Bab 45"Hahaha, jangan mimpi Pak Tua!! Kamu sudah bau tanah," cemooh salah satu fans berat Amina.Jazuli melengos. "Siapa yang mimpi. Amina dan Ayang memang anakku!""Mana buktinya coba?!"Jazuli celingukan. Dia tidak bisa membuktikan Amina adalah istrinya. "Pokoknya dia itu istriku. Kamu tidak boleh menyukainya.""Dasar laki - laki gila. Suka - suka gue lah. Kenapa situ mau kontroll orang.""Sembarangan bilang aku gila! Kamu tahu siapa aku? Jazuli! Pemilik toko mas kaya raya!" Dia menepuk nepuk dadanya."Terusin dah mimpinya!" Anak muda menyingkir dari Jazuli sambil tertawa terbahak - bahak.Jazuli hendak memukul anak muda yang bergaya funky itu tapi dicegah oleh Wahyu."Sudah, sudah Pak. Jngan bikin keributan. Dia fansnya Amina. Biarkann saja!""Bapak tidak suka anak cowok itu menyebut Bapak gila. Kamu mestinya bela Bapak, bukannya diam begitu.""Bukannya begitu Pak, tapi aku menjaga Bapak. Apa Bapak mau masuk penjara lagi?" bisik Wahyu kalem.Jazuli mengurungkan niatnya. "Aku kange
Bab 46 Eril menutup ponselnya dengan muka kusut. Gara – gara menerima kabar tak mengenakkan dari Gatot yang memberitahunya soal niat Jazuli ke Jakarta. Mood pria itu menjadi buruk. Perasaannya tak enak. Kedongkolannya bertambah tapi tak bisa melakukan apa – apa mengetahui betapa rentannya hukum di negaranya yang tumpul dengan orang kaya. Setelah Amina selesai menyanyi. Eril langsung membawa perempuan itu dan anaknya pergi melalui pintu belakang. Pria itu melihat Amina menyandarkan keningnya pada dinding lift yang sedang menuju lantai atas menuju apartemennya. Sedangkan Ayang memegangi tangan ibunya yang gemetar. Sudut hati Eril iba melihat perjuangan Amina menghilangkan trauma yang masih melekat pada dirinya. Lelaki itu tahu, Tiap menaiki lift, wanita itu diserang oleh rasa panik dan sakit kepala karena mengingatkannya pada penjara yang dibuat oleh Jazuli. Dia pun geram takkala mendengar Jazuli berniat mendekati perempuan itu lagi. “Jangan tegang. Sebentar lagi kita sampai,” kat
Bab 47 Ucapan Amina sontak membuat Eril kaget. Ia merasa bersalah telah mencium gadis itu. “Amina, maaf dengan sikapku barusan. A-aku terbawa suasana.” Garis muncul diantara alisnya. “Aku memang bermaksud pindah. Tabunganku sudah cukup untuk menyewa rumah sendiri.” Amina berusaha menenangkan hatinya yang berdetak tak karuan. Ia lebih banyak menunduk. Ciuman Eril membuatnya kaget sekaligus senang. Mendadak aliran darahnya memanas, kemudian muncul debar – debar aneh nan lembut mengalir ke seluruh vena. Perasaannya diliputi rasa bahagia yang belum pernah ia rasakan. Eril bertambah gusar dengan keinginan Amina. “Kenapa mendadak? Apakah kamu tidak suka tinggal bersamaku di sini?” Amina menggeleng. “Tidak! Hanya saja, aku tidak enak menjadi benalu bagi dirimu. Sudah saatnya aku dan Ayang pindah.” Otak Eril berubah tumpul, membayangkan kesenyapan di apartemennya tanpa kehadiran Amina dan Ayang. “Oh please, aku tidak setuju kalian pindah dari sini. Kalian bukan benalu. Kita partner ker
Bab 48 “Tolong, tolong saya,” kata Ajeng memelas dengan suara parau. Tangannya menggapa – gapai di udara. Dia sangat lemah hingga tak kuat untuk bangun. Lelaki di depannya itu mencibir. “Huh, enak saja kau minta tolong! Memangnya aku babumu! Kamu minta tolong saja sama gondoruwo!” dengusnya dengan pongah. Sebelum pergi kaki pria itu menendang tubuh Ajeng yang ringkih hingga perempuan itu membentur kerikil, dengan santai ia berjalan melangkahi wanita itu. “Bedhes! Asu!” teriak Ajeng marah diperlukan seperti anjing buluk oleh pria yang tak ia kenal. “Kamu yang setan! Kudoakan kamu mati tertabrak kereta.” Dia mengumpat sambil menahan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Sayangnya, suaranya tertelan oleh suara bising kereta api yang lewat. Ajeng hanya bisa tergeletak pasrah di atas rumput berharap ada seseorang yang membantunya. Malam kian larut membawa udara dingin yang menusuk hingga tulang sumsum. Badan Ajeng menggigil. Demamnya tinggi! Antara sadar dan tidak perempuan itu meracau t
