Kini, Angga dan Riska tengah duduk di dalam mobil. Mereka terdiam cukup lama, dengan pikiran yang berkecamuk.
Riska menatap rumahnya dengan perasaan takut. Dia sudah membayangkan Papanya akan mengamuk nanti.
Setelah beberapa jam Kakek dan Fajar pergi dari apartemen Angga. Mereka menghubungi Angga, memintanya agar segera datang ke rumah Riska, untuk menyelesaikan masalah ini.
Riska yakin, pasti Kakek sudah mengatakan kesalah pahamannya pada Papanya.
Tidak jauh berbeda dengan Riska. Angga juga merasa takut untuk berhadapan dengan Rosyad. Angga paham sekali dengan tabiat Papanya Riska itu. Selama itu berhubungan dengan Riska, Rosyad pasti akan bersikap protektif, tidak peduli kepada siapapun itu.
Tiba juga hari ini. Hari yang ditunggu Kakek Hadi, namun tidak, dengan kedua mempelai. Hari pernikahan Angga dan Riska. Riska tampak memaksakan senyum, menyapa para tamu yang hadir. Riska menatap wajah-wajah bahagia orang terkasih. Wajah Papanya yang tersenyum, meski begitu, Riska sadar, Papanya masih merasa sedih dan belum merelakan Riska untuk menikah. Sedih karena, kesalahpahaman yang sudah terlanjur terjadi. Jika saja kesalahpahaman itu tidak terjadi. Pernikahan ini pasti tidak akan pernah ada. Wajah Papanya pasti tidak akan menampakkan senyum yang tidak tulus seperti sekarang. "Senyum dong cantik!" kata Fajar sambil menarik pipi Riska. "Fajar, lepas!" Riska tidak ada te
Di dalam kamar Angga, kini tidak hanya dia saja yang menempati, tapi juga sang Istri.Angga keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada, mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, selepas mandi.Sementara Riska, kini tengah menghadap cermin di meja rias. Riska membersihkan make upnya terlebih dahulu sebelum dia mandi."Ka, ambilin baju dong!" perintah Angga.Riska menoleh ke Angga sebentar, kemudian beranjak dari duduknya, untuk mengambilkan baju Angga.Riska membuka lemari baju Angga, dan setelah di bukanya, Riska tidak heran lagi saat melihat, jika baju Angga warnanya hanya hitam, abu-abu dan putih. Di dominasi warna hitam. "Ini." Riska memberikan kaos berwarna hitam.
Pagi hari, Riska terbangun dari tidurnya. Saat membuka mata, Riska merasa ada yang aneh. Kamar yang ditempatinya ini, bukanlah kamarnya. "Ini dimana," pikirnya. Saat matanya menelisik ruangan itu, Riska merasa jika ada sesuatu yang menimpa perutnya. Riska lalu beralih menatap perutnya, dan melihat ada sebuah tangan yang melingkar di sana. "Tangan siapa ini?" pikir Riska. Riska menoleh ke samping, melihat ternyata Angga lah yang memeluknya. Riska kaget bukan main saat sadar, jika kini dia tengah tidur seranjang bersama dengan Angga. "Aarrgghh!" Sontak saja Riska langsung berteriak, dan refleks mendorong Angga yang tengah tertidur, hingga terjatuh ke lantai. Riska langsu
"Kamu juga lupa tadi?" tanya Riska tidak percaya.Angga mengangguk. Membelai kepala Riska dengan penuh kasih sayang.Mata Angga tanpa sengaja melihat jam di dinding yang sudah hampir jam delapan, Angga lalu mengajak Riska untuk bersiap turun kebawah.Memikirkan, jika mereka berdua tadi sama-sama melupakan pernikahan mereka, membuat Angga terkekeh geli sendiri.Riska menatap Angga dengan bingung. "Kenapa kamu tertawa seperti itu?" tanya Riska.Angga menggeleng sambil tersenyum. "Bukan apa-apa. Sana, kamu cuci muka, dan gosok gigi dulu! Mandinya nanti saja!" Angga mendorong pelan Riska, menuju kamar mandi."Kenapa nggak mandi saja sekalian sih Ga?" protes Riska."Udah sana! Aku juga belum cuci muka. Lihat! Sudah jam delapan lebih," ucap Angga sambil menunjuk jam di dinding.Riska sontak langsung melihat jam di dind
Angga yang melihat Riska menangis, langsung memeluknya dan menenangkannya. Setelah merasa Riska sudah agak tenang, Angga melepas pelukannya. Menghapus sisa air mata Riska. "Gini aja, kamu tanya sama yang lain dulu. Kalau mereka mengizinkan, aku janji, aku bakal izinin juga. Tapi kalau mereka tidak izinin, kamu tidak boleh merengek lagi kedepannya. Bagaimana?" Angga menawarkan solusi pada Riska, yang sebenarnya bukanlah solusi, karena sudah bisa dipastikan, mereka tidak akan pernah memberi Riska izin untuk itu. Riska tampak berpikir. "Sepertinya boleh juga usul Angga," pikir Riska. "Janji! Kalau mereka izinin, kamu bakal izinin aku nyetir sendiri." Riska bahkan melupakan fakta, jika tidak mungkin keluarganya memberi izin. Angga mengangguk tersenyum. Membujuk Riska seb
"Tidak boleh!" Teriak mereka lagi.Angga sudah tahu akan begini jadinya. Tidak mungkin mereka semua memberikan izin."Ris, kamu sudah lupa? Dulu pas kamu belajar nyetir sama aku, berakhir bagaimana?" tanya Fajar.Jelas saja Fajar sangat melarangnya. Dulu, pas Riska merengek padanya, untuk minta di ajarin menyetir, Fajar tidak tahan dengan rengekannya, sehingga akhirnya, Fajar bersedia mengajarinya.Saat itu, Riska tampak mendengarkan arahan dari Fajar dengan serius. Kecepatannya juga lambat, dua puluh kilometer per jam.Begitu Riska merasa jika jalan yang dilaluinya itu lenggang, dia tiba-tiba menambahkan kecepatannya. Berpikir tidak apa-apa, karena jalan nya sangatlah lenggang. Sampai tiba di sebuah tikungan, entah apa yang
Riska diam di dalam pelukan Angga. Mencerna apa yang baru saja diucapkan Angga. "Benar juga sih, apa yang dibilang Angga," batin Riska.Riska kini telah paham, akan maksud dari kata-kata Anga. Namun, meskipun begitu, Riska yang terlanjur merasa malu, bertekad tidak akan mengaku.Jadi Riska masih mencari-cari alasan, untuk pembenarannya. "Masa aku kalau mau pergi kemana-mana harus nunggu kalian dulu sih. Kalian kan pasti juga sibuk. Aku juga nggak mau merepotkan kalian terus," alasan Riska."Kamu nggak merepotkan. Aku malah senang kalau kamu repotin, jadi aku merasa berguna," ucap Angga.Riska mendongak, menatap Angga. "Benar? Aku nggak merepotkan?" tanyanya."Iya. Aku jadi merasa berguna kalau kamu merepotkan aku." Tepat sepe
Tidak mendapatkan respon dari Riska. Orang itu langsung duduk di kursi, yang berhadapan dengan Riska. Tanpa perlu repot-repot meminta izin terlebih dahulu. "Kamu minumnya masih es jeruk saja, kayak nggak ada minuman yang lain aja," ucapnya basa-basi. Melihat Sherly yang sudah duduk di kursi di depannya. Riska terpaksa, memaksakan diri untuk menyapanya. "Sher, apa kabar?" tanya Riska tanpa minat. Orang itu bernama Sherly, dia salah satu teman SMA Riska. Meskipun Riska sebenarnya tidak suka dengan Sherly, tapi demi menjaga image, Riska mau menyapanya. Meskipun sejujurnya, Riska sangat enggan. "Kabar aku baik," jawab Sherly. "Eh, ngomong-ngomong, aku denger kamu udah nikah ya? Dan nikahnya sama Angga?" tanya Sherly.