Rupanya Mbah gendis kembali mendatangi mimpiku saat malam harinya. Isinya kurang lebih sama. Dia marah besar dan berjanji akan membunuhku jika aku benar-benar nekad untuk membelot."Kau tak bisa bermain-main denganku. Tunggu saja pembalasanku untukmu."Aku kembali terbangun dan langsung menuju kamar mandi karena merasakan sensasi mual yang tak tertahan.Anehnya, rasa mualku tak kunjung tuntas meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan semua isi perut. Jelas ini bukan muntah yang seperti biasa.Morning sickness biasanya terjadi saat aku baru bangun di pagi hari atau saat sarapan. Kali ini masih tengah malam. Untung saja Anya masih terlelap dalam tidurnya. Jadi aku bisa leluasa tanpa harus sibuk menjawab pertanyaannya satu persatu.Tubuhku luar biasa lemas. Untuk kembali ke tempat tidur saja harus berpegangan pada dinding untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh.Aku kembali membaringkan diri di samping Anya. Masih dengan mual yang mendera, tapi tak ada lagi muntahan yan
"Kenapa kamu nggak pernah kasih tau Mas?" tanyanya sembari berusaha memegang perutku. Tapi aku menepisnya dengan kasar lengkap dengan ekspresi tidak suka."Jangan sentuh," seruku penuh penekanan."Dia anakku juga," lirih Mas Byan."Susah payah aku memperjuangkannya di tengah situasi yang sulit. Baru beberapa minggu dia ada di dalam sini, ayahnya justru menikah dengan wanita lain dan mentelantarkan ibunya. Itu artinya, anak ini hanya memiliki orang tua tunggal.""Jangan-jangan itu bukan anaknya Byan," sahut ibu."Anggap saja seperti itu. Aku bahkan tak sudi jika anakku menjadi bagian dari keluarga kalian," balasku. Enggan untuk mengalah dan terlihat lemah di depan mereka semua.Tak ada satupun yang menanggapi. Pasti sibuk dengan pikiran masing-masing."Bagaimana, Bu Salma? Kami sudah bisa mengambil alih rumah ini sepenuhnya 'kan?" tanya Pak Surya mengintrupsi."Tentu saja. Terima kasih atas kerjasamanya. Tolong sekalian Bapak urus pengusiran mereka juga," jawabku kejam."Karena rumah i
Aku diperbolehkan pulang pagi keesokan harinya setelah rawat inap. Cukup melelahkan juga harus terbaring dengan tangan diinfus sampai habis tiga botol.Aku melanjutkan perjalanan setelah sempat sarapan di kantin rumah sakit. Meski masih belum selera, setidaknya perutku tak lagi menolak. Aku merasa sudah mulai sehat.Jalan lintas yang kulewati tak pernah sepi. Maklumlah, ini jalan lintas utama antar provinsi. Banyak mobil besar yang lewat, beberapa motor dan pejalan kaki.Aku baru sampai di ruko menjelang siang. Suasananya tidak buruk. Tempatnya memang cukup strategis di tengah kota. Samping kanan ada toko bangunan, sebelahnya ATK, dan di seberang jalan depan berjajar rumah makan."Selamat datang, Ibu."Aku memperhatikan perempuan yang menyapaku. Orang yang kupilih untuk membantuku menjaga toko. Rumahnya tak jauh dari sini. Dia adalah bekas reseller toko online-ku sebelumnya. Namanya Farah."Aman semua?" tanyaku sembari memeriksa isi toko. Bagus juga susunannya. Selain pintar promosi,
Aku pulang ke toko dengan langkah gontai. Masih terngiang dengan jelas di telinga perkataan Kyai Ahmad terkait resiko dari kerjasamaku dengan Mbah Gendis. Kyai Ahmad mengatakan, bisa saja aku lepas dari Mbah Gendis, namun aku harus mengalami apa yang dialami oleh orang yang menjadi korbanku. Dalam hal ini Karin.Ya, itu yang membuatku gundah sekarang. Aku menyaksikan sendiri betapa sakitnya Karin itu tidak main-main. Mending dia memiliki Mas Byan yang selalu siap siaga di sampingnya. Sementara aku, hanya sendiri di sini.Aku mengambil mukenah dari dalam lemari setelah sebelumnya mengambil wudu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali membentangkan sajadah. Melakukan ibadah wajib dan bersujud dalam keheningan. Mencoba berkomunikasi dengan Allah lewat rangkaian doa. Tanpa terasa bulir bening mulai mengalir melemati kedua sudut mata. Membasahi pipi. Aku tak ingat lagi kapan terakhir kali melaksanakan ibadah salat. Entah sudah berapa lama sampai-sampai bacaan demi bacaannya
"Sal, tadi aku lihat suamimu di toko perhiasan tempat kerjaku sama cewek."Pesan singkat yang dikirim oleh Anya, teman kerjaku dulu sebelum menikah dengan Mas Byan cukup mengejutkanku. Tak hanya dereten huruf, pesan itu juga disertai foto-foto yang membuat dadaku terasa amat sangat sesak.Dalam foto itu, Mas Byan tampak menatap wanita di sebelahnya dengan penuh cinta. Sama seperti tatapan yang selalu diberikannya padaku selama ini. Dalam foto lainnya, Mas Byan memegang jemari wanita itu sembari memasangkan sebuah cincin.Sebenarnya sudah sejak lama aku mencurigai Mas Byan. Berawal dari bau parfum lembut yang seharusnya dipakai wanita pada jas suamiku itu, kemudian sikapnya yang enggan meminta haknya untuk menggauliku, dan kebiasaannya yang lebih mementingkan bermain ponsel daripada memerhatikanku. Akhir-akhir ini, Mas Byan juga sering sekali pulang larut dengan alasan lembur. Bahkan sudah dua hari ini dia tidak pulang dengan alasan peninjauan proyek di luar daerah.Aku tertawa keras.
"Zaman sekarang, banyak orang yang memakai jalan seperti kita. Aman dari penyidikan tanpa jejak sedikitpun. Aku juga dulu sepertimu, ragu-ragu. Tapi aku sadar tak ada jalan lain. Aku hanya wanita miskin yang diselingkuhi oleh suamiku sendiri. Berkat jalan ini, suamiku mendapatkan balasan setimpal. Seluruh miliknya menjadi milikku dan anak-anak."Aku mengangguk setuju dengan pendapat Mbak Iren. Sama sepertinya, aku pun merasa tak ada jalan lain yang bisa kutempuh untuk memberi pelajaran pada Mas Byan dan gundiknya.Sembari terus meyakinkan diri, aku tetap mengemudikan mobilku untuk lanjut ke depan. Sudah kepalang basah sampai di sini. Mas Byan juga tak akan pulang malam ini. Itu yang dia katakan. Aku memang sengaja memastikan dulu sebelum berangkat menemui Mbak Iren tadi. Untungnya, satpam rumah juga mudah saja kubohongi. Meski hanya ibu rumah tangga yang disambi dengan berjualan online, aku memang sering keluar untuk menemui pembeli yang meminta barang dengan sistem bayar di tempat."
Malam ini Mas Byan pulang larut dengan wajah lelahnya. Sebagai istri yang baik, aku sudah mengisi bathtub dengan air hangat. Setelahnya, aku bergidik dengan pemikiranku sendiri. Tunggu saja, Mas, istri yang baik ini akan mengantarkanmu pada gerbang penderitaan yang tak berkesudahan.Tentu saja aku memiliki maksud terselubung dalam aksiku menyiapkan air itu. Sebungkus tanah kuburan yang diberikan Mbah Gendis sudah kutaburkan di dalamnya dan kuaduk dengan sempurna. Meski tanah, tapi teksturnya yang sudah kering membuat benda itu semakin halus seperti layaknya tepung. Konon katanya, efek dari tanah khusus yang sudah diisi ajian itu berfungsi untuk membolak-balikkan pikiran orang yang dikenainya. Menarik sekali, kan?"Mas, aku ingin berhenti menjalani program kehamilan," tuturku serius setelah Mas Byan selesai mandi dan duduk di atas ranjang sembari memainkan ponselnya."Kenapa berhenti?" tanyanya penuh selidik. Selama ini, Mas Byan memang memaksaku untuk menjalani program kehamilan denga
Seperti biasa, pagi ini aku bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan khusus untuk Mas Byan. Kemampuan masakku memang tergolong standar, tapi bukan berarti bisa dipandang sebelah mata karena aku tergolong orang yang tak pernah salah dalam meracik dan mencampur bumbu dalam masakan. Tak ada ajian apapun dalam sarapan yang kini sudah tersedia di atas meja itu. Semua murni aku lakukan untuk Mas Byan.Aku tak pernah lupa fakta bahwa Mas Byan begitu menyukai nasi goreng tanpa kecap dengan sedikit tambahan bumbu instan yang berfungsi untuk meningkat cita rasa. Meski sering aku memasakkan menu yang sama berulang kali, dia tak pernah menolak. Dengan catatan sebelum Mas Byan berselingkuh dengan wanita itu karena sekarang Mas Byan jadi sering mengabaikanku bahkan jarang sekali menyentuh makanan yang aku siapkan. Miris sekali bukan? Tetapi pagi ini, setelah turun dari lantai dua lengkap dengan pakaian kantoran dan tasnya, Mas Byan menghampiriku. Sesuatu yang tergolong jarang terjadi akhir-akhir ini