"Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari
Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.
Mendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan
Ku intip pembicaraan suamiku dengan mamah dan papa mertua di ruang tamu. Ternyata mereka tengah membicarakan aku yang tak kunjung hamil juga. Terlihat mas Gibran menatap mamah tak suka dan mamah yang balik memandang mas Gibran nyalang, sedangkan papa hanya diam tidak nampak memihak sang istri ataupun sang anak."Udahlah Gib, kalau istrimu tidak bisa memberi kami cucu, ceraikan saja dia! Toh, di luaran sana masih banyak wanita subur yang bisa memberi kamu anak. Si Lastri itu mandul, kalau tidak mana mingkin dua tahun pernikahan kalian tidak dikaruniai anak juga. Kamu itu tampan dan mapan, pasti banyak wanita yang antri ingin dipersunting olehmu."Terlihat mamah menunjuk-nunjuk mas Gibran kesal."Mah, jangan kenceng-kenceng bicaranya! Nanti Lastri dengar, aku gak mau sampai dia sakit hati karena mendengar ucapan mamah. Mau bagaimana pun keadaan Lastri, Gibran tetap cinta sama dia. Mau Lastri ngasih anak ataupun tidak, Gibran tidak akan menceraikan dia."Mamah menghempaskan tubuh dengan
Sebenarnya aku juga kepikiran hal yang sama dengan mas Gibran untuk merawat bayi ini. Namun, kalau tidak melaporkannya terlebih dahulu pada pak Rt, takutnya ke depan nanti akan mendapat masalah yang tak terduga.Kutatap balik mata mas Gibran yang memandangku dengan binar mata cerah, "apa tidak apa-apa, Mas? Soalnya kita belum laporan lada pak Rt." Tanyaku sedikit khawatir.Mas Gibran menatapku geli, "ya, kita laporan dulu sayang. Setelah laporan kita ajukan pengadopsiannya, baru setelah itu kita menjadi orang tua angkatnya yang sah."Aku tersenyum dan mengangguk mengerti."Bayi ini laki-laki, mau kamu namain siapa?" tanya mas Gibran kepadaku.Aku tersenyum dan ikut memandang bayi putih menggemaskan dalam gendongan suamiku. Setelah melihatnya lamat-lamta, satu nama melintas dipikiranku. "Bagaimana kalau 'Aydan Atthallah. Aydan memiliki arti pemuda yang penuh semangat, sedangkan Atthallah berati hadiah atau karunia Allah. Bagaimana, Mas?"Mas Gibran memandangku lembut, "itu nama yang ba
Saat ini aku lagi menjemur baby Aydan di bawah sinar matahari. Para tetangga yang kebetulan rumahnya berdampingan dengan rumahku terang-terangan melihatku dengan pandangan memgejek sekaligus hina. "Lihat si Lastri! Dia kan gak hamil-hamil, eh kesenangan nemu bayi di depan pintu ruamhnya. Walaupun itu bayi sudah bisa dipastikan bayi haram, tapi mau-mau aja dia ngerawatnya. Apa gak takut kena sial, dia?"Aku yang tengah mendunduk memandang baby Aydan dalam pangkuanku mendengar jelas suara bu Yulis tetanggaku, ibunya Vina. Namun, aku tetap acuh seolah tidak mendengar ucapannya."Memangnya itu anak haram?"Terdengar bu Gina tukang pamer perhiasan ikut nimbrung akan pertanyaan sok tahunya bu Yulis."Ya ampun, emangnya ada gitu bayi yang masih merah dengan sengaja dibuang oleh orang tuanya kalau itu bukan anak haram. Sudah jelas kali bu Gina." Bu Yulis menjawab pertanyaan bu Gina. Aku tahu, suaranya sengaja di tinggikan bair aku mendengar acara gibahnya. Namun, aku tetap berusaha tidak t
Mamah terlihat gelisa. Mungkin karena kepalang tanggung ms Gibran memergokinya tengah mau membawa beby Aydan pergi, mamah berkta jujur. "Mamah mau bawa bayi ini ke panti asuhan. Mau mamah berikan pada ibu panti. Kenapa? Kamu mau coba halangin mamah?"Terlihat wajah mas Gibran memerah marah. Giginya bergemulutuk karena beradu satu sama lain. Namun, aku tahu mas Gibran mencoba tidak terpancing dengan ucapan mamah barusan. Aku juga sama marahnya dengan mas Gibran, tapi tentu saja aku harus main cantik untuk menyelamatkan baby Aydan."Mamah, pak Rt sudah mengizinkan kami untuk mengurusnya. Kenapa mamah malah mau mengirim baby Aydan ke panti asuhan?" Ucapku dengan nada tersakiti. Terasa tangan mas Gibran yang melingkari pinggangku mengerat.Mamah mendelik sinis, "ya, biar kalian bisa fokus pada program kehamilan kalian. Kalau ada bayi ini, kapan kalian fokusnya.""Mah, kami pasti program kehamilan, tapi aku mohon sama mamah. Tolong letak balik baby Aydan ke atas kasur. Mamah jangan bawa di
Mas Gibran berhenti melangkah, "Mas gak tau, sayang, nanti kita cari tau lagi. Sekarang lebih baik Mas antar kamu pulang dulu, baru setelah itu Mas kembali kerja. Kalau ada apa-apa, ingat kamu harus hubungi mas, ok!""Iya, Mas." Aku menjawab patuh.Saat aku turun dari motor mas Gibran, aku bertemu Dvina yang terlihat baru keluar dari dalam rumahnya. Lagi-lagi Devina memandang baby Aydan dengan tatapan yang menurutku aneh, tapi segera kutepis pemikiran buruk yang mampir ke pemikiranku."Mbak Las, dari mana?" Devina bertanya sambil tersenyum tipis. Namun, aku tahu sesekali dia selalu curi-curi pandang pada baby Aydan dipangkuanku."Habis dari klinik, Vin." Jawabku apa adanya.Aku menangkap raut terkejut dari wajah Devina. Namun, itu hanya sekilas karena Devina sangat apik menyembunyikan ekspresinya itu.Devina kembali mengulas senyuman tipis, "siapa yang sakit, Mbak Las?"Devina ini anak pendiam, mendapati dia bertanya-tanya seperti sekarang membuat aku sedikit aneh dan curiga. "Oh, gak