“Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu.
Aurora tersenyum, “Sore tadi.”
“Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa.
Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula
Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&
“Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K
“Pergi!” Pyar! Pyar! Terdengar teriakan keras dari dalam kamar disertai suara benda pecah, mungkin gelas yang jatuh dari meja atau vas yang sengaja dibanting. Dua pria berpakaian serba hitam berlari menerjang pintu kamar itu. “Dok, mari!” pinta Baron, salah satu dari pria berpakaian hitam itu, seraya menarik lengan Raanana. Raanana mendengar dengan jelas ajakan pria di sampingnya. Namun, dia masih terpaku di
Pagi kembali datang, Candra bisa merasakannya lewat samar-samar sinar matahari yang menembus tirai jendela kamarnya. Dengan sedikit kesulitan, Candra menarik napasnya dan mengarahkan tangan ke meja kecil di samping ranjang, dia hendak mengambil segelas air yang ada di atasnya. Pyar! Terdengar suara gelas terjatuh dan pecah berserakan. “Papa?” seseorang yang tadinya masih terlelap akhirnya bangun sebab terkejut. Itu istri Candra, Agni. “Maaf,” ucap Candra. “Aku hanya tidak ingin membangunkanmu,” jelasnya.
“Kastil?” tanya Tita seraya mengernyitkan kening. Kaira mengangguk, “Klo nggak percaya, tanya aja sama dia,” ucap wanita berambut keriting itu sambil menunjuk teman satunya. “Beneran, Ro?” tanya Tita lagi memastikan. Aurora mengangguk tidak berselera. Matanya masih sibuk dengan layar laptop dan tugas kuliah yang harus selesai secepatnya. Dia tidak seperti dua temannya yang sejak tadi santai-santai. “Ada yang tinggal di sana?” tanya Tita semakin penasaran saja. &
“Pekerjaannya adalah merawat seorang tawanan, apa Nona Aurora bersedia?” Aurora menatap Ken dengan mata bulatnya. Pria jangkung itu pun tidak memalingkan wajah darinya. “Nona?” “Panggil Aurora aja!” pinta Aurora. “Ok,” angguk Ken. “Jadi, kamu bersedia?” Aurora tidak kunjung menjawab pertanyaan yang diberikan Ken, melainkan sekali lagi menatap berkeliling. Dia masih cukup takjub dengan dekorasi dan segala orn
“Daging segar!” celetuk sebuah suara. “Cantik, sih! Tapi, tahan berapa lama?” timpal lainnya. “Dipikir wanita penghibur,” sahut yang satunya lagi. Dan setelahnya, Aurora selalu mendengar suara tawa yang amat merendahkan dari para pelayan itu. Awalnya Aurora berusaha biasa saja, namun saling lempar kalimat cibiran itu semakin lantang mereka cuitkan setiap harinya. Seakan-akan mereka menganggap pekerjaan Aurora ini adalah pekerjaan yang paling rendah di kastil ini. Aurora menyeruput minumannya. Ini adalah i
Raanana sedang termenung di depan jendela ruangannya saat Aurora masuk bersama Ken. Dia segera berbalik dan begitu terlihat khawatir saat melihat kondisi anak teman SMA-nya itu. “Mereka sudah mendapat peringatan. Jika terjadi lagi, otomatis akan diberhentikan,” ujar Ken. Raanana mengangguk, “Lanjutkan tugasmu,” katanya pada Ken. Aurora diam seraya menatap pria tinggi yang beberapa saat lalu menolongnya dari amukan para pelayan gila itu. Andai Ken terlambat, mungkin saja dirinya telah menjadi kue pie atau bahkan sup. &