Sesil menggelengkan kepalanya dengan cara yang pilu. Bibirnya terasa kelu, tetapi suaraya berhasil keluar dengan keyakinan yang dipaksakan. "Aku tak tahu selera dramamu semurahan ini," degusnya. "Kau tak percaya?" "Tak ada alasan aku percaya padamu." Gio tertawa kecil. Antara gemas dan tertarik dengan sejauh apa keyakinan wanita ini akan bertahan. "Kau ingin bertaruh?" Sesil tak mengatakan apa pun. Perasaannya mulai kacau, tapi ia segera mengendalikan ketenangannya. Itulah yang diinginkan Gio. Gio terkekeh lagi. "Apakah jika aku lebih berengsek dari Saga, kau akan mengulangi kebodohanmu dan jatuh cinta padaku?" "Apakah kau menginginkanku karena Saga?" Pertanyaan itu terdengar hambar di ujung lidahnya. Seolah mengulang takdir yang sudah pernah terjadi. Saga menginginkannya karena Dirga, dan sekarang Gio akan menginginkannya karena Saga. Lingkaran setan ini benar-benar memuakkannya. "Tapi … aku sama sekali tak keberatan." Mata Gio memindai Sesil dari atas ke bawah dengan lekat. S
“Kita memiliki kepentingan masing-masing, Sesil. Kenapa kau bersikap seolah semua ini hanya menguntungkanku saja.” Gio mencoba memecah keheningan yang sengaja dipertahankan oleh Sesil. Sejak masuk ke dalam ke dalam mobil. "Apakah aku punya kewajiban untuk menyenangkanmu dengan memperlihatkan senyum? Jika tak punya hati, setidaknya kau perlu memiliki toleransi, Gio," jawab Sesil dengan kekesalan yang tak repot-repot ditutupinya. "Apakah menurutmu situasiku memungkinkan untuk membuatmu senang?" Ada senyum geli menghiasi wajah Gio ketika mendengarkan jawaban Sesil. "Ya, situasi memang tak memungkinkan membuatmu tersenyum. Tapi … kau lupa kalau aku yang menguasai panggung? Dan ekspresi di wajahmu membawa polusi yang tidak baik untuk udara di sekitarku. Juga tidak menyenangkan pemandanganku." Sesil menipiskan bibirnya, sebelum kemudian menjawab dengan telak. "Kalau begitu kau hanya perlu menahan napasmu sampai di rumah sakit, kan? Juga memejamkan matamu. Jangan menjadi rewel, anakku yan
Telapak tangan Sesil melayang, mendaratkan satu tamparan yang keras di pipi Saga. Pun tahu kalau itu bukan pukulan yang berarti bagi Saga. Air mata Sesil meleleh. Dengan wajah yang mengeras, wanita itu berkata lantang. “Tidak. Aku tak akan berhenti. Agar kau tahu bagaimana tersiksanya aku karenamu dan kau tak berhenti menyesali keputusanmu. Aku tidak akan berhenti. Aku akan mencintaimu di setiap hembusan napasku. Hanya agar kau tersiksa. Sedikit pun, aku tak akan melupakan setiap luka yang kau berikan padaku. Tak akan menyembuhkan sakit hatiku hanya agar kau mendapatkan hukuman yang berat karena membiarkanku berada dalam situasi yang memuakkan ini. Dan kau tahu bukan hanya aku yang akan merasakan derita ini, Saga. Aku, Kei, dan anak yang ada di dalam perutku. Setiap rasa sakit kami, kau akan menerima semuanya. Kau layak menerima tanggung jawab itu.” Sekilas keterkejutan melintasi kedua mata Saga, pria itu menatap emosi dalam tatapan Sesil yang meluap-luap tak terkendali. Sesil teren
“Kalian sudah pulang?” Kinan menyambut kedatangan Gio dan Sesil. Kedua tangannya terbuka lebar dan menghampiri Sesil. “Mama dengar kalian baru saja dari rumah sakit.” “Kenapa mama kembali ke sini? Bukankah tadi …” “Mama sudah menyiapkan makan siang untuk kalian berdua.” “Makan siang sudah lewat, Ma,” desah Gio dengan jengah. Padahal tadi pagi ia sudah memasukkan mamanya ke dalam dan menyuruh sopir membawa pulang ke rumah. Kinan tak menggubris, menghampiri Sesil dan merangkul pundak wanita itu lalu membawanya ke ruang makan. Sesil memaksa seulas senyum melihat menu makanan yang memenuhi meja makan. Bahkan hanya dengan melihatnya saja sudah membuat perutnya kenyang. “Duduklah. Kau ingin makan apa?” Kinan menarik kursi untuk Sesil. Tampak begitu bersemangat. “Mama juga sudah menyiapkan susu ibu hamil. Kau suka rasa apa? Ada vanilla, coklat, dan strawberry. Mama sudah membelikan semuanya. Hmm?” Sesil menatap Gio yang duduk di kepala meja. Tampak menikmati ketidak berdayaannya mengh
Tubuh Sesil terdorong ke belakang dengan telapak tangan membekap mulut. Menatap kedua pria yang saling berhadap-hadapan dengan penuh ketegangan tersebut dengan napas yang tertahan. Tangan Ario menunjuk wajah Gio, yang baru saja terangkat sambil menyentuh ujung bibir. Sesil bisa melihat ujung bibir pria itu yang berdarah. Tetapi tatapa tajam Gio pada sang papa tak berkurang sedikit pun. Bahkan emosi di wajah pria itu semakin pekat. "Papa sudah memperingatkanmu, jangan pernah mengungkit hal itu lagi. Apalagi jika harus mengobrak-abriknya. Kau ingin menghancurkan apa yang sudah mamamu perjuangkan?" “Bukan berarti harus dilupakan, kan?” Wajah Ario semakin keras dan lebih gelap. Tetapi kemudian menyadari keberadaan Sesil di ruangan ini. “Keluar,” perintahnya dingin. Sesil menatap Gio, yang tak menahannya. Jadi ia pun bergegas membalikkan tubuh dan keluar. Napasnya terengah, masih syok dengan adegan menegangkan tersebut. Sesil masih bisa mendengar suara pasangan ayah dan anak yang m
Sesil menggeleng, tubuhnya berbalik dengan kaki yang semakin melembek seperti jeli. Kesulitan menyembunyikan wajahnya yang pucat meski berusaha memberanikan diri berhadapan dengan Jimi. “Apakah kau ingin memohon?” Suara Jimi diselipi tawa mengejek. “Tidak pada orang sepertimu.” Toh dia akan mati. Dihadapi dengan ketakutan atak keberanian, hanya itu pilihannya. Jimi terkekeh. “Atau ada kata-kata terakhir?” “Saga akan membuatmu membayar semua ini dengan mahal.” “Ya, aku akan menerimanya. Tak akan sebanding dengan apa yang sudah kuberikan padanya, kan?” Senyum kepuasan Jimi semakin mengembang. Menikmati setiap kepucatan di wajah Sesil. “Kau sedikit berani dibandingkan adiknya. Aku tak menyalahkan, umurnya masih sangat muda dan ia baru patah hati setelah dicampakkan oleh Dirga. Kematian cara termudah untuk menyembuhkannya, kan?” “Kau memang berengsek.” “Tak lebih berengsek dari suami, kan?” dengus Jimi. “Setidaknya aku tidak mencampakkan istriku yang tengah hamil dan bersenang-sena
Sesampai di apartemen, Sesil langsung membersihkan diri di kamar mandi dan berbaring di tempat tidur. Perutnya terasa kenyang, oleh semua drama malam ini. Pertengkaran Gio dan ayah pria itu, Jimi, dan Saga. Semuanya benar-benar memenuhi kepalanya. Begitu penuh hingga rasanya ia tak mampu berpikir lagi. Satu-satunya hal yang dibutuhkannya hanyalah membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Terlelap karena tubuh dan pikiran yang lelah. Namun, Sesil harus terbangun oleh rasa lapar ketika jam di dinding menunjukkan jam 3 pagi. Berjalan keluar kamar, Sesil langsung turun dan berjalan ke arah dapur. Mendapatkan segelas susu dan beberapa potong roti meski sangat ingin makan omelet buatan Saga. Ia segera membuang jauh-jauh keinginan tersebut. Matanya terpejam setiap kali mengingat suara tembakan yang bergema di belakang. Seolah masih belum cukup kekecewaan yang diberikan pria itu kepadanya. Sesil duduk di kursi pantry dan mulai mengisi perutnya. Sesekali ada bayinya menendang, menghibur kesedi
“Kau ingin kembali padanya?” Sekal lagi Gio mengulang pertanyaannya. “Lalu … apa kau akan membiarkanku pergi? Semudah itu kau melepaskan dendammu?” Gio menghela napas panjang yang berat. Setengah membanting kepalanya ke punggung sofa. “Tidak. Tapi …” Sesil terdiam. Jika Gio melepaskan dendamnya semudah itu, mungkin pilihan yang akan diambilnya adalah menuruti apa yang Saga inginkan. Pergi ke luar negeri, setidaknya ia bisa memeluk Kei kapan pun ia ingin. “Papaku memberiku pilihan, keluarga … atau dendam?” Sesil tetap bergeming. Ada sebuah emosi di kedua mata Gio yang sempat tersingkap. Menyadari bahwa ternyata pria itu tak seburuk yang dipikirkannya. Ya, sudah sewajarnya Gio menyimpan dendam pada orang yang menembak mati adiknya. Dan lagi-lagi mengingat Saga, dadanya kembali terasa nyeri. Masa lalu Saga memang terlalu gelap. Tetapi ia sudah memperkirakan hal itu saat memutuskan kembali ke hidup pria itu. “Dan aku malah lebih tertarik alasan papaku memberiku pilihan sialan ini?