin mengerjai Mas." Aku masih bersikukuh meyakinkan jika kakak iparku itu tidak se
Aku merasa heran, karena Mas Azam hanya terpaku menatap layar ponsel tanpa menerima panggilannya. Aku memberikan kode kepadanya agar mengangkat panggilan itu. Akan tetapi, dering ponselnya sudah tidak terdengar. “Kenapa enggak diangkat, Huby?” tanyaku heran. “Udah keburu mati,” jawabnya singkat. Mas Azam kembali melajukan mobil yang dikendarainya menuju pondok pesantren Aldi. Hampir dua jam menempuh perjalanan, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Aku menemani Aldi masuk ke pondok, sementara Mas Azam terlihat sedang memarkirkan mobilnya. Suasana pondok pesantren kali ini sangat ramai, mengingat semua santri telah kembali dari liburan mereka.Setelah mengantar Aldi dan berpamitan, aku mencari Mas Azam yang belum juga menyusul ke dalam pondok pesantren. Aku melangkah menuju parkiran tadi, tetapi tidak menemukan Mas Azam disana. Aku berjalan mengitari ke seluruh area parkiran, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya aku berkeliling mencari keberadaan Mas Azam dan berhasil menemukannya. Ternyat