Vote dan komen, ya.
“Panda, kau sudah siap? Ibumu sudah menunggu di depan.” Sayup – sayup suara Chris maupun ketukan pintu dari luar menarik kesadaran Pandora untuk terbangun lebih cepat. Dia tergerak, sedikit terkejut sedang mendekap tubuh Kingston dengan kondisi bertelanjang. Kulit dan kulit saling bersentuhan. Termasuk lengan Kingston mendekap di pinggulnya lekat. “Panda.” Sekali lagi suara Chris memberi Pandora alarm sekadar bergegas pergi. “Tunggu sebentar, Dad.” Dia sudah menyibak selimut tebal, tetapi lengan Kingston tiba – tiba mengetat. “King, lepas.” Pandora tak mengira pria itu akan ikut terbangun, sedangkan yang dia tahu pejaman mata Kingston natural, seolah menunjukkan pria itu masih sangat lelap. “Kau mau ke mana?” Suara dalam Kingston kentara serak khas seseorang baru bangun tidur. Dia menahan Pandora. Sedikitpun tidak memberi kebebasan bagi tubuh itu untuk beranjak bangun. “Ayahku sudah menunggu.” Pandora menipiskan bibir agak kesal saat pria itu menghalangi jalannya. “Lepaskan
Napas Pandora berulang kali berembus ikut terbawa arus angin yang menerjang di siang hari. Kingston mengatakan akan menunggunya dengan pakaian renang. Memang beberapa saat lalu seorang pelayan muda datang menyerahkan pakaian berwarna gelap yang tipis, yang harus Pandora kenakan tanpa penolakan. Dia benar – benar tidak bisa melayangkan protes bahkan ketika dari sudut atas tempat nya menjulang, tak terlihat sedikitpun di mana Kingston berada. Hanya sebuah kolam bersih yang sejajar garis lurus tepat berpas – pasan di balkon kamar yang terletak melewati beberapa kamar dari kamarnya. Kamar yang pernah Kingston masuki, lalu mengangkut Pandora dengan kondisi nyaris terjungkir balik hingga sengaja melemparnya jatuh ke bawah. Mengingat itu Pandora memejam secara perlahan. Masih sedikit terlintas bagaimana rasanya dicecoki air terus – menerus, sementara dia tak bisa mengelak dari terjangan air, meski merupakan genangan yang nyaris tenang kalau saja dia tak mencak – mencak ingin menyelamatkan d
Pandora menepis agak kasar keberadaan jemari Kingston yang tertahan. Kegugupan membuatnya segera menarik resleting di bagian dada untuk saling merapat. Mula – mula Pandora memilih bersembunyi di balik tubuh Kingston. Ntah seperti apa Chris akan merespons. Namun bagaimanapun dia harus menghadapi ayahnya sendiri. “Urusanmu sudah selesai, Dad?” Pandora mengecilkan suara di akhir, begitu gugup dengan senyum kaku yang kentara jauh melirik Chris dan Aquela bergantian. Sedikit mengherankan Aquela berdiri teramat sinis di samping Chris. Masam wajah itu rasa – rasanya sangat menusuk. Menguliti penampilan Pandora dari atas, lalu turun pada genangan yang membuat bayang – bayang tubuhnya terlihat samar. Pandora mengerjap cepat menghindari sosok tajam, yang sebenarnya diam – diam memperhatikan Kingston—tubuh besar pria itu liat dengan otot – otot lengan dan perut yang mencuak. “Apa semuanya lancar, Dad?” Untuk menghindari rasa canggung Pandora memutuskan untuk bertanya apa pun yang sedang bersa
“Apa ini tidak terlalu berlebihan, Dad?” Langkah Pandora berpacu cepat mengikuti genggaman tangan Chris yang membawanya sedikit lagi mendekati pintu geser berbahankan kaca. Sesekali dia berpaling pada Kingston di belakang, berada sekian jengkal jarak mengingat pria itu mengekor dengan tenang. Kingston yang diam sangat berbahaya, tetapi Pandora yang tak bisa menyangkal sebaliknya menyalakan api semakin besar. Dia menipiskan bibir ketika sorot matanya bersirobok terhadap manik mata spektrum yang menghujam tajam. Saling menginsyaratkan sesuatu, seolah tidak ada yang lebih penting daripada menghentikan titik jenuh untuk segera berakhir. “Kau tidak bisa membawa Pandora pergi, Tuan Honover.” Suara dalam Kingston khas menunjukkan nada kepemilikan yang tidak bisa terenggut dengan mudah. Kali ini Chris bukan satu – satunya yang mencekal pergelangan Pandora. Kingston melakukannya sedikit dengan menekan. “Bagaimana kalau kukatakan itu makam adikku?” Sebuah hubungan yang dimulai dari kehobon
“Di mana Aceli?” “Di kamar, Tuan.” Voleski sama khawatirnya mengikuti langkah Kingston yang mencapai kamar lebih cepat. Pria itu duduk di pinggir ranjang. Memanggil Aceli pelan dan membalikkan tubuh yang sedang menyamping untuk telentang. “Apa kata dokter?” “Demam sangat tinggi, Tuan.” Voleski menunduk ragu. Samar dia menangkap dari ekor mata jemari Kingston tengah mengusap kulit pipi Aceli. “Bukankah semalam dia baik – baik saja?” Voleski menelan ludah kasar memilah kata yang tepat memberi Kingston penjelasan. Suhu tubuh Aceli melonjak tinggi di sepertiga malam. Di tengah – tengah tidur gadis kecil itu memanggil nama Pandora. Voleski berasumsi Aceli sedang merindukan Pandora terlepas mereka melakukan panggilan video hingga terlelap tenang. “Semalam setelah Anda pergi. Aceli menunggu Anda ikut terekam di ponsel Nona Pandora. Tapi Anda tidak kunjung sampai. Itu membuatnya sangat sedih,” tutur Voleski pelan. Namun penjelasan demikian bukan bagian penting dari isi pikirannya. “Ak
Keputusan Kingston menimbulkan pertanyaan besar yang beranak pinak tak terpecahkan dalam isi kepala Pandora. Dia tak mengerti mengapa pria itu mau mengorbankan sesuatu yang berharga—cinta yang masih didambakan hanya untuk menarik kepercayaan Chris. Seharusnya Pandora menghentikan Chris terhadap prinsip dan idelisme ayahnya yang menyakiti posisi Kingston. Dia merasa tidak tega mengamati pria itu beberapa waktu lalu dari atas balkon. Masih terbayang bagaimana raut wajah Kingston yang jelas tak bisa bohong. Ada kemarahan yang dipendam. Kekecewaan yang membuat pria itu enggan menatap lurus ke depan saat mengawasi pekerja kontruksi lapangan membongkar monumen dan melakukan pemindahan, yang Pandora sendiri tidak tahu selanjutnya lokasi mana akan dijadikan rumah baru untuk makam Arcadeaz. Namun dia dapat merasakan betapa Kingston sangat menyesali hal itu. Sering kali terlihat menunduk. Jarang sekali bicara, bahkan ketika Helios menanyakan sesuatu, seolah dunia Kingston ikut terseret jauh.
Suara jeritan menggelegar jauh—agak samar, tetapi cukup menarik Pandora berpaling ke arah pintu. Merasa aneh dan bingung. Tidak biasanya suara Aquela melengking nyaris memenuhi seisi gedung mansion, bahkan pintu tertutup pun masih bisa menghantarkan suara wanita itu yang begitu histeris ketakutan. “Chris, tolong aku. Kau di mana!” “Mereka sudah sangat dekat.” Rasa penasaran Pandora semakin membludak. Bertanya – tanya siapa mereka yang Aquela maksud. Mengapa ibunya terdengar panik berlebihan di jam – jam pagi seperti ini. Pandora tak bisa menganggap abai hal tersebut, sekalipun Aceli sedang bersamanya. Setelah bangun tidur gadis kecil Kingston memaksa Pandora menemaninya bermain apa saja yang diinginkan. Mungkir Pandora untuk menolak. Tidak pula dia mengabaikan suhu tubuh Aceli yang sedikit mulai turun. “Aceli, bisa main sebentar dulu di sini? Kakak Panda mau lihat apa yang terjadi di luar.” Pandora menyentuh lembut kulit pipi Aceli sebelum beranjak pergi. Langkahnya terhenti di d
“Lebih cepat lagi, Grandpa. Kakak Panda sudah semakin dekat.”Aceli bicara seperti itu untuk mendobrak Chris merangkak lebih cepat, meski sebenarnya Pandora hanya melangkah sampai di depan pintu kamarnya sendiri. Menatap dari tempat dia menjulang. Sesekali melirik ke arah bawah memperhatikan hewan buas Kingston masih dibiarkan berkeliaran bebas, dan itu adalah tolok ukur yang membuat Pandora mempertahankan langkah—menunggu Chris akan berbalik badan membawa Aceli yang menunggang di atas tubuhnya.Sama persis yang Aqeula alami. Wanita itu tak lagi menghuni mansion dengan leluasa. Lebih memilih mendekam di dalam kamar. Ketakutan hingga menggigil—menghadapi gejala demam. Semua itu nyaris tak bisa Pandora percaya, namun itulah yang ayahnya katakan. Dampak dari kejadian pagi hari memberi Aquela pelajaran tak terlupakan.“Turun ke lantai bawah, Grandpa. Jangan kembali ke kamar.”Aceli merengut tidak rela, tetapi Chris sudah berpijak pada jalur seharusnya. Pola mengkhawatirkan terlihat jelas.