"Vina, sebelumnya Mbak minta maaf kalau membahas ini lagi, tapi saat Mbak dan mas Gibran tadi bermusyawarah, kami memutuska untuk kembali menanyakan apakah Vina mau kembai meminta pertanggung jawaban pada Aryo?"Aku menambahkan, "kalau Vina mau tahu, sebenranya bu Yulis sudah mengetahui selama ini mengenai kehamilan Vina."Mata bulat Devina melebar terkejut. "APA?"***Aku mengangguk membenarkan, "bu Yulis memang sudah mengetahuinya. Kamu ingat saat bu Yulis datang ke rumah Mbak?"Devina mengangguk."Itu karena bu Yulis tahu kamu masuk diam-diam ke ruamah Mbak untuk menemui baby Aydan. Mungkin saat itu rencananya bu Yulis ingin melihat kamu. Namun, entah karena di kamar ini ada Mbak atau ada hal yang lainnya, bu Yulis cepat-cepat ke luar kembali. Akhirnya bu Yulis memanggil-manggil kamu untuk menyuruh kamu keluar."Aku menambahkan, "coba, kalau bukan karena bu Yulis sudah tahu kamu ada di kamar Mbak, tidak mungkin kan ucapan Mbak kemarin yang lumayan bernada tinggi sampai terdengar ke
Setelah terdiam cukup lama, bu Yulis menghembusakan napas kasar. Dia memandangi Devina rumit, mungkin memikirkan egonya yang akan tercoreng bila salah mengambil keputusan."Kamu maunya gimana, Vina?" Bu Yulis menatap Devina semrawut. Dia mengacak-acak sanggul rambutnya kasar sehingga jadi kusut.Devina menunduk menyembunyikan wajahnya dari semua orang. "Vina ngikutin Ibu saja. Kalau Ibu nersedia datangin rumahnya Aryo, Vina ikut, tapi kalau Ibu tidak mau, Vina gak apa-apa selamanya gini asal Ibu tidak menanggung malu akibat perbuatan Vina ini."Bu Yulis mengusap kasar pipinya yang terdapat lelehan air mata. "Kenapa sih kamu itu harus hamil? Cape-cape Ibu biayain kamu. Kamu pikir Ibu gak cape apa cari uang sendiri buat biayain sekolah kamu? Cape Vina, Cape! Lalu apa yang kamu berikan pada Ibu? Kamu malah memberikan ibu Aib."Bahu Devina bergetar. Aku terkejut begitu Devina jatuh berlutut sambil memegangi kaki bu Yulis. "Maaf. Maaf. Maaf. Maafin Vina bu, Vina khilaf. Ibu hukum saja Vina
Aku tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Devina. Setelah mendapat anggukan dari Devina, aku kembali meluruskan pandangan ke arah Aryo yang masih menunduk."Boleh," ucapku.Perlahan Aryo memgangkat kepalanya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri Aryo untuk menyerahkan baby Aydan. Dengan tangan bergetar, Aryo menerima baby Aydan.Terlihat sekali Aryo belum tahu cara menggendong bayi dengan benar. Aryo memangku baby Aydan seperti memegang bagi di antara dua tangannya. Aku tertawa pelan dan membenarkan letak pangkuan Aryo pada baby Aydan, barulah baby Aydan terlihat nyaman dalam gendongan ayah biologisnya.Lama sekali Aryo diam dengan pandangan menatap lekat baby Aydan dalam pangkuannya. Tangannya mengusap pelan pipi gembul kemerah-merahan baby Aydan. Sejatinya baby Aydan adalah bayi yang tidak rewel, maka saat Aryo memangkunya, baby Aydan hanya diam tenang dengan balik menatap Aryo."Kapan waktu tepatnya kita akan melaksanakan pernikahan itu?" Pak Ridwan kembali angkat suara setelah ter
"Mas," aku menatap mas Gibran penuh peringatan. Kenapa nada suaranya malah jadi tidak bersahabat begitu? Cemburunya tak beralasan. Mas Gibran menatapku jengkel sekaligus kesal. Aku tahu alasan kenapa mas Gibran menatapku begitu, apalagi kalau bukan bentuk protes dari peringatanku."Silahkan masuk, Mas Ferdi." Dengan sopan kupersilahkan masuk tamuku yang datang di waktu tidak tepat itu.Ferdi masuk ke dalam rumah dan duduk dengan nyaman di atas sopa. Namun, saat aku ingin menghampirinya, mas Gibran menahan pergelangan tanganku. Aku mengangkat sebelah alisku menunggu mas Gibran bicara."Siapa dia?"Ingin sekali aku memutar bola mataku ini kalau tidak takut dosa karena mencela suami sendiri. "Mas, apa kamu lupa? Dia itu laki-laki yang ada di foto yang aku tunjukan beberapa hari lalu. Dia itu tunangannya Fika. Apa sekarang Mas sudah ingat?"Mas Gibran menepuk jidatnya saat ingatan itu kembali. Dia cengengesan karena sudah salah mencemburui orang. Dengan wajah yang kembali normal, mas Gib
