Begini, aku tahu nama manajer advertising itu Andeas Pratama. Tapi aku enggak pernah menyangka kalau Andeas manajerku sama dengan Andeas sepupunya Lula yang beberapa waktu lalu sempat berkenalan denganku di restoran ibunya Lula. Aku baru percaya kalau kota Jakarta sesempit ini. Senyum Andeas masih sama manis seperti saat pertama kali aku melihatnya. Matanya penuh binar ketika melihatku di depannya. "Ternyata staf baru itu kamu?" tanya pria itu. Lalu dia mempersilakan aku duduk di kursi tamu. "Selamat datang di kantor divisi marketing. Semoga kamu betah di sini. Kalau kamu menemukan kesulitan, kamu bisa bertanya sama rekan kamu atau saya juga bisa," sambut Andeas ramah. Sebenarnya aku agak khawatir bertemu pria itu di sini. Apa dia tahu statusku yang sudah menikah dengan Asta? Kira-kira Lula memberitahu tentang statusku enggak ya? "Terima kasih, Pak. Mohon bimbingannya." Andeas kembali tersenyum manis. "Nanti saya suruh Debi buat ajarin kamu beberapa hal. Sambil jalan aja kamu pel
Ralin menemuiku saat istirahat makan siang. Hari ini dia terlihat wow di mataku. Mengenakan baggy pants sebatas mata kaki dengan motif kotak-kotak dipadu dengan kemeja putih yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana. Rambutnya yang pendek ala-ala polisi wanita terlihat rapi dan shiny. Dia tampak lebih segar dengan rambut barunya itu. "Gue beneran nggak nyangka akhirnya lo gabung di perusahaan ini," ucapnya setelah mencium pipiku. Aku tersenyum sumringah. "Iya dong. Misi kan nggak boleh setengah-setengah," bisikku. Ralin mengangguk semangat. "Sip! Di mana dia?" Tatapannya mengedar dan berhenti tepat di kubikel Tania yang saat ini sedang menyantap makan siang. "Lo awasi terus aja dari sini," bisik Ralin. "Kan emang itu tujuannya." "So, kita makan siang bersama?" tanya Ralin menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Ayo!" Aku gamit lengan sahabatku itu lalu pamit kepada Debi yang masih saja betah di depan laptop. "Deb, gue duluan ya." Debi hanya mengangguk dan tersenyum sing
Dugaanku meleset. Tania tidak lembur. Dia pulang cepat seperti karyawan lainnya. Aku sedikit lega, meski belum sepenuhnya. "Nggak pulang lo, Ra?" tanya Debi mencolek bahuku. Dia sudah bersiap untuk pulang. "Pulang kok, bentar lagi." Aku tersenyum sekilas sembari menarik kabin bawah, tempat di mana aku menyimpan tas. "Mau bareng?" "Kayaknya enggak. Lo duluan aja." "Ok, gue balik ya." Debi beranjak dari kursinya dan meninggalkan kantor.Selain aku, ada beberapa staf lain yang masih bertahan di mejanya. Aku mengembuskan napas sebelum mengeluarkan alat cermin dan sisir dari dalam tas. Untuk beberapa lama aku menyisir rambut lalu mengikatnya ke belakang. Satu per satu staf yang berada di kantor pun meninggalkan mejanya. Tinggal aku sendiri yang masih belum bergerak. Entah apa yang aku tunggu. Jelas-jelas Asta bilang dia akan pulang terlambat. Tidak mungkin juga aku menunggu. "Loh, Raya. Kamu belum pulang?" Aku menoleh mendengar sapaan itu. Andeas tampak baru keluar dari ruangannya.
Sudah seminggu aku bekerja di kantor Asta. Namun, nggak ada hal berarti yang patut aku curigai. Tania dan Asta terlihat baik-baik saja. Maksudnya aku nggak pernah melihat mereka bersama atau melakukan hal yang mencurigakan. Tania tampak profesional menjalankan tugasnya sebagai staf. Begitu pun sebaliknya. Mataku masih memperhatikan gerak-gerak Tania pada mejanya. Untuk ukuran mantan model, Tania tampak biasa-biasa saja saat berpenampilan. Tidak ada yang menonjol. Dia bahkan mengenakan outfit yang sangat tertutup. Kulot panjang dengan kemeja yang agak longgar. Setiap hari aku nggak melihat dia mengubah tatanan rambutnya. Masih sama diikat satu ke belakang dengan poni rapi menyamping. Satu lagi, dia sekarang mengenakan kacamata yang lensanya lumayan tebal. Meski begitu nggak mengurangi kadar kecantikannya. Aku refleks berdiri dan mengambil sembarang map yang ada di meja saat Tania tampak berdiri. "Ini!" Mataku bergeser ke sisi tangan Debi yang memegang bundel kertas di pembatas kubik
Aku melihat suasana yang lebih cozy di kantin ini. Kantinnya para petinggi perusahaan. Sekilas ini tidak nampak seperti kantin. Lebih mirip kafe. Meja dan kursinya saja didesain berbeda dari kantin yang di lantai empat. Bahkan di sayap kanan menggunakan sofa panjang sebagai tempat duduknya. Mataku mengedar berharap menemukan Asta di kantin ini. Menyisir dari meja paling depan. Orang-orang yang berada di sini wajahnya tampak asing. Ada beberapa yang pernah aku lihat. Jarang, tapi pernah sesekali. Dan di meja yang terletak di tengah-tengah, aku menemukannya. Asta! Aku memperhatikannya tanpa berkedip. Dia duduk berhadapan dengan seorang wanita. Namun, aku tidak melihat wajah wanita itu lantaran posisinya membelakangiku."Ayo, kita ambil makanannya," ajak Andeas menyentuh lenganku. Perhatianku teralihkan, dan aku mengiyakan ajakan Andeas menuju tempat berbagai makanan disajikan.Makanan yang ada di sini berkonsep buffet dengan menu yang lebih bervariasi daripada di kantin karyawan biasa.
Wajah Asta tampak lelah saat aku membukakan pintu untuknya. Dasinya sudah melonggar dengan kancing atas kemeja yang sudah terbuka. Jas hitamnya tersampir pada lengannya. Aku dengan sigap meraih tas dan jas itu. "Mau makan dulu atau mandi dulu, Mas?" tanyaku saat kami berjalan masuk kembali ke rumah. "Mandi," Asta menjawab singkat. Nadanya tak semangat. Langkahnya dengan gontai menaiki satu per satu anak tangga. Aku tidak mengikutinya dan hanya berdiri di tengah ruangan sembari memandanginya. Dan ketika berada di tengah tangga, langkah Asta terhenti. Lelaki itu menoleh padaku yang masih di bawah. "Kamu udah makan?" tanya dia kemudian. Aku pikir dia melupakan sesuatu. Mau tidak mau pertanyaannya membuatku tersenyum tipis. "Udah kok, Mas. Mau aku hangatkan sayur?" "Boleh. Tapi aku mandi dulu." Aku menyiapkan makan malam Asta sembari menunggunya turun. Sekitar lima belas menit kemudian dia turun dan sudah berganti pakaian santai. Wajah lelah yang sempat aku lihat berubah menjadi waja
Aku nggak bisa berhenti memikirkan tanda merah kehitaman di belakang leher Asta. Satu jam di depan layar komputer aku hanya bengong nggak menghasilkan konten apa pun. Selama ini praduga-ku nggak menghasilkan bukti apa-apa. Maksudnya aku nggak pernah menemukan sesuatu yang janggal kecuali Asta yang selalu pulang telat atau Asta yang selalu menolak jika diajak berhubungan badan. Namun, pagi tadi dengan mata kepala sendiri aku melihatnya. Aku nggak mungkin salah mengenali tanda itu. Aku yakin 100 persen itu adalah kissmark. Tanpa sadar tanganku mengepal. Dadaku naik turun menahan sesak. Rasanya nggak percaya saja kalau dia selingkuh. Meskipun aku kerap kali berpikir dia selingkuh. Sekarang pikiran itu malah menjadi kenyataan. "Mungkin cuma digigit serangga kali, Ra," ujar Ralin ketika aku meneleponnya. Aku terpaksa izin ke toilet hanya untuk menelepon Ralin. Aku enggak tahan untuk enggak menumpahkan kekesalanku. "Serangga apaan?! Gue bisa bedain kali mana itu gigitan serangga, mana itu
Aku terlalu malas untu menjawab pertanyaan Asta. Oleh karena itu aku memutuskan untuk kembali beranjak tanpa peduli dengan kemeja putih Asta yang kotor."Raya, tunggu."Dia hendak mengejarku. Namun, seseorang yang memanggilnya menghentikan langkahnya. Aku sempat menoleh padanya sebelum masuk ke toilet. Dia menoleh padaku juga, sebelum fokusnya teralihkan pada seseorang yang kini di hadapannya.Dia hampir saja membuat segalanya kacau. Seandainya orang yang datang tadi curiga, aku bisa terancam dikeluarkan dari perusahaan ini.Aku menatap wajahku yang kacau dari pantulan cermin. Mengambil facial face dari dalam pouch kosmetik, aku membersihkan mukaku yang sembab. Setelahnya aku membenarkan make-up yang berantakan dengan memoles kembali chussion. Terakhir aku memoles liptin secukupnya. Chussion mahalku ampuh untuk menutup mata sembab. Hanya diberi sedikit eyeshadow ringan, wajahku kembali terlihat fresh.Aldo, Arip, dan Debi saling tatap melihatku kembali ke meja. Sejurus kemudian mereka