Bab 49 “Heleh! Miskin saja sombongnya minta ampun,” balas Yu Rahma. Kamar Yu Rahma yang bersebelahan dengan kamar Ajeng merasa terganggu. Dia mendatangi kamar perempuan itu dengan berkacak pinggang. “Pergi sana Yu!” Ajeng berusaha mendorong tubuh Yu Rahma yang jauh lebih besar dari dirinya. Tetapi, sia – sia saja. Tubuh Yu Rahma tidak bergeser sesenti pun. Mata Yu Rahma tertumpu pada makanan dan sebungkus rokok di atas kardus. Dengan santai perempuan itu mengambilnya. Setelah itu ia melihat teh botol di dekat bantal. “Jadi manusia itu jangan pelit – pelit! Toh makanan gak dibawa mati!” “Jangan dibawa Yu! Itu punyaku!” Setengah histeris Ajeng mau merebut makanan dan minuman miliknya. “Wkwkwkwk… itu tadi, sekarang semua ini milikku!” ucap Yu Rahma gembira meminum teh botol dan bergegas pergi ke kamarnya. Sementara Ajeng terlihat gelisah. Ia bolak – balik di atas kasurnya. Berkali – kali ia melirik jam weker butut di atas kardus. Jantungnya berdetak lebih cepat. Sementara itu di
Bab 50 Matahari bersinar sangat terik. Panasnya menyengat menghanguskan kulit. Ajeng berjalan lamban di tepi jalan, memaksa kakinya tetap melangkah meski dengkulnya gemetar sejak dua jam lalu. Peluh bergerombol memenuhi kening Ajeng dan beratus kali ia menyekanya. Panas matahari dan capai tak sanggup ia tahan lagi. Fisiknya semakin lemah, kepalanya pening dan terasa mau pingsan. Ajeng memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon Trembesi. Ia duduk berselonjor dan membuka botol minum lalu menghabiskan isinya yang tinggal seteguk. Mata wanita itu menerawang menembus batas cakrawala. Rumahnya masih 2 km lagi dan ia tak sanggup meneruskan… __________ “Jangan ngomong ngawur kamu Pak. Bagaimanapun Ajeng itu anakmu. Kalau dia mati kamu juga yang sedih!” dengus Ibu Amina. Mukanya menekuk menahan kesal. Bapak tertawa sinis. “Jikalau pun Ajeng mati. Aku gak bakalan sedih! Aku masih punya Amina dan Ayang cucuku yang cantik. Mereka perhatian dan sayang sama kita. Coba Ibu pikir siapa yang
Bab 51Make up artis sedang merapikan make up Amina saat bapaknya menelpon. “Assalamualaikum Pak?” jawabnya ramah.“Amina, ibumu belum pulang dari pasar dari tadi sore.” Suara Bapak terdengar risau di seberang.“Mungkin Ibu masih main ke rumah temannya. Apa Bapak sudah telpon Ibu?” Amina berusaha menenangkan diri.“Ibumu gak bawa telepon. Bapak takut ada sesuatu yang terjadi menimpa ibumu.”“Siapa itu?” sela Eril. 5 menit lagi Amina tampil.“Bapak.” Amina menjaukan ponsel dari mulutnya. Kemudian dia melanjutkan percakapannya lagi dengan bapaknya. “Pak, maaf aku harus tampil. Nanti aku hubungi lagi.” Dia buru – buru menutup telponnya.“Ada apa?” tanya Eril melihat raut muka Amina yang tegang.“Ibu belum pulang dari pasar dari sore,” jawab Amina gugup.“Biar aku yang tangani. Kamu tenang saja.” Eril menepuk – nepuk punggung tangan Amina.Amina mengangguk. “Tolong telpon Ayang, apakah dia sudah makan malam?” pintanya dengan mata teduh. Ia tidak tenang meninggalkan anaknya sendirian bersa
Bab 52 Tiap kali mendengar nama Ajeng, napas Amina menjadi berat. Ribuan kenangan menyakitkan menorehkan dendam kesumat pada kakaknya. Dadanya seperti ditindih berton – ton batu yang membuat Amina kesulitan bernapas. Keringat dingin mulai mengguyur badannya, kepalanya pusing dan badannya lemas. Perempuan itu berjalan terhuyung ke teras apartemen. Dihirupnya udara banyak – banyak memenuhi rongga kosong. Sedangkan tangannya memegang erat terali besi pembatas. Ayang yang sudah mengantuk mendekati Amina. Tangan kecilnya menarik – narik baju perempuan itu. “Ibu, aku mau nyonyok.” Tangannya menunjuk payudara Amina. Dia tidak bisa tidur sebelum menyusu. Amina menatap Ayang sedih. Ia menelan ludah pahit. Ayang bertumbuh semakin besar tak mungkin dia akan terus menyusui anaknya. Jika dirunut, sebenarnya dirinyalah yang salah, bukan anaknya! Ayang masih suka menyusu, sebenarnya dia hanya membutuhkan kenyamanan seperti Amina. Secara tidak langsung perempuan itu menemukan ketenangan dan str