Mila mengambil kardus besar yang dibawa oleh Reva, dengan santainya melihat isi yang berada di dalam kardus tersebut. Lalu dengan cepat menganggukkan kepalanya, sembari terkekeh sinis sejenak.“Aku hanya memberikan kalian seperti itu, mudah-mudahan cukup untuk kalian semua,” ujar Reva, melihat raut wajah Mila yang seperti tidak suka dengan apa yang diberikan kepada Mila.Mila hendak menjawab, namun Tio lebih dahulu menyela. “Ini sudah lebih dari cukup Reva, bahkan jika kami memakai mungkin kelebihan kadang,” ujar Tio dengan senyum ramahnya, melirik Mila yang menatapnya dengan sinis.Jika Mila diberikan menjawab, mungkin akan menjadi panjang perdebatan yang akan terjadi sekarang. Tidak seperti yang lainnya jika ada tamu ke rumah, Mila hanya sinis kepada kedatangan Reva dan Roy membuat dia menjadi kesal.“Maaf, aku telat menyuguhi kalian. Kalian ingin minum?” tanya Tio, ketika mengingat sesuatu yang hampir terlupa setiap ada orang yang datang untuk bertamu ke rumah. “Tidak perlu, kami t
Tio menganggukan kepalanya dengan sedikit terkekeh, melihat raut wajah kaget dari Roy. “Aku hanya sedikit mengambil untung, intinya ada yang beli dan laku itu sudah membuat aku senang,” ujar Tio kembali, bahkan tidak ada unsur paksaan dari apa yang dikatakan. Membuat Roy mengangguk“Kamu tidak merasa rugi?” tanya Roy lagi, dengan kening yang berkerut.“Tidak, jika memang rejeki aku berada disana. Mungkin tanpa kita sadari, kita menabung akan banyak memiliki tabungan,” ujar Tio.“Ternyata kamu pintar juga,” kekeh Roy membuat Tio tertawa kecil mendengarnya.***Mila melihat di sekitar luar rumah Tio, sungguh pemandangan dari sini terluhat sangat menarik. Tidak terlalu dekat dengan jalan raya, tapi tidak terlalu jauh dengan jalan raya. Impas, bahkan terasa lebih tenang jika tinggal disini.Namun terlihat seperti kampung, dengan kondisi yang dua kali lebih bersih dari yang di kota.Reva membalikkan badannya, kembali menuju rumah Tio setelah dirasa sudah lama dia berjalan-jalan di sekitar r
Reva dan Roy kini sudah berada di dalam mobil, mereka akan menuju tempat yang akan dituju yang terakhir sebelum pulang ke rumah.Namun Reva masih tak percaya dengan apa yang di lihat, jika kehidupan Tio akan seperti itu. Terlebih lagi istrinya sangatlah buruj sikapnya, membuat Reva menjadi kasihan melihatnya.“Pasti Tio setiap hari di salahkan sama istrinya,” celutuk Reva, membuat Roy sedikit melirik ke arahnya.“Iya, kasihan Tio harus bertemu perempuan seperti dia,” jawab Roy. “Dari sikapnya saja aku sudah tidak suka, sudah Setiap hari emosi aku jika melihatnya.”Reva terkekeh pelan, ternyata Roy juga tidak menyukai sikap istri Tio. “Dari dulu beranggapan sombong, dengan apa yang dia punya. Sudah seperti ini, kenapa dia malah tidak ingin bertobat?” ujar Reva, sangat heran dengan Mila. Entah setan apa yang merasuki tubuhnya, sampai bisa dia seperti itu kepada suami.Tidak mau bekerja, selalu Tio yang di salahkan soal pekerjaan. Selalu Tio yang salah soal uang, dan semua Tio yang salah.
“Ternyata penjual disini masih pada mengingat diriku,” ujar Reva, sembari memakan satu tusuk sate milik Roy.Roy menganggukan kepalanya. “mereka pasti mengingatmu, toh pelanggan yang dulu hampir setiap hari datang kesini,” kekeh Roy, menatap Reva.Reva terkekeh. “Iya sih,” ujar Reva dia mendorong piringnya yang sudah kosong. “Aku mau bayar dulu, kalau mau ke mobil duluan aja, ya,” balas Roy memberikan kunci mobilnya kepada Reva. Lalu pergi dari hadapan Reva, pergi menuju penjual sate.Reva berjalan menuju mobil, langsung masuk ke dalam mobil. Sembari menunggu Roy, dia memainkan ponselnya menghilangkan rasa bosannya.****18:00Jam enam sore, Reva baru saja sampai di rumahnya. Badannya sangat lelah dan lengket, seharian berada di luar rumah. “Assalamualaikum,” ujar Reva dan Roy secara bersamaan, membuat Bi Ira yang duduk di kursi sofa langsung mendekati mereka.“Astaga, bibi kira kalian pergi kemana. Dari pagi buta keluar, dan baru sampai jam enam sore,” kata Bu Ira, membuat Reva ters
Uekkk!Uekkk!Reva memegang kepalanya yang terasa sangat pusing, sudah berkali-kali dia bolak-balik kamar mandi karena rasa mualnya tak bisa di tahan. Roy sudah berangkat kerja sejak tadi, dia ditemani Bi Ira yang tengah membuatkannya teh hangat. Dia berjalan keluar dari toilet, bersamaan dengan Bi Ira yang memasuki kamar Reva. Bi Ira menaruh teh hangat, dan mendekati Reva. “Neng tidur dulu neng, ini pakai minyak hangat dulu,” ujar Bu Ira.Reva hanya menurut saja, yang terpenting rasa mualnya bisa hilang dari tubuhnya. Rasa pusing pun semakin menjadi-jadi, bahkan berdiri saja Reva sudah merasa ingin tumbang.Bi Ira mengoleskan minyak hangat, Reva meminum air hangat yang diberikan oleh Bi Ira. Bi Ira juga memijat kepala Reva sejenak, rasanya memang nikmat saat Bi Ira mulai memijit kepalanya.Namun sesuatu yang mengganjal seperti akan keluar dari dalam perutnya, dengan cepat Reva berlari menuju toilet. Uekk!Uekk!Reva kembali muntah-muntah, bahkan Bi Ira mengelus punggung Reva. Dia
“Neng sekarang mandi dulu yang bersih, Bibi mau masak nanti kita makan. Bibi temeni di bawah, kita mengobrol ya?”Reva menganggukan kepalanya, Bu Ira lalu pergi dari hadapan mereka. Dia berjalan menuju toilet dengan senyuman yang sudah dia tahan sejak tadi.“Terimakasih tuhan, akhirnya engkau mempercayai diriku untuk menjaga dia,” batin Reva, mengelus perutnya yang masih rata. ***Setelah selesai mandi, Reva langsung turun ke bawah. Mualnya masih menerjang, namun tidak separah pagi tadi. Mungkin ini menang efek dari ibu hamil, dan Bi Ira selalu mendampingi Reva apapun yang terjadi kepada Reva. “Sekarang aku harus ngapain, bosan sekali,” ujar Reva, membuat Bi Ira terkekeh.“Kita duduk di halaman belakang ya? Biar seger, disini panas sekali,” usul Bi Ira membuat Reva menganggukkan kepalanya dengan cepatReva ingin membantu Bi Ira untuk mencuci piring, namun Bi Ira menolaknya dia pun akhirnya memilih untuk mengelap meja saja. Terlalu banyak pekerjaan yang tidak diperbolehkan, membuat
Reva dan Roy langsung pergi ke dokter kandungan, untuk memeriksa kandungan yang ada pada Reva. Mereka sudah sampai, dengan perjalanan yang sangat padat. Roy menuntun Reva dengan lembut untuk menuju ruangan kandungan.“Ah ramai sekali,” ujar Reva berdecak dengan kesal, melihat banyak sekali yang mengantri di depan ruangan membuat Roy mengacak rambut Reva.“Namanya juga tempat umum, kita antri dulu, ya?” Roy mengambil nomor antrian, dan mengajak Reva untuk duduk di tempat yang kosong. Sembari menunggu antrian, Reva dan Roy berbincang-buncang. Menceritakan banyak hal, tentang apapun itu. “Nomor 21!”“Roy ayo!” Reva mengajak Roy untuk masuk saat nomor antreannya di sebutkanRoy dan Reva memasuki ruangan, di sabut hangat oleh ibu dokter yang duduk di kursi. Mempersilahkan mereka untuk duduk.“Ibu rebahan disana ya, biar saya periksa,” ujar Bu dokter membuat Reva menganggukkan kepalanya. Reva pun pergi menuju bankar bersama dengan dokter tersebut. Dokter memeriksa kandungan Reva dengan
Reva tengah membersihkan ruang tamu, langsung kaget dengan kehadiran Bu Wendah yang sudah berada di dalam rumah.“Eh ibu sudah di sini saja, kenapa gak pencet bel?” Ujar Reva dengan sedikit kaget.Bu Wendah tersenyum. “Kenapa toh, kan ibu juga bukan tamu jadi tidak apa dong,” balas Bu Wendah.Reva menganggukkan kepalanya paham. “Bentar ya bu, saya panggilkan Roy dulu. Dia lagi di atas sejak tadi” ujar Reva lalu pergi dari hadapan Bu Wendah.Melihat Reva yang sudah pergi, Bu Wendah langsung merubah ekpresinya. Dia memutar bola matanya malas, sungguh dia sangat jijik jika berkata manis dengan Reva. Sungguh dia tidak senang, bahkan tidak suka. Namun demi melancarkan aksinya, dia harus bisa untuk bersikap manis kepada Reva.Tak lama kemudian, Reva dan Roy muncul bersamaan dengan Bu Ira yang membawakan minuman. Bi Ira segera pergi, namun batinnya bertanya-tanya tujuan majikannya datang kemari.“Ibu,” sapa Roy dengan raut wajah senangnya, menyalimi tangan Bu Wendah dengan sopan. Bu Wendah