Aku menyipitkan mata. Melihat Asta bermuram durja setelah pulang dari membuat cola membuatku heran. Apa ban mobil bocor membuatnya sesedih itu? Aku menghampirinya dan mengambil alih es batu yang dia keluarkan dari freezer. "Kamu melamun?" tanyaku menatapnya sebentar, lalu beralih ke rak atas dapur mengambil tiga buah gelas panjang. "Kok tiga?" tanya Asta saat aku meletakkan gelas-gelas itu ke atas meja dapur. "Iya, Ralin katanya mau ke sini?" "Ralin? Dia mau ke sini? Tumben."Aku mengangguk lalu mulai memasukkan kotak-kotak es batu ke dalam gelas. "Katanya dia habis ke rumah tantenya. Nggak tau tante yang mana." Aku juga baru dengar Ralin punya tante di kawasan ini. "Kamu masih berteman sama dia?" Pertanyaan Asta membuatku terkekeh. "Ya masihlah. Pertanyaanmu aneh." Aku menggeleng lalu memutar badan menghampiri microwave, mengambil pizza yang sudah aku hangatkan. "Meski ini menu nggak sehat, tapi kalau dimakan rame-rame asyik. By the way, kita udah berapa lama nggak makan baren
Tidak ada siapa pun saat aku bangun tidur. Semalam aku menunggu Asta sampai larut dan memutuskan tidur dengan harapan keesokan lagi menemukan lelaki itu di sampingku. Namun, ternyata nihil. Sosoknya belum ada. Apa Asta nggak pulang? Aku mengusap wajah dan bergerak menyingkap selimut. Agak sedikit kesal karena ... Astaga, bagiku ini sepele kenapa sih dia harus nggak pulang? Langkahku yang hendak menuju kamar mandi tertahan ketika kepalaku memikirkan sesuatu. "Kalau semalaman nggak pulang, dia nginep di mana dong?" Mendadak aku gusar. Pikiran-pikiran negatif mulai hinggap. Aku memutar langkah dan bergerak meraih ponsel dari atas nakas. Mencoba menghubungi Asta. Terhubung, dan dahiku kontan mengernyit ketika mendengar bunyi nada dering ponsel milik Asta. Sontak kepalaku menoleh ke arah pintu, dan bergegas keluar kamar. Saat pintu terbuka, mataku langsung menubruk sosok Asta yang tengah tidur di sofa. Ada napas lega yang berembus begitu menemukan lelaki itu. "Aku pikir dia nggak pu
Aku terjebak di salah satu mal bersama Andeas. Ini tidak sesuai ekspektasi. Ingin menghindari lelaki itu malah jalan berdua tanpa tujuan begini. Sekarang aku bingung mau mencari apa di mal sebesar ini. Karena sebenernya memang aku tidak memerlukan apa pun. Sudah setengah jam kami keluar masuk toko, tapi nggak ada satu barang pun yang aku beli. "Jadi, kamu mau beli apa? Kok kelihatannya bingung banget," tanya Andeas saat kami keluar dari toko ke enam yang aku datangi. Wajah bingung dan cengiran yang aku tunjukkan pasti membuat lelaki itu heran. "Kalau kita makan dulu aja gimana? Capek juga ya keliling mal." Dia terkekeh pelan. Lah, siapa suruh mau ngantar aku? Tiba-tiba saja Andeas menggandeng tanganku lalu melangkah menuju salah satu restoran yang berada di ujung lantai ini. Jujur, aku terkejut. Mataku tidak lepas dari tangannya yang terus menggenggam tanganku tanpa risih. Sementara jantung di dalam rusukku sedang jumpalitan karena kelakuan Andeas. "Deas? Wah, tumben sekali ini
"Kamu tidur aja dulu. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku." Aku lagi-lagi harus menelan kecewa saat Asta mengatakan kalimat yang sama persis seperti malam kemarin. Belum juga aku mengganti pakaian dengan piyama tidur, bahkan membuka lemari saja belum. Tapi, Asta sudah memberi kalimat yang mana bisa juga aku artikan : Aku nggak mau diganggu malam ini. Aku membuang napas kasar ketika Asta keluar dari kamar. Lelaki itu sudah pasti akan menuju ruang kerjanya, menjauh dari gangguan yang bisa saja sewaktu-waktu aku lakukan. Sudah dari empat bulan lalu, Asta sedikit berubah sikap. Jadi, lebih dingin. Penyebabnya aku sendiri kurang tahu. Selama ini aku berusaha menjadi istri yang baik dan menyenangkan. Bahkan aku memutuskan resign dari kantor hanya agar bisa lebih fokus mengurus Asta. "Mas, kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku suatu kali saat suamiku itu baru beranjak rebah
Raline : [ Ra, ternyata mantan Mas Asta masuk ke divisi marketing. Gue baru tau kabar ini. ] Aku mengerutkan kening membaca pesan dari Ralin. Mantan Asta yang aku tahu itu cuma satu nama. Tania. Mereka pernah pacaran lumayan lama sebelum Asta menikah denganku. Aku mengedikkan balasan cepat. Aku : [ Maksud lo Tania? ] Ralin : [ Siapa lagi? ] Mendadak perasaanku nggak enak. Apa gara-gara itu Asta nggak selera padaku lagi? Tanpa sadar aku menggigit bibir. Semalam servis Asta sangat memuaskan. Tapi, itu pun karena aku yang memulai duluan. Kalau tidak mana mungkin dia mau menjamahku seperti tadi malam. Ralin : [ mending lo tanya langsung sama dia. Siapa tau gara-gara itu dia berubah sama kamu. Mungkin kamu bisa memintanya untuk memindahkan Tania ke divisi lain. Bila perlu depak sekalian. Biar aman. Mantan itu lumayan bahaya loh.] Aku kembali membaca pesan Ralin. Ternyata dia punya pemikiran yang sama denganku.
Aku memilih tempat duduk dengan lantai pasir dekat kolam renang. Pendar cahaya dari lampu di dasar kolam terlihat cantik. Sudah aku duga sih kolam renang itu memang sengaja tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Aku tergiur untuk melepas wedges yang aku kenakan, membiarkan telapak kaki menginjak pasir putih. Sudah lama sekali aku tidak bermain pasir di bibir pantai. Terakhir ketika aku dan Asta bulan madu ke Labuan Bajo. Sudah hampir dua tahun lalu. "Mas, kapan-kapan kita ke pantai lagi yuk," ajakku seraya melukis pasir dengan kakiku yang terbuka. Asta menutup buku menu, dia baru saja memesan makan malam kami. Dan waiter yang mencatat pesanan kami pun sudah pergi. "Anggap aja ini sekarang lagi di pantai, Ra." Aku mencebik dan melihat sekitar. Di seberang kananku, sisi lain kolam, terdapat bangunan ala-ala Yunani. Bangunan itu digunakan sebagain play ground. . Di belak
Aku datang tepat pukul sepuluh pagi ke restoran orang tua Lula. Restoran yang menyediakan menu-menu khas Indonesia itu belum terlalu ramai saat aku datang. Mungkin karena sekarang belum waktunya jam makan siang. Restoran yang terletak di jalan Setiabudi ini terbilang unik. Mengusung konsep tempo dulu Javanese. Dari luar memang tidak terlihat seperti restoran mewah. Tapi, kalau masuk ke dalamnya kamu bisa merasakan hal dan suasana yang berbeda. Interior restoran dibuat seperti museum tanah jawi. Di salah satu sudutnya terdapat koleksi-koleksi foto jadul lengkap dengan pernak-pernik jaman dulu kala, yang mungkin susah didapatkan di jaman sekarang. Bahkan di sudut lain ada koleksi botol kecap dari jaman orde lama sampai orde baru. Belum lagi koleksi wayang, itu hal yang wajib ada karena orang tua Lula sendiri memang gemar wayang. "Sukanya gue sama lo tuh gini. Kalau janjian enggak pernah ngaret." Aku serta merta menoleh mendengar
Foto yang Ralin kirim beberapa saat lalu membuat dadaku sesak. Aku mendadak kesulitan mengambil napas. Foto yang memperlihatkan Asta dan Tania sedang jalan berdua dalam satu payung yang sama. Aku ingat kembali. Kemarin sore memang hujan turun lebat. Dan Asta pulang malam berdalih lembur. Seketika pikiranku lintang pukang. Benarkah Asta lembur? Lembur di mana? Di kantor atau tempat mantan? Aku gusar, gelisah. Beberapa kali duduk dan berdiri. Beberapa detik lalu Ralin kembali mengirimiku pesan. Dan, aku belum membalas lantaran tidak tahu harus membalas apa. Ralin : [ kamu harus segera bertindak, Ra]Bertindak. Kata itu yang sedang aku pikirkan saat ini. Bertindak yang bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Melabrak Asta sampai dia mau ngaku, atau datang langsung ke kantor memporak-porandakan isi kantornya? Ah! Kepalaku rasanya ingin meledak saja. Derum mobil terdengar memasuki halaman rumah. Itu suara mobil Asta aku sudah sangat hapal. Aku masih duduk di kursi meja makan saat mendenga