Mas Gibran mendongak, "perasaan Mas saja atau bukan, kamu tidak pernah ada datang bulan lagi sekitar dari tiga bualan yang lalu. Benar tidak?"Aku tertegun. Benar juga, memang dua bulan terakhir ini aku tidak datang bulan. Namun, dulu juga pernah gitu. Aku sudah bahagia karena menyangka hamil, tapi pas aku cek pakai testpack ternyata hasilnya negativ. "Apa mau diperiksa dulu, pakai testpak gitu?" Mas Gibran menatapku berbinar. Kentara sekali dia begitu mengharapkan seorang anak tumbuh di rahimku, tapi aku takut hasilnya negatif lagi. Kecewanya tak bisa aku bayangkan."Aku..., takut hasilnya kayak dulu." Aku menunduk balas menatap mata mas Gibran dengan sorot merasa bersalah. Mas Gibran tersenyum menenangkan. Dia bangun dari tiduran di atas pahaku, lalu membawa aku ke dalam pelukannya. "Kalau kamu tidak mau, Mas tidak akan memaksa. Jadi kamu tidak perlu memikirkan ucapan Mas yang tadi!""Iya, Mas.""Sekarang ayo kita bersiap, bukankah Mas sudah bilang kita akan makan malam di luar? B
Aku menggoyangkan mulut, menimbang tawaran mas Ferdi. Kalau menolak, bagaimana dengan baby Aydan yang akan kehujanan? Tapi kalau mengiyakan, aku takut ada orang salah faham dan berburuk sangka. Mendapati situasi sulit seperti ini, membuat aku makin kesel saja pada mas Gibran. Memangnya sepenting apa pekerjaan dia itu sampai nekat meninggalkan istri dan anak di restoran gini? Mana tidak nyimpen uang lagi. Mau bagaimana lagi, aku harus mengutamakan baby Aydan. Kalau sampai dia kehujanan nanti dia bisa sakit. Aky menoleh ke arah mas Ferdi, mengangguk sebagai jawaban dari tawarannya tadi."Kalau begitu mari, mobil saya ada di sana." Mas Ferdi menunjuk sebuah mobil putih yang terparkir sejauh 15 meter dari tempat aku berdiri sekarang. "Ya, mari." Aku menjawab. Aku mengikuti mas Ferdi menuju mobilnya. Entah kenapa perasaan aku menjadi tidak enak, punggung terasa dingin. Mungkin hanya karena udara malam, aku mengenyahkan pikiran buruk itu segera. Saat masuk ke dalam mobil, mas Ferdi me
Adzan berkumandang, aku menggeliat dan bangun. Saat meraba tempat yang selalu menjadi kebiasaan mas Gibran tidur, ternyata kosong dan terasa dingin. Itu artinya mas Gibran tidak tidur di sambungnya atau juga mungkin tidak pulang sama sekali. Aku mengusap dada, rasa tidak nyaman itu semakin melanda. Untuk menghilangkannya, mungkin aku harus berwudhu dan shalat dulu. Setelah itu berdoa memohon pada yang maha kuasa untuk memberi perlindungan pada mas Gibran di manapun dia berada. Selesai menunaikan ibadah serta berdoa, aku melihat baby Aydan yang masih tertidur lelap. Aku memutuskan untuk membersihkan rumah dulu, setelah itu memasak dengan harapan mas Gibran akan pulang pagi. Namun, ternyata harapan tinggal harapan, mas Gibran tak kunjung pulang. Bergegas aky kembali ke kamar, mengecek ponsel mudah-mudahan mas Gibran ada mengabari aku lewat benda pipih itu. "Kok gak ada, pesanku juga cuma di baca doang. Tidak biasanya mas Gibran seperti ini, ada apa? Perasaan aku benar-benar tidak ny
Aku tidak pulang ke rumah, karena tahu mas Gibran pasti menyusul ke sana. Kali ini aku pulang ke rumah yang sudah tiga tahun ini aku tinggalkan. Semenjak menikah dengan mas Gibran, aku memang tidak pernah datang lagi ke sini. Rumah lamaku yang sangat aku sayangi. Walau tahu kemungkinan mas Gibran juga akan datang menyusul ke sini, tapi setidaknya kami akan membahas masalah yang terjadi jauh dari orang-orang. Hanya kami berdua, sejujurnya aku belum bisa kalau harus ada orang lain yang ikut campur pada masalah ini. Ku tidurkan baby Aydan di atas ranjang sempit milikku. Ku usap dahi dan pipinya dengan sayang, lalu menangis di sampingnya. Posisiku sekarang adalah duduk di bawah ranjang, sedangkan baby Aydan terlelap tidur di atas ranjang. Entah berapa lama aku menangis, tapi yang jelas sampai membuatku ketiduran. Saat matahari sudah meninggi, pertanda siang hari sudah datang. Bergegas aku pergi ke kamar mandi yang terletak di dapur, mengambil wudhu dan menunaikan shalat dengan khusu.