“Suck itu, baby. Oh … damn,” racaunya dengan mata terpejam. Hangat rongga mulut kembali menyapa sisi terdalam Mada hingga dirinya tersenyum miring dan bokongnya bergerak pelan dari posisi duduknya saat ini. “Smart. Smart little girl,” puji si lelaki dengan diselingi geram yang berasal dari Mada dengan suara rendah. Jakunnya bergerak naik dan turun, begitu pula mulutnya yang sedikit terbuka ketika berupaya mengambil pasokan udara. "Aku rasa mulai besok kamu harus memotong rambut menjadi lebih pendek atau lebih sering menguncirnya seperti ini. Terlihat sangat ... memabukan." Dengan tubuh yang sedikit bergetar terpacu akan adrnelin serta keinginan yang membuncah, Mada menyampaikan pendapatnya sehingga membuat Jenar berhenti sejenak. "Apa?" "Kamu cantik," pujinya agar Jenar terus melanjutkan aksinya. Jenar bergumam dan sedikit tersentak ketika Mada menarik cepol rambutnya, sedikit mencakar kulit kepala sebelum beralih mengusapnya, membuat helai demi helai terurai dan membingkai wa
Jenar berulang kali menatap ke arah Maps untuk memantau lokasi mereka sebelum beralih kepada Mada dan jalanan lengang yang dilalui oleh keduanya.“Mada, katakan yang sejujurnya kepadaku. Kamu yakin ini arah yang tepat untuk menuju rumah keluargamu?” selidiknya hingga Mada mendengkus pelan tanpa menatap Jenar sama sekali.Pria itu nampak begitu fokus mengemudi dan bahkan menginjak pedal gas sedikit lebih kencang hingga kendaraan beratap rendah itu melonjak dengan kecepatan penuh.“Kamu tidak akan mengajak diriku berputar-putar tanpa kepastian, bukan?”Sesekali Mada menggaruk dagunya kemudian menatap Jenar melalui sudut mata. “Kenapa?”“H—hanya bertanya,” tuturnya tidak yakin dengan melirik ke arah Maps yang menunjukan jalan satu arah itu dengan perasaan gugup.“Jenar, kamu meragukan kemampuan diriku dalam mengemudi atau kamu justru meragukan alamat yang muncul di dalam Maps?” tanyanya dengan cukup spesifik hingga Jenar sibuk menggigit bibir bawahnya.Sudah hampir satu jam lamanya Mada
[Nomor Tidak Dikenal : Kita harus bicara dan aku tahu kamu sedang berada di mana, Je.]Jenar yang tengah menunduk untuk memainkan ponsel dari dalam mobil lantas tercengang ketika membaca sebaris pesan yang masuk dari nomor tidak dikenal tersebut, keningya berkerut-kerut cukup dalam dan tangannya terasa dingin.“Jenar?”[Nomor Tidak Dikenal : Mengirimkan detail lokasi.][Nomor Tidak Dikenal : Kamu berada di sana, bukan?]“Kamu kenapa terlihat begitu gugup? Siapa yang mengirimkan pesan?” rentet Mada yang sejak tadi sudah memperhatikan Jenar dengan saksama ketika mobil tersebut berhenti di area parkiran bawah tanah milik Oscar.Mada sudah melepaskan sabuk pengaman dan tubuhnya sedikit dia miringkan untuk menoleh ke arah Jenar yang matanya terus tertuju kepada benda pipih di pangkuannya.“Oh, t—tidak ada apa-apa,” balas Jenar seraya menggaruk hidung lalu menelungkupkan ponsel dengan gerak yang cukup rusuh sebelum melepas sabuk pengaman.“Jadi bagaimana dengan pertanyaanku?”“P—pertanyaanm
“Aku tidak berbau ketiak dan keringat basah, ‘kan?” Jenar berbisik di sebelah Mada, berupaya meyakinkan diri sendiri bahwa dia sudah siap untuk bertemu dengan Oscar dan tidak akan membuat malu karena aroma tidak sedap yang keluar dari tubuhnya. “Pertanyaanmu terdengar cukup konyol,” kekeh Mada sambil mengacak puncak kepala Jenar. Jenar mendelik ke arah si pria lalu menunduk sebelum berbisik pelan. “Mada, sungguh, aku tidak berbau ‘kan?” Jenar menoleh, menatap pria tersebut dengan penuh pertanyaan yang belum terjawab sama sekali. Mada memasukan kedua tangannya di dalam kantung celana dan memutar sedikit tumit ke arah Jenar lalu mengatupkan bibir untuk beberapa saat. “Kalau kamu berbau, aku juga berbau. Sebab, kita menghabiskan waktu seharian penuh bersama-sama.” “Sudahlah, terserah apa katamu,” balas Jenar yang di mata Mada terlihat sangat menggemaskan sebelum mengulum bibir kemudian menunduk guna menatap jemarinya yang berhiaskan pewarna sewarna salem. “Padahal, bukan itu yang
“Kamu yakin meninggalkan Jenar untuk ke kamar mandi begitu saja, Mada?” “Kenapa tidak?” Mada meneguk air yang berada di dalam gelas, merasakan sedikit manis yang mengalir di kerongkongannya sebelum menggosok kedua tangan di atas paha lalu menoleh ke arah Oscar dengan sorot santai, bahunya terangkat secara bersamaan sebelum dia menguap. “Kamu tahu bahwa banyak hal yang disembunyikan oleh rumah ini, Mada," terang Oscar yang berupaya untuk berdiri kemudian menyusul Jenar sebelum Mada menahan tangan sang papa, memintanya agar duduk tenang tepat disampingnya. “Benar, papa. Dan itu menjadi satu dari sekian banyaknya alasan mengapa aku merasa lebih tenang tinggal di griya tawang.” Oscar menunduk, menatap tangannya yang dicekal oleh Mada sebelum suaranya berubah menjadi sebuah desis di hadapan si pria yang berusia lebih muda. “Sama sepertimu, papa juga mempunyai alasan mengapa tidak memberikan sembarang orang untuk singgah ke sini.” “Aku tahu,” jedanya sambil mengetuk jemari. “Akan teta
Prang!“Oh astaga, dasar ceroboh sekali dirimu, Jenar!” rutuknya dengan memutar bola mata.Jenar mundur sejenak, berusaha menjauhkan dirinya dari pecahan kaca yang berserak di bawah kakinya tersebut.“Dasar pembawa petaka, harusnya aku meminta agar ditemani oleh Josh jika tahu akan berujung seperti ini.”Apa yang harus dirinya katakan kepada Mada serta Oscar jika kedua lelaki itu tahu bahwa kedatangan perdana Jenar ke sini justru merusak sesuatu yang berada di rumah ini?Rasanya, rapalan harapan yang datang dari belah bibir Jenar langsung terjawab begitu saja ketika sebuah suara menyapanya disertai napas yang terdengar memburu.“Nona Jenar, anda tidak apa-apa?” tanya Josh seraya duduk bersimpuh ala seorang ksatria.“Eh—ap … apa yang kamu lakukan di sini, Josh?” balasnya kikuk karena tercengang seraya bertanya di dalam hati mengapa Josh sangat sigap menghampirinya.“Apa Nona terluka?”“A—aku baik-baik saja,” kata Jenar dengan menyelipkan helai rambut ke area belakang telinga.Jenar men
“Pa, pertanyaan papa terdengar sangat klise.” Mada terdiam sejenak mendengar penuturan dari Oscar sebelum kalimat tadi terucap, dia perlu untuk memikirkannya selama beberapa saat. “Dengarkan papa, Mada. Jangan menyia-nyiakan Jenar,” kata Oscar dengan segenap keyakinan yang ada di hatinya. “Jika kamu masih tidak dapat berpaling dari Bianca sama sekali, jangan berani untuk membuka hati pada perempuan lain. Kamu hanya akan berakhir dengan menyakitinya.” “Pa,” tegas Mada dengan memandang tegas ke arah Oscar. Pria yang lebih muda lantas melirik tangan Oscar melalui sudut mata, masih menerka-nerka apakah telapak itu akan kembali mendarat di atas pipinya seperti tadi atau tidak. Mada menggerakan rahangnya dan sedikit memutar tumit untuk berpaling ke arah kiri. Dirinya meraih dua lembar tisu dan menunduk serta menjauh dari jangkauan Oscar untuk meludah ketika Mada merasakan sesap asin pada rongga mulut. “Aku tegaskan kepada papa bahwa aku tidak akan menyakiti Jenar sama sekali,” ucap M
“Perempuan yang memakai gaun pengantin dan berpose disamping dirimu adalah Bianca, istrimu,” tebak Jenar dengan ringan. “Bagiku, kamu tidak perlu menjelaskannya lagi," sambungnya ketika menatap Mada yang nampak bersiap untuk memberikan seribu alasan kepadanya. "Lagipula, siapa perempuan muda yang bersanding denganmu di dalam foto tersebut serta dipajang di area rumah jika bukan seseorang yang spesial, bukan?” “Jenar …” Jenar menganggukan kepala, nampak tidak terganggu dengan fakta yang baru dirinya temui ini. “Untuk hal ini aku akui bahwa Bianca cantik.” Mada menelan saliva, tangannya terasa menjadi cukup dingin. "Kamu cemburu buta?" “Cemburu?” “Seperti pasangan pada umumnya. Sebab, foto yang kamu lihat adalah pernikahanku,” kata Mada dengan penuh harap kepada Jenar yang mengedipkan mata. Mulutnya terbuka kemudian menutup dengan cukup cepat sebelum tertawa canggung ketika mengatakan yang sejujurnya kepada Mada. "Sejujurnya, aku tidak tahu apakah ini buruk atau tidak, tetapi