Sengaja Nicko mengajak Josephine berkeliling hingga langit menjadi gelap. Ia bahkan mengabaikan panggilan telepon dari mertuanya.
Apa yang menjadi fokus utamanya saat ini adalah untuk membuat istrinya tenang. Ia tahu kalau istrinya telah melalui hari yang berat kali ini.Sesekali Nicko mencengkeram kemudi kuat-kuat. Ia merasa geram akan ulah Daisy yang telah menipu putrinya. Bagaimana mungkin seorang Ibu bersikap seolah-olah menjual putrinya."Terima kasih Sayang," kata Jo sambil memegang tangan Nicko sejenak."Terima kasih untuk apa Jo. Aku ini suamimu, sudah seharusnya aku melindungimu."Pemuda 25 tahun ini menghembuskan napas panjang. Mengingat segala pesan yang disampaikan oleh mendiang Gilbert Windsor.Dirinya yang pengangguran seringkali mendapat tugas untuk merawat Gilbert. Di hari-hari terakhirnya, pria tua itu berkali-kali mengingatkan Nicko agar tak meninggalkan Josephine."Nick, akuSekali lagi Jo merasa tak nyaman saat tiba di rumahnya sendiri. Kehadiran mobil mewah yang terparkir rapi membuatnya malas untuk masuk."Kenapa Sayang?" tanya Nicko."Itu mobil keluarga Brighton," jawab Jo.Mendengar nama Brighton membuat darah Nicko mendidih karena teringat akan cerita Jo. Ia ingin tahu seperti apa wajah Nate Brighton yang kurang ajar itu. Nicko semakin mempererat genggaman tangannya pada sang Istri dan membimbingnya untuk masuk ke dalam rumah.***"Hei menantu tak tahu diri! Dari mana kau, beraninya menolak panggilan teleponku. Untung saja ada Nate Brighton yang menawari untuk mengantarku pulang dengan mobil mewahnya!" seru Daisy begitu melihat Nicko dan Josephine melewati ruang duduk.Ibu mertuanya sepertinya sengaja untuk mempermalukannya di depan kedua tamu yang datang. Sekilas Nicko melirik laki-laki berambut hitam yang ada di sana kemudian memicingkan mata."Jadi
Josephine memperhatikan sang suami yang sudah tertidur lelap pasca berhubungan badan dengannya. Tak biasanya performa suaminya seperti malam ini.Nicko yang biasanya mampu membuat kedua kakinya bergetar hebat dan mencengkeram seprei kuat-kuat kini tampak berbeda. Kali ini sang suami lebih pasif dan membiarkannya untuk memimpin permainan dengan alasan sangat lelah.Awalnya ia tak masalah saat melihat Nicko berbaring dengan kedua tangan sebagai bantal. Memintanya untuk duduk di atas pangkuan dan menggoyangkan tubuhnya di sana."Hmm, kau ingin aku berada di atas?" tanya Jo dengan ekspresi wajah yang menggoda."Yes, do it baby," kata Nicko.Aliran darah yang mendidih dalam tubuhnya membuat dirinya bergerak naik turun bagai menunggang kuda. Jo benar-benar memimpin, karena sang suami tak menggerakkan pinggulnya maju mundur seperti biasanya. Sekali ia menangkap sang suami memejamkan mata."Sayang, aku ..
Lagi-lagi Tuan Muda kaya itu harus menyiapkan sarapan untuk keluarga istrinya sendirian. Tiap kali Josephine ingin membantu selalu dicegah oleh kedua orang tuanya.Tanpa sengaja Edmund menjatuhkan serbet yang ada di meja tepat di samping kakinya."Nick, Ambil serbetku dan ganti dengan yang baru!" serunya pada Nicko yang baru saja menyajikan buah ke atas meja.Tanpa ada rasa malu, pemuda itu pun berjongkok perlahan-lahan dan melakukan perintah mertuanya. Istri yang mengetahui hal ini pun beranjak dan menyampaikan keberatan pada kedua orang tuanya."Ayah! Bukankah tangan Ayah masih berfungsi dengan baik, kenapa harus menyuruh suamiku melakukannya?" protes si bungsu Windsor."Kenapa kau protes Jo. Suamimu itu kan menumpang di sini, sudah sepantasnya melayani kami," Daisy yang setuju akan tindakan sang suami pun ikut menimpali."Tapi bukan berarti suamiku harus melakukan hal-hal sepele yang seharusnya bisa kal
Nate tampak terburu-buru mengemudikan mobilnya, semenjak tadi ponselnya sudah berdering. Seseorang yang sangat penting dan berpengaruh baginya menghubungi berulang-ulang."Huh, menyebalkan sekali lalu lintas siang ini," keluhnya sambil mencoba mencari celah untuk dilewati oleh mobilnya.Tak ada pilihan lain baginya selain menunggu dan membiarkan telinganya bising oleh dering ponsel yang tak kunjung berhenti. Nama Tuan J terpampang jelas pada layar ponsel saat benda pipih itu berdering.***Sedan mewah berlogo binatang buas itu memasuki sebuah villa yang ada di pinggiran kota. Villa dengan pemandangan laut lepas, dimana ombak menyapu batuan cadas tempat bangunan mewah itu berdiri.Nate mendekatkan wajahnya pada camera dan mic yang ada di samping dan mengabarkan kedatangannya. Kemudian, dalam beberapa detik saja pintu pagar elektrik di depannya pun terbuka dan memberikan akses padanya untuk masuk."Tuan sudah menung
Ruang rapat Hotel Windsor tampak tegang saat ini. Edmund, si putra bungsu dari Elizabeth batu saja datang dan menyampaikan kabar yang tak bagus bagi mereka.Nenek Elizabeth bahkan memalingkan wajah, seolah ia tak sudi untuk mrlihat wajah anak keduanya itu. Sementara Howard, kakaknya hanya bisa diam bersungut-sungut. Sedangkan Damian, ia hanya duduk diam dengan pandangan menghadap ke bawah."Huh, apa kau serius dengan yang barusan kau katakan Edmund?" tanya Nenek pada akhirnya."Benar, Jo mengatakan semua padaku. Ia tak dapat menolak permintaan Tuan Evans. Apalagi itu semua adalah keinginan dari sang direktur utama," jawab Ayah Josephine.Elizabeth menghentakkan tongkatnya pada lantai marmer dan menatap ke arah putranya nyalang. Kedua mata wanita itu terlihat memerah, menunjukkan kemarahan dan kekecewaan terhadap keputusan Josephine."Kurang ajar! Dasar penghianat!" seru wanita tua ini. Kemudian ia mengarahkan uju
Laura berjalan dengan tergopoh-gopoh sambil menoleh ke kanan dan kiri, berharap tak ada yang mengetahui apa yang tengah ia perbuat. Sekretaris wakil direktur itu pergi diam-diam dari kantor dan meninggalkan jam kerjanya.Masih terekam jelas dalam ingatannya saat malam itu. Bagaimana laki-laki yang paling diinginkannya memakaikan jaket pada perempuan lain yang menjadi istrinya. Apa yang mereka lakukan sungguh romantis walaupun tak berkelas.Tak dapat dipungkiri kalau pendamping hidup dari lelaki idamannya itu memiliki penampilan yang amat menarik. Ia yang seorang perempuan saja harus mengakui kecantikan dan kemolekannya tapi bukan berarti ia harus menerima kekalahan. Gengsi yang tertanam pada diri Laura sungguh membuatnya merasa kalau perempuan cantik itu tak pantas berada di sana."Aku memiliki kehebatan dan nilai yang lebih tinggi darinya, seharusnya aku yang menjadi pendamping Tuan Muda," gumamnya sambil berjalan diam-diam.Perem
Senyum terkembang di wajah pemuda tampan itu. Sementara jemarinya sibuk menekan tombol pada keyboard komputernya."Masuklah!" serunya saat mendengar suara seseorang mengetuk pintu.Seorang perempuan dengan busana kerja yang sangat minim, memperlihatkan lebih dari separuh pahanya. Sedangkan bagian atasnya adalah blouse tanpa lengan dengan potongan dada rendah.Perempuan itu menampilkan senyum manis dari bibir yang berperona matte. Senyumnya semakin merekah kala melihat laki-laki yang memanggilnya mengambil cangkir kopi latte dan meminumnya."Hmm tak lama lagi kau pasti akan masuk dalam perangkapku dan kau pasti akan terpsesona dengan setiap permainan ranjangku, dan membuatmu meninggalkan istrimu yang bodoh itu," batinnya penuh kemenangan."Duduklah Laura!" kata si Bos ramah.Tanpa menunggu lama lagi, perempuan ini pun mengambil tempat di kursi dan menyilangkan kaki. Sengaja ia mengambil posisi ini untuk mem
Nicko mencoba untuk mendekatkan telinganya agar lebih jelas mendengarkan percakapan Jeremiah. Kemudian pemuda itu pun mengangguk dan meninggalkan pantry."Jadi begitu rupanya," gumamnya kemudian melangkah.Kali ini tujuannya menemui Olivia White untuk melihat data dan laporan karyawannya Jeremiah Ford dan Randy Donovan.***Bos Richmond itu memperhatikan laporan yang diberikan oleh Olivia."Jadi, karyawan bernama Randy Donovan selalu mengambil shift sore?" tanya Nicko."Benar Tuan Muda, Randy Donovan adalah seorang mahasiswa, jadi dia hanya bisa bekerja di sore hari. Apakah itu jadi masalah Tuan Muda?" tanya wanita tiga puluh tahun ini.Nicko menggeleng cepat, "Tidak ... Tidak masalah. Aku hanya ingin tahu saja."Kemudian perhatiannya beralih pada Jeremiah Ford yang kerap melakukan pekerjaan dobel shift. Bahkan hari ini renacananya ia juga melakukan pekerjaan dobel.S