Aku datang tepat pukul sepuluh pagi ke restoran orang tua Lula. Restoran yang menyediakan menu-menu khas Indonesia itu belum terlalu ramai saat aku datang. Mungkin karena sekarang belum waktunya jam makan siang.
Restoran yang terletak di jalan Setiabudi ini terbilang unik. Mengusung konsep tempo dulu Javanese. Dari luar memang tidak terlihat seperti restoran mewah. Tapi, kalau masuk ke dalamnya kamu bisa merasakan hal dan suasana yang berbeda.
Interior restoran dibuat seperti museum tanah jawi. Di salah satu sudutnya terdapat koleksi-koleksi foto jadul lengkap dengan pernak-pernik jaman dulu kala, yang mungkin susah didapatkan di jaman sekarang. Bahkan di sudut lain ada koleksi botol kecap dari jaman orde lama sampai orde baru. Belum lagi koleksi wayang, itu hal yang wajib ada karena orang tua Lula sendiri memang gemar wayang.
"Sukanya gue sama lo tuh gini. Kalau janjian enggak pernah ngaret."
Aku serta merta menoleh mendengar suara itu. Lula dengan tampang yang masih sama seperti dulu menyeringai menatapku dari jarak sekitar dua meter. Aku harusnya histeris menemukan sahabat lama yang baru ingat negaranya itu. Tapi, tentu saja reaksiku enggak akan seperti wanita normal pada umumnya.
"Kalau gue demen ngaret juga kayak lo, mungkin nunggu tahun baru imlek kita baru ketemu," sahutku, memasang ekspresi sebal.
Lula terkekeh lalu mendekatiku. Dia langsung menggamit lenganku dan mengajakku ke buffet bar. Di sana aku melihat menu-menu khas Indonesia sudah siap di wadah-wadah yang terbuat dari tembikar beralaskan daun pisang. Masing-masing menu ada tag name-nya.
"Lo mau makan apa, Ra? Mumpung masih lengkap nih."
Lula benar menunya masih lengkap dan banyak banget pilihannya.
"Nanti aja kali ya," aku melirik jam tangan. "Baru jam segini masa mau makan berat?""Oke, kalau gitu pesen minum dulu aja."
Kami lantas memilih tempat duduk outdoor dekat dengan kolam ikan di taman bagian belakang resto.
"Kapan lo datang ke Jakarta? Jangan bilang udah lama ya."
"Enggak sih, gue baru beberapa hari di sini."
"Well, apa yang bikin lo balik ke Indonesia. Gue pikir lo lupa kalau pernah lahir di sini." Aku bersedekap tangan menatapnya.
Lula tertawa tanpa merasa bersalah. "Baru juga tujuh tahun, Ra."
Sinting. Tujuh tahun dia bilang baru. "Tinggal tambahin 3 jadi 10 loh, La. Kenapa? Lo enggak berhasil gaet cowok bule Italy makanya lo nyerah dan mau pilih produk lokal?"
Lagi-lagi Lula tertawa. "Enggaklah. Gue di sana kan belajar. Dan gue balik ke sini karena mau mengaplikasikan apa yang udah gue pelajari."
"So rencana lo apa?"
Lula belum menjawab pertanyaanku ketika seorang pegawai restoran menyajikan dua mangkuk es teler yang tampak menggiurkan ke depan kami.
"Gue mau buka bakery and cafe. Sekarang masih nyari-nyari tempatnya sih," sahutnya begitu pegawai restoran pergi.
"Wah, kedengarannya menarik."
"Mau bantu gue hunting tempat?"
"Boleh. Gue free kapan pun asal enggak malam hari aja."
Lula mengedipkan sebelah mata. "Gue tau itu jatah laki lo."
Saat kami sedang asyik mengobrol tiba-tiba Lula melambaikan tangan, menyapa seseorang. Aku menoleh mengikuti arah pandangnya. Seorang laki-laki yang tengah berdiri di depan kasir tampak melambai dengan senyum lebar. Apa mungkin itu pacar Lula? Aku menyipitkan mata saat melihat wajah lelaki itu. Not bad. Aku seperti pernah lihat, tapi di mana? Entah aku lupa.
Lelaki itu mendekat ke meja kami saat urusannya dengan kasir selesai.
"Gue pikir itu berita hoax, ternyata lo beneran ada di Jakarta," ujar lelaki itu sesampainya di depan kami.
"Pada enggak percayaan amat sih," decak Lula. "Nih depan gue juga gitu." Lula mengedikkan dagunya ke arahku.
Lelaki itu terkekeh pelan. Dan yang bikin aku takjub dia tampak manis saat bibirnya tertarik ke atas. Astaga! Aku segera menutup mataku. Aku enggak boleh memuji cowok lain selain suamiku.
"Oh iya. Kenalin, dia Raya." Lula mengenalkan aku padanya. "Dan, Raya. Kenalin dia Andeas, sepupu gue."
Dengan percaya diri lelaki itu mengulurkan tangannya. "Hai, salam kenal." Dia melempar senyum manisnya. Seandainya aku enggak punya Asta, sudah dipastikan aku bakal kepincut padanya.
"H-hai."
Sial, kenapa aku jadi gugup begini? Aku menyambut tangannya sebentar dan buru-buru melepasnya.
"Lo enggak makan di sini?" tanya Lula, melirik kantong yang Andeas bawa.
"Enggak. Ini gue beli titipan nyokap sih. Dia pengin soto empal."
"Tante Ruwi sehat kan?"
Dari percakapan mereka aku bisa menyimpulkan Tante Ruwi yang Lula maksud kemungkinan ibunya Andeas.
"Sehat. Kapan ke rumah?"
Lula tampak nyengir. "Nanti deh. Gue pasti ke rumah."
Andeas menepuk pundak Lula sejenak, sementara matanya melirikku. "Gue balik duluan ya. Kasian nyokap gue udah kelaparan."
Lula mengangguk lantas melambai begitu Andeas beranjak menjauh. Aku bernapas lega selepas kepergian lelaki itu. Entah apa yang terjadi, tadi itu aku merasa terintimidasi. Tidak bisa berkutik beberapa saat.
"Lo ada rekomen enggak tempatnya di mana?" tanya Lula kembali fokus. Menyadarkanku dari lamunan sesaat.
Sejenak aku berpikir. Kafe dan bakery harus berlokasi di tempat yang strategis dan rame tentu saja. "Kita bisa cari di daerah Kelapa Gading atau Mampang."
"Oke." Lula mengangguk-angguk. "Besok deh kita cari."
Aku ikut mengangguk lantas menyeruput kuah es teler dari mangkok menggunakan sendok bebek porselen. "Es teler di sini memang paling juara. Mau berapa kali coba rasanya tetap the best."
"Dan gue bakal naro menu itu di kafe gue nanti."
"Gue bisa bayangin kesibukan lo di dapur nanti. Selain baking lo harus bikin menu buat kafe juga."
"Gue enggak kerja sendirian dong. Emangnya gue nanti enggak punya karyawan."
"Kalau gue daftar, lo bakal terima gue engga?"
Lula menggeleng tegas. "Kafe gue bakal bangkrut kalau mempekerjakan karyawan kayak lo."
Aku tertawa. "Gitu amat lo sama gue."
"Selain dapur gue yang bakal ancur gara-gara lo yang nggak bisa masak, kue-kue yang gue sediain di bakery buffet pasti ludes lo embat."
Aku makin tertawa ngakak. Lalu manyun sesaat. "Belum juga gue jadi karyawan lo. Udah difitnah gini."
"Belajar dari pengalaman sih. Lo itu cocoknya kerja kantoran. Bukan kerja di restoran," ujar Lula menyendok potongan alpukat yang tenggelam di kuah es lantas memakannya.
Bicara soal kantor aku jadi mengingat mantan Asta yang satu kantor dengannya itu. "Eh, La. Menurut lo sebab apa yang bikin laki berubah?"
Lula mengernyit sejenak. "Berubah apa? Berubah jadi spiderman? Yang jelas dong."
"Berubah jadi agak cuek gitu."
"Banyak faktor sih. Bisa karena tuntutan kerjaan atau ada masalah di kerjaannya juga. Tapi bisa jadi...." Lula menggantung kalimatnya.
Aku menyipitkan mata. "Apa?"
"Bisa jadi dia main hati dengan perempuan lain."
Ucapan terakhir Lula membuatku terbengong seraya mengerjap. Sebenarnya alasan yang Lula kemukakan ada semua ciri-cirinya pada Asta. Aku jadi kesulitan menyimpulkan sebab berubahnya Asta. Dosa enggak sih kalau aku curiga pada suami sendiri?
"Lo kenapa nanya begitu? Emang Asta berubah?" tanya Lula mengangkat kedua alisnya.
Aku terpaksa mengangguk. Lalu menghela napas berat. "Gue mulai bete sama kondisi pernikahan gue."
Foto yang Ralin kirim beberapa saat lalu membuat dadaku sesak. Aku mendadak kesulitan mengambil napas. Foto yang memperlihatkan Asta dan Tania sedang jalan berdua dalam satu payung yang sama. Aku ingat kembali. Kemarin sore memang hujan turun lebat. Dan Asta pulang malam berdalih lembur. Seketika pikiranku lintang pukang. Benarkah Asta lembur? Lembur di mana? Di kantor atau tempat mantan? Aku gusar, gelisah. Beberapa kali duduk dan berdiri. Beberapa detik lalu Ralin kembali mengirimiku pesan. Dan, aku belum membalas lantaran tidak tahu harus membalas apa. Ralin : [ kamu harus segera bertindak, Ra]Bertindak. Kata itu yang sedang aku pikirkan saat ini. Bertindak yang bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Melabrak Asta sampai dia mau ngaku, atau datang langsung ke kantor memporak-porandakan isi kantornya? Ah! Kepalaku rasanya ingin meledak saja. Derum mobil terdengar memasuki halaman rumah. Itu suara mobil Asta aku sudah sangat hapal. Aku masih duduk di kursi meja makan saat mendenga
Aku menyunggingkan senyum saat pada akhirnya bisa mengenakan setelah outfit bekerja seperti dulu. Aku berdiri di depan cermin melihat diri sendiri pada pantulan cermin. Tubuhku tidak berubah, masih sama seperti dua tahun lalu. Tidak ada perubahan yang berarti meski aku sudah menyandang gelar sebagai istri Asta. Aku memutar pinggang kiri-kanan, memastikan penampilanku sudah sempurna. Hari ini pertama kalinya aku bekerja, di perusahaan yang sama dengan Asta. Sebisa mungkin aku akan meninggalkan kesan yang bagus di hari pertama bekerja dengan rekan-rekan nanti. Setelah memastikan semuanya rapi aku bergegas turun ke bawah untuk membuat sarapan. Asta masih di kamar mandi ketika aku keluar. Aku menyiapkan sarapan simpel. Roti bakar isi dan susu segar serta kopi untuk Asta. Meski aku sudah membayangkan akan begitu sangat melelahkan, tapi aku harus melakukannya. Demi menguak misteri perubahan sikap Asta dan dugaan-dugaan Ralin tentang kedekatan Asta dengan mantannya.Aku melihat Asta turun d
Begini, aku tahu nama manajer advertising itu Andeas Pratama. Tapi aku enggak pernah menyangka kalau Andeas manajerku sama dengan Andeas sepupunya Lula yang beberapa waktu lalu sempat berkenalan denganku di restoran ibunya Lula. Aku baru percaya kalau kota Jakarta sesempit ini. Senyum Andeas masih sama manis seperti saat pertama kali aku melihatnya. Matanya penuh binar ketika melihatku di depannya. "Ternyata staf baru itu kamu?" tanya pria itu. Lalu dia mempersilakan aku duduk di kursi tamu. "Selamat datang di kantor divisi marketing. Semoga kamu betah di sini. Kalau kamu menemukan kesulitan, kamu bisa bertanya sama rekan kamu atau saya juga bisa," sambut Andeas ramah. Sebenarnya aku agak khawatir bertemu pria itu di sini. Apa dia tahu statusku yang sudah menikah dengan Asta? Kira-kira Lula memberitahu tentang statusku enggak ya? "Terima kasih, Pak. Mohon bimbingannya." Andeas kembali tersenyum manis. "Nanti saya suruh Debi buat ajarin kamu beberapa hal. Sambil jalan aja kamu pel
Ralin menemuiku saat istirahat makan siang. Hari ini dia terlihat wow di mataku. Mengenakan baggy pants sebatas mata kaki dengan motif kotak-kotak dipadu dengan kemeja putih yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana. Rambutnya yang pendek ala-ala polisi wanita terlihat rapi dan shiny. Dia tampak lebih segar dengan rambut barunya itu. "Gue beneran nggak nyangka akhirnya lo gabung di perusahaan ini," ucapnya setelah mencium pipiku. Aku tersenyum sumringah. "Iya dong. Misi kan nggak boleh setengah-setengah," bisikku. Ralin mengangguk semangat. "Sip! Di mana dia?" Tatapannya mengedar dan berhenti tepat di kubikel Tania yang saat ini sedang menyantap makan siang. "Lo awasi terus aja dari sini," bisik Ralin. "Kan emang itu tujuannya." "So, kita makan siang bersama?" tanya Ralin menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Ayo!" Aku gamit lengan sahabatku itu lalu pamit kepada Debi yang masih saja betah di depan laptop. "Deb, gue duluan ya." Debi hanya mengangguk dