Share

Mengapa Kau Peduli Padaku?

"Tunggu dulu!"

Suara bariton seorang pria tepat terdengar di belakang telinga Adley. Deru napas tersengal dan hembusan napas dari pria itu juga membuat bulu-bulu halus di belakang leher Adley bergidik merinding. Adley langsung memutar tubuhnya dan melihat Kael berdiri tepat di hadapan Adley.

"Kael!" seru Adley dengan terkejut.

"Dari mana?" Kael tampak tersenyum padanya.

"Ada urusan." 

Kael tersenyum kembali ke arah Adley. "Kenapa kau terus tersenyum padaku? Apa ada sesuatu di wajahku atau ...,"

"Tidak."

"Lalu?"

"Tak ada apa-apa. Aku hanya bahagia."

"Bahagia? Syukurlah kalau kau bahagia, Kael." Adley menguraikan senyum manisnya dan jemarinya berniat ingin menarik gagang pintu di depannya. Tiba-tiba ....

"Teonna, jangan masuk!" Kael mengenggam jemari Adley tiba-tiba.

"K--Kael!" seru Adley sambil menunjukkan ekspresi terkejut atas sikap Kael.

"Teonnaaa ...," Kael langsung mendekatkan wajahnya dan hawa panas sangat terasa menyelimuti wajah Adley bak sauna. Tak hanya itu, Kael juga sedikit mendorong tubuh Adley hingga mundur beberapa langkah dari pintu putih itu.

"Kael! Apa maumu!?" pekik Adley langsung memegang tangan Kael dan ....

"Astaga, Kael! Tanganmu ...,"

Tak lama, Adley memindahkan tanganya ke kening Kael dan membelalakkan matanya.

"Kau sakit!" ucapnya.

"A--aku tak sakit. Aku baik-baik saja." Kilah Kael mulai sempoyongan dengan mata mulai menyipit namun masih bisa tersenyum.

"Kael! Kael! Hei, sadarlah!" Adley menepuk-nepuk pelan pipi Kael, namun ....

BRUK!!

Seketika tubuh Kael langsung tersungkur dan jatuh ke lantai granit hitam nan dingin.

"KAEL! KAEL! KAEL!" teriak Adley kembali menepuk-nepuk pipi Kael sedikit lebih kencang.

Tak ada jawaban, Adley segera menggedor-gedor pintu masuk di depannya dengan kencang.

"Siapa pun yang ada di dalam! Cepat buka pintunya!" Teriak Adley sembari memapah Kael yang pingsan.

Tak ada jawaban. Adley terus menggedor-gedor pintu megah nan besar itu beberapa kali hingga ....

"Ah, N--Nyonya Muda,"

Seorang asisten rumah tangga Keluarga Graciano segera membukakan pintu dan menundukkan kepalanya.

"APA KAU TULI, HAH! BERAPA KALI LAGI AKU HARUS MENGGEDOR PINTU SIALAN INI AGAR KAU DENGAR!" emosi Adley seraya mendelikkan matanya.

"M--maaf, Nyonya. Tadi--tadi ...,"

"Jangan banyak omong! Cepat bantu aku!" 

"T--Tuan Muda!" sang asisten rumah tangga itu terkejut melihat Kael tengah terkapar pingsan.

"Cepat, bantu aku!" 

"B--baik." Adley dan sang asisten rumah tangga memapah Kael yang tergolek pingsan dan membaringkannya di sebuah sofa hitam legam sembari membuka satu per satu kancing bajunya.

"Bawakan aku sekantong es batu balok, sekarang!" tegas Adley sembari menggulung lengan panjang kemeja putihnya yang telah ia ganti sebelumnya.

"Nyonya, ini." Sekantong es balok kini ada di tangan Adley dan langsung ia tempelkan di dahi Kael yang panas bak gunung berapi.

"Saya akan memanggil Dokter John." Sang asisten rumah tangga itu langsung beranjak menuju telepon di samping kiri pintu keluar dapur kediaman Graciano.

"Siapa Dokter John?" tanya Adley sedikit mengencangkan suaranya.

"Dokter pribadi keluarga Graciano, Nyonya." Jawab asisten itu dan segera menekan angka-angka yang tertera di papan telepon warna pastel itu.

'Panas sekali, apa yang terjadi? Sepertinya dia masih baik-baik saja ketika kami bertemu tadi.' Gumam Adley terus menempelkan es batu tersebut di dahi Kael.

***

Selang beberapa menit kemudian, seseorang terdengar mengetuk pintu kediaman Graciano. Dengan langkah cepat, sang asisten membuka pintu putih megah tersebut dan tampak di hadapannya seorang pria berusia sekitar 30-an dengan kemeja blue navy serta celana model slim fit warna hitam, rambut panjang bergelombang seleher yang digerai serta kacamata dengan frame tipis yang menutupi blue ice miliknya.

"Dokter John! Anda sudah datang, mari masuk, cepat Dokter!" asisten rumah tangga itu segera mengarahkan John ke tempat di mana Kael dibaringkan.

"Nyonya, Dokter John sudah datang."

John dan Adley bertemu 'tuk kali pertama dan John, tanpa membuang banyak waktu langsung melihat kondisi Kael dan memeriksa denyut nadi, napas juga jantungnya.

"Bagaimana? Apa yang dialami oleh Kael?" tanya Adley berdiri di sebelah John.

John bergeming.

"Sudah berapa lama Tuan Muda seperti ini?" tanya John dengan bariton dalam.

"Baru saja. Ada apa? Apa ada masalah?" Adley semakin penasaran.

"Tak ada. Tuan Muda hanya kelelahan. Saya akan menyuntikkan beberapa vitamin yang biasa saya gunakan untuk menyuntikkan Tuan." Jelas John sembari membuka bungkus jarum suntik dan memberikan suntikan vitamin C pada tubuh Kael.

"Lalu bagaimana eengan panasnya? Apakah akan berefek luas?" tanya Adley lagi sembari memperhatikan nama cairan yang diberikan John untuk Kael.

"Saya akan memberikan beliau resep obat yang biasa saya berikan. Anda ...." John melihat Adley dan berkata, "Saya belum pernah melihat Anda. Siapa Anda?"

"Saya ...,'

"Dia istriku!"

Mezzo-sopran seorang laki-laki dengan langkah kaki lantang dan tegas menuruni anak tangga yang terbuat dari granit abu-abu melihat ke arah mereka berdua.

"Oh, Tuan Cleon. Apa kabar? Lama tak berjumpa," sapa John tersenyum.

Cleon hanya memasang wajah dingin dan datar dan menghampiri keduanya. Melirik ke arah Kael, Cleon dengan seringainya berkata, "Inilah balasan Tuhan untuk seorang yang TAMAK DAN SERAKAH SEPERTI DIA!" ucapnya dengan penekanan kata-kata yang lantang dan tajam.

"Apa maksud Anda, Tuan Cleon?" John menaikkan kacamatanya yang turun sedikit mengenai tulang hidungnya yang mancung.

"Bukan urusan Anda, Dokter. Lebih baik sembuhkan saja pasien tercinta Anda ini!" 

Cleon tak banyak bicara panjang lebar dan langsung meninggalkan mereka bertiga. Adley semakin yakin jika ada sesuatu yang tak 'biasa' dengan keluarga ini.

"Maaf, Dokter. Tadi Anda bilang Anda biasa memberikan resep obat pada Kael. Apa dia ...," Adley menghentikan kata-katanya.

"Maaf, saya tak bisa mengatakannya, Nyonya Cleon ...,"

"Teonna"

"Apa?"

"Panggil saya Teonna saja. Tak perlu ada tambahan Nyonya. Karena itu sangat mengganggu di telinga saya," jelas Adley sembari tersenyum.

John hanya membalas dengan senyum tipis nan manis.

"Tuan Kael telah tidur. Saya juga telah menyuntikkan cairan untuk penghilang panasnya serta vitamin untuk rasa lelahnya." Jelas John membereskan peralatannya.

"Apa saya boleh tahu kenapa Anda mengatakan 'resep obat biasa'?"

Salah satu tangan Adley disembunyikan di balik celana skinny jeans hitam miliknya yang telah ia selipkan alat perekam berbentuk mikrochip. Dengan mengulas senyum tanpa dosa, Adley mulai 'menginvestigasi' dokter muda nan tampan itu.

"Bagaimana jika saya menjamu Anda dengan secangkir teh lemon yang hangat, Dokter?" tawar Adley.

"Terima kasih, Nyo--Teonna. Tapi maaf, saya masih ada pasien yang harus segera ditangani." Balas John menundukkan kepalanya sedikit dan beranjak keluar dari kediaman keluarga Graciano.

"Benar-benar dokter yang dingin!" ucap Adley menyeringai.

****

Malam itu, entah mengapa Adley memiliki niat untuk menjaga sang adik ipar. Tak terbesit di benaknya untuk memulai misinya. Seharusnya ini adalah kesempatan yang bagus baginya untuk menggeledah isi rumah besar ini. Sementara Cleon pergi dan sang kepala keluarga entah pergi ke mana. Namun Adley urung melakukannya. Dia malah duduk di samping Kael dan terjaga sepanjang malam. Menemani layaknya seorang istri menemani sang suami yang sedang terkapar tak berdaya.

Adley juga kerap memeriksa suhu tubuh Kael yang belum stabil. Ekspresi kekhawatiran jelas-jelas tampak di wajah cantiknya. Sikap Adley yang 'tak biasa' itu ternyata diam-diam diawasi oleh kepala rumah tangga keluarga Graciano, Jeff. 

Keesokan paginya, Kael yang telah membuka mata terlebih dahulu melihat Adley tengah duduk di sofa kecil sebelah dirinya terbaring. Dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya, Kael membuka pelan mata besarnya, memegang kepalanya yang masih terasa pusing dan mata yang memyeloroh ke langit-langit rumahnya.

Netra biru laut itu kini beralih ke sebuah kaki panjang jenjang yang dilipat menyilang di sofa sebelah tempat ia tidur. Dengan mata yang masih agak berat, Kael melirik ke atas dan mendapati seorang wanita cantik dengan rambut dark-brown red bergelombang tengah tertidur pulas di sofa tersebut. Kael tanpa sadar mengulas senyum tipis di wajahnya. Senyum manis layaknya suami yang merindukan kasih sayang, kekasih yang merindukan belaian dan pelukan hangat. Seperti itulah yang Kael rasakan saat ini.

Dirinya pun berdiri dari sofa itu, perlahan. Tak ingin membangunkan Adley, dia melipat selimut dan merapikan bantalnya dengan hati-hati. Netranya tak dapat berpaling dari wajah cantik Adley. Meskipu sedang tidur, namun kecantikan alami yang dimiliki Adley benar-benar membuat buta hati Kael.

"Kenapa kau menolongku? Kenapa kau harus menikah dengan kakakku? Kenapa kau harus datang ke Blue House dan bekerja di sana? Kenapa ... kenapa ...." ucap Kael perlahan tepat di wajah Adley. Jarak wajah mereka yang hanya terpaut beberapa inci membuat Kael menelan saliva-nya dalam-dalam. Matanya menatap intens wajah cantik Adley dan tanpa sadar, tangannya menyentuh wajah Adley dan merasakan kelembutan pipi oval wanita cantik itu.

Kael hanya terus memandang Adley yang tengah tertidur pulas dan beberapa saat kemudian dia berdiri dan segera beranjak dari hadapan Adley.

Tak disangka, Kael yang mengira Adley masih tertidur pulas, ternyata membuka matanya dan melihat siluet Kael pergi dari hadapannya.

'Benar, kenapa aku harus menolongmu? Kenapa aku harus bersusah payah menghabiskan energi dan waktu untuk menjagamu? Apakah itu karena ...."

BRAKKKKK!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status