“Astaga Nin! Sudah pukul berapa ini, sedang kau baru menampakkan wajah cantikmu itu di depanku?! Dua jam, Hanin. Sempurna dua jam kau membuatku menunggu!”
Korban makian itu bukan lain adalah perempuan berambut lurus bermodel updo dengan kacamata bundar setengah merosot ke hidungnya. Wajah pucatnya seharusnya sudah menjelaskan kepada lawan bicara kenapa ia telat selama itu. Kantung matanya juga harusnya bisa menjawab pertanyaan perempuan di depannya ini. Seharusnya bisa. Bahkan ransel berisi laptop di punggung pun harusnya bisa menjawab kalau Hanin baru saja pulang dari kantor. Menemui satu-satunya editor cerewet yang sialannya sudah dekat dengannya hampir satu tahun belakangan karena pekerjaan.
“Kau harusnya tahu, minggu ini jadwalku padat. Kau masih saja ingin kita bertiga bertemu seperti ini. Ayolah, kau tak kasihan melihat wajahku seperti anak zombie seperti ini? Aku ingin tidur.”
“Cih! Kau selalu saja membawa alasan seperti itu. Satu bulan kami menunggu jadwalmu kosong. Tapi sepertinya mustahil penulis kondang sepertimu mengosongkan jadwal. Oh, bukankah kau harusnya minggu ini harus menghadiri perhelatan akbar itu ya? Apa-apa aku lupa! Oh, aku ingat –,”
“STOP REN! Kau membuatku tambah pusing. Lupakan perhelatan akbar itu karena aku tidak jadi berangkat. Harusnya kau sadar, jika aku berangkat pun sekarang tubuhku tidak akan ada di sini.”
Rena membeo. Memikirkan pengakuan sahabat di depannya ini. Tidak jadi berangkat? Yang benar saja, bukankah Hanin sudah mati-matian mengurus segala keperluannya? Kendaraan, penginapan, beberapa jadwal yang harus disusun ulang.
“Alasannya?” Perempuan berkaca mata bundar sebelah Rena yang sedari tadi hanya menyaksikan dua sahabatnya bersitegang, membuka suara. Sembari menyeruput teh manis di tengah suasana kota sedang diguyur hujan.
“Panitianya tiba-tiba mengundur acara setelah aku pontang-panting mengurus Ben agar tetap makan selama aku tinggal. Tetanggaku bersedia menampungnya selama aku pergi, tapi setelah semuanya beres, kabar buruk itu datang. Kalian tahu berapa jadwal yang aku undur gara-gara acara itu? Astaga, bisa tua aku rasanya.”
Rena dan perempuan berkacamata bundar tertawa. Pengunjung angkringan sempurna menatap ketiganya dengan pandangan macam-macam. Sepertinya di tengah kota yang sedang diguyur hujan deras, semangkuk makanan berkuah panas cocok menemani gerutuan Hanin. Tapi yang dipesan dua sahabatnya adalah es teh dengan sayur sop yang sudah dingin. Astaga, Hanin benar-benar akan tua rasanya.
“Maaf, kau sendiri datangnya lama. Tadi sop ini masih panas. Tehnya juga lumayan hangat karena esnya belum mencair. Berhubung kau dua jam baru datang, bukan salah kami jika makananmu dingin seperti ini.” Rena menjawab seolah tahu arah pikira Hanin saat ini.
Hanin sempurna mendengus.
Memanggil pelayan, memesan ulang menu makan siang hari ini. Bakso dengan teh jeruk panas.
Sudah sepekan kota diguyur hujan deras. Angin ikut serta menjadi pelengkap penambah dingin ketika malam. Nyaris tidak ada matahari di jam-jam istirahat makan siang sebab langit sudah ditutupi mendung menggantung. Siap menjatuhkan hujan di tengah perut kelaparan. Hanin menatap dua sahabatnya bergantian. Benar, ia sadar satu bulan ini rasanya mengosongkan jadwal sekadar bertemu, makan satu meja seperti ini nyaris tidak ada. Ia sibuk dengan tumpukan naskah, deadline kerjaan, kuliah, juga sibuk mengatur perasaanya. Sudah sepekan perasaanya tak karuan. Mungkin karena memikirkan orangtuanya yang jauh, atau mungkin rindu perasaannya yang tenang.
Ia tidak paham. Hanin tidak pernah bisa memahami hatinya sendiri.
***
“Istirahat, Nin. Otakmu bukan buatan manusia yang bisa diatur kadar kecepatannya dan tidak pernah lelah. Tuhan menciptakan otakmu agar selaras dengan kondisi badanmu. Aku tahu kau saat ini sedang kacau-kacaunya akibat kabar buruk itu, dan itu artinya malam ini kau harus istirahat, tidur, dan lupakan naskahmu satu malam ini karena besok kau harus memimpin rapat organisasi pukul sepuluh sedang kau ada jam kuliah pukul tujuh. Sana tidur!”
Rena benar-benar menjadi cerewet semenjak pulang dari angkringan sore tadi. Mengomel seolah korban tidak mendengar omelan berisik itu. Hanin ingin mengumpat saja. Perempuan yang sedang berguling-guling di karpet kamar tidurnya tidak tahu saja, besok adalah jadwal pengumpulan naskah yang baru saja ia tandatangani kontraknya beberapa bulan lalu dan besok ia harus menyetorkan bab akhirnya. Salah satu alasan kenapa ia bisa telat dua jam lamanya tak lain adalah bernegoisiasi dengan editor cerewetnya perihal pengumpulan yang lagi-lagi tidak bisa diundur. Harus besok, katanya.
“Sebenarnya aku bingung, kau tidak harus kerja seperti ini kan kebutuhkanmu pasti tercukupi, Nin. Aku dengar kabar, bisnis orangtuamu sedang melejit. Harga saham properti ayahmu masih meroket. Kenapa kau memilih kerja siang malam 24 jam seperti ini?”
“Kau ingin tau sekarang aku memikirkan apa, Ren?”
“Apa?”
“Melemparmu ke jendela kamarku! Asal kau tahu ya , meroket tidaknya saham ayahku, melejit tidaknya bisnis orangtuaku, itu milik mereka. Bukan milikku. Aku tidak ingin ikut campur.”
“Yeah, aku tahu. Tapi, kan kau anaknya. Bisa kupastikan atm yang kau pegang tidak pernah kosong seperti milikku. Artinya kebutuhanmu sangat-sangat tercukupi. Kau masih semester empat dan pikiranmu seperti semester tua saja yang harus cepat kerja, kerja, kerja.”
“Kadang tidak semua anak selalu ingin menikmati hasil kerja orangtuanya meskipun seharusnya memang seperti itu adanya. Aku ingin merasakan cari uang itu susahnya seperti apa, Ren. Aku tidak bisa terus bergantung kepada orangtuaku sementara aku tahu, usia mereka tidak lagi muda. Aku ingin menikmati hasil usahaku. Lagi pula ini bukan kerja. Aku sedang menekuni hobiku yang kebetulan saja menghasilkan uang. Tapi ini hobi, bukan pekerjaan.”
“Repot debat sama tukang nulis. Dalihnya banyak!”
“Kau sekarang ingin tahu tidak aku sedang memikirkan apa?”
“Apa! melemparku keluar jendela?!”
“Menjahit mulut cerewetmu!”
Tidak pernah terlewatkan barang sehari dua perempuan itu berhenti berdebat. Rena dengan cerewetnya sedang Hanin dengan masa bodohnya. Jangan lupakan perempuan berkacamata bundar di angkringan tadi, satu-satunya paling waras di antara mereka sebab selalu menjadi malaikat di tengah sifat dua perempuan lainnya semirip setan. Lucunya persahabatan itu seperti itu, saling memerhatikan dengan cara macam-macam. Seperti Rena mungkin, dengan sifat cerewet dan berisiknya yang di luar perkiraan.
Sibuk mendengar ocehan Rena tentang kesehatan karena perempuan berambut ikal itu mahasiswi semester empat kesehatan, sama dengan perempuan berkacamata bundar di angkringan tadi, pagi tiba-tiba datang. Hari senin dengan segala kutukannya. Setiap pagi, entah Hanin terlalu menyesali kehidupannya atau bosan dengan ramainya isi kepalanya, tarikan napas dengan hembusan kasar selalu menjadi alunan pagi. Seolah dengan melakukannya, Hanin bisa menyemangati dirinya unutuk memulai hari ini dengan pelan-pelan. Perempuan itu menuju kamar mandi. Menatap pantulan dirinya dari kaca besar yang nyaris menampilkan seluruh umpatan yang ada di kepalanya. Hari ini jadwal akan mengejarnya habis-habisan. Seperti ucapan Rena, jam tujuh ia harus kuliah, jam sepuluh ia rapat oraganisasi. Yang tidak diketahui Rena, jam dua siang nanti Hanin harus mengunjungi kantor untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya di sana.
Hanin turun dari sepeda lipat ber cat hitam miliknya. Menguncinya lantas meninggalkan parkiran menuju kelas pertama. Ekonomi.
“Nin, jangan lupa jam sepuluh!”
Seseorang meneriakinya tatkala kaki bersepatu putih baru saja menginjak lobi.
Hanin menoleh. Mendapati teman satu organisasinya tersenyum lebar. Masih bisa-bisanya tertawa. Astaga, apa perempuan itu lupa kalau ini hari senin? Hari penuh kutukan terlebih Hanin yang hobi mengutuknya.
“Siap!”
“Kau tidak lupa juga kan kalau jam dua harus menemui editor tua berkacamata tebal itu?” Batin Hanin ikut menjadi pengingat. Sungguh, sama sekali tidak melupakannya. Melekat betul sejak garapan naskahnya memasuki bab akhir.
“Kau sudah sarapan kan Nin?” Rena tiba-tiba muncul disampingnya. Menuntut jawab dengan mata nyalangnya. “Jangan bilang kau melupakannya?”
“Aku tidak sempat Ren,” Hanin melanjutkan jalan. “Selepas kau pulang, aku belum bisa meredam omelanmu dari kepalaku. Alhasil, pukul dua dini hari aku baru bisa terlelap. Jadi untuk sarapan, aku rasa aku melupakannya tadi. Aku ngantuk.”
“Kau!” Geram Rena.
Hanin tertawa. Asap di kepala Rena mengebul. Bila tidak lari, Hanin tidak yakin telinganya akan selamat lagi.
“Maafkan aku Ren! Nanti aku akan sarapan di kantin saja!” teriak Hanin sembari lari. “Jangan lupa, kau harus menemaniku rapat jam sepuluh nanti.”
Rena sempurna mendengus. Tidak paham jalan pikiran Hanin. Kesehatan selalu dinomor duakan, sedang pekerjaannya selalu tidak pernah jadi yang kesekian. Hafal betul Rena tabiat perempuan satu itu. Berkali dinasehari, seringakali juga tidak pernah dimengerti.
Kota hari ini cerah menawan. Tidak ada mendung menggantung. Cerah selayak Daisy ketika terciprat air segar dari tangan-tangan malaikatnya. Awan berlarian seolah menentang cuaca buruk yang beberapa pekan menggantung pongahnya. Kursi di salah satu gazebo kosong. Tidak seramai biasanya bahkan ketika hujan akan tiba. Pagi ini, lima belas menit sebelum rapat organisasinya, selepas mengikuti suntuknya mata kuliah ekonomi, Hanin bersandar nyaman. Pikirannya berkelindan dari satu waktu ke waktu sampai hari ini. Riuh saja. Tiba-tiba memikirkan apa saja yang selama ini berusaha ia hindari melalui kesibukan yang ia kerjakan, tidur malam yang kerap jadi hobi, gemar mengunjungi editor kacamata tebal yang menjadi kegemaran dadakan. Selama ini orang-orang selalu bertanya, termasuk Rena, mengapa Hanin seperti semester tua saja yang sudah memikirkan kerja, kerja dan selalu kerja padahal baru semester empat? Mengingat pertanyaan itu terus berputar sampai bosan, sebenarnya Hanin hanya ingin pikirannya terus terpacu oleh kesibukan. Katanya, dengan sibuk, ia akan lupa apa yang telah terjadi beberapa pekan lalu. Juni membawa petaka bagi hatinya. Bulan itu mencetak kabut tebal pertanda perasaannya buruk tak karuan.
Juni membawa petaka sementara Hanin hanya ingin memahami hatinya.
lanjutan dua tahun kemudian “Aku akan memulai ceritanya, iya atau tidak jawabanmu, aku akan tetap cerita alasannya.” Lelaki di kursi sana masih terdiam. Duduk nyaman meskipun hatinya enggan. Tidak ingin mengulang penolakan itu. Tidak mau menikmati perasaanya dua tahun lalu. “Aku ingin tenang, Ka. Sungguh. Kau selalu tahu suasana hatiku berkata apa. Seolah kalian berteman akrab sehingga aku sendiri heran, kenapa kau begitu apik memahamiku sementara aku sulit memahami hatiku sendiri. Dan seharusnya dua tahun lalu kau tahu, aku benar-benar menginginkan ketenangan.” Hanin mengela napas. Melanjutkan pengakuan pertamanya. “Ka, sebelum pertemuan pertama kita di ruangan baru yang menghadap jalanan kota itu, sebelum aku melihatmu untuk pertama kalinya sebagai sosok baru di sana, jauh sebelum aku mengira kalau keyakinan kita tak sama dan t
Lima menit dalam sia-sia. Gadis bersurai hitam kecoklatan duduk bersandar pada kayu mahoni dengan plitur kecoklatan dipernis mengkilap menyamankan mata memandang. Masih setia duduk tanpa melakukan apa-apa kecuali mendiamkan kepalanya. Ramainya tidak karuan. Saling berdebat berebut kursi ketenangan. Hatinya ikut-ikut. Mendeklarasikan peperangan demi membuat kenyamanan. Dari dulu atau bahkan semenjak menjadi mahasiswa, riuhnya kepala menjadi nyanyian kencang bervolume maksimal seolah enggan memaafkan tuannya yang saat itu berbuat kesalahan. Terus berteriak meminta kebebasan. Terus memberontak meminta pengakuan. Hanin sudah lelah sebenarnya. Sudah kecapaian merasakan gejolak perasaanya. Sayangnya Hanin tidak pernah bisa mengerti keinginannya sendiri.Tidak pernah bisa memahaminya sehingga menjadikan keramaian ini menjadi lebih ramai. Hanin sendirian ketika duduk di gazebo. Matanya memandang segala penjuru gedung-gedung tempat ia kuliah sembari melirik alroji di pergelangan tanga
Hanin dan Karsa tiba di rumah Hanin persis saat matahari tergelincir ke ufuk barat. Langit berwarna oranye. Mengantarkan matahai beristirahat berganti semburat menawan berhias burung-burung berterbangan guna kembali ke kediaman. Persis di depan gerbang setinggi pinggang ber cat hitam, motor Karsa berhenti menurunkan Hanin yang memasang wajah masam. Meskipun tidak jadi bertemu Pak Tua itu, kata diculik versi Karsa berakhir hujan-hujanan di jalan tapi kebanyakan berteduhnya. Alasan Karsa selalu sama setiap mereka berhenti di pinggir jalan atau ruko-ruko yang pemiliknya memilih menutupnya. “Kau tidak boleh sakit, Nin.” Hanin mendengus. “Kau tidak memperbolehkanku sakit tapi kau mengajakku hujan-hujanan. Tahu seperti ini lebih baik aku bertemu Pak Tua itu.” “Kalau kau sakit, Pak Tua akan marah besar. Hari ini kau absen darinya, sakit karena hujan-hujana. Wah... aku tidak bisa membayangkan wajah bundarnya semerah apa menahan untuk tidak memakanmu. Astaga a
Lajutan dua tahun kemudian Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, lengang. Haninmengulang cerita lalunya, Karsa menjadi pendengar setia. “Lima belas menit keterlambatanku salah satunya memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu, Ka. Ketakutanku sendiri. Tentang pertanyaanku saat kita berteduh waktu itu, itu benar-benar menjadi kekhawatiranku.” Karsa terkejut, “Diana?” Hanin tersenyum. Hambar. “Kau boleh percaya atau tidak, perasaanku tidak bisa berbohong kalau aku keberatan kau dekat dengannya. Terlalu berani jika perasaan ini dikatakan cemburu padahal kita bukan apa-apa. Kita teman. Mungkin dengan perasaan macam-macam. Aku takut, kalian sering bersama melebihi kebersamaan kita. Kau selalu dengan dia ketika ada acara, kau dekat dengannya. Dan posisiku dan Diana sama. Temanmu. Bedanya, kau lebih lama mengenal Diana sementara denganku baru
“Kau bagaimana? Masih hidup kan, Nin?” Suara diseberang terdengar menjengkelkan. Rena menelpon dengan suara nyaring memekakan telinga. Sayup terdengar Wulan ikut terpingkal. Mereka tahu kalau hari ini Hanin bertemu pak tua. Keduanya sedang menunggu cerita Hanin apakah perempuan itu dimaki habis-habisan, atau naasnya terlempar dari gedung berlantai tiga itu. “Aku selamat!” ketusnya. Semakin nyaring tawa Rena dan Wulan. “Kau sekarang di mana? Aku sama Wulan mau ke rumahmu. Menginap. Kau tak lupa kan orangtua Wulan sedang keluar kota dan itu artinya tuan putri ini sedang butuh teman.” Hanin berdehem. “Setengah jam lagi aku sampai. Aku sedang di jalan. Kalau kalian sudah diperjalanan, kalian langsung masuk kamarku saja, ada Mbak Sari.” Setelah dijawab beres oleh dua sahabatnya, Hanin melanjutkan jalan. Taxi online pesanannya sudah datang, ia akan bergegas pulang. Tadi pagi saat mendung, dari balik kaca mobil Hanin menatap tetesan hujan seo
Hari sudah sore. Pukul lima di mana kegiatan tiga perempuan di ruang televisi sedang seru-serunya bersenda gurau. Membicarakan apa saja, menjahili satu dan lainnya, tertawa seperti sore ini tidak bisa diganggu oleh siapa saja. Sedang asik bergurau dengan dua sahabatnya, handphone Hanin bergetar tanda pesan masuk. Ia baca ternyata dari Karsa. Ajakan makan malam nanti. Apa lelaki itu tidak ingat kalau langit mendung? Kemungkinan besar malam nanti juga sama. Hujan menyapa dengan ramah di awal Juni ini. “Kau tidak sibuk kan, Nin? Ada waktu keluar bersamaku tidak malam nanti? Tiba-tiba otakku memikirkan soto samping taman kota yang waktu itu pernah kita kunjungi. Mau ikut?” Melirik dua perempuan di depannya sedang asik berebut handphone milik Wulan, Hanin membalas pesan itu. Tidak bermaksud menolak, tapi rasanya waktu berkumpul dengan dua sahabtanya akhir-akhir ini sudah jarang ia lakukan. “Di rumah sedang ada Rena dan Wulan. Aku tidak mau meningg
lanjutan dua tahun kemudian “Aku tidak pernah menyangka kalau kau sudah lama tahu tentang perasaan Diana kepadaku,” Dinding krem berkelambu coklat dengan seprai kotak-kotak, kembali memiliki kehidupan. Perbincangan dari dua orang yang pernah dekat, menuntut masing-masing menjelaskan apa yang sebenarnya selama ini tidak berani disampaikan, lama disimpan sendirian, menjadi momok menakutkan ketika harus dipaksa dibongkar ulang. Hanin tersenyum. Pemilik kamar masih duduk di atas kasurnya, membiarkan angin menerbangkan surai rambut sebahunya meski tangannya berulang kali merapikan. Rambut itu sudah terpotong rapi. Rambut panjangnya dulu terpangkas jadi di atas bahu sebelum kedatangannya di kota kelahirannya ini. “Aku tahu siang hari sebelum kita makan soto di rumahku malam itu. Aku jelas tahu apa yang Diana rasakan, Ka. Aku paham bagaimana perasaannya. Ak
“Kau benar tidak bisa datang nanti malam, Nin?”Sepasang tangan sedang sibuk mengotak-atik laptop di atas meja belajar. Meja itu menghadap pekarangan rumah penuh dengan bunga matahari. Katanya, pemiliknya selalu beranggapan bila bunga itu sumber ketenangan. Hujan sederas apa matahari tetap kokoh berdiri meski terkadang layu namun esok harinya bertengger manis lagi. Hanin suka tenang melihat bunganya tumbuh dengan apik. Ketika melihatnya bermekaran, entah kenapa, hatinya ikut damai. Bagi hatinya, kuning warnanya seolah lambang kecerahan.“Aku tidak bisa janji, Ren. Aku sudah bilang Karsa aku harus ke kantor sore nanti.” “Wah... kau serius? Sudah ketiga kalinya kau selalu absen saat Karsa tampil. Kau tak ingin melihat bagaimana pesona temanmu itu di depan semua perempuan? Astaga Nin, kuakui Karsa keren!”Hanin tersenyum simpul. Pengakuan seperti itu kerap ia dengar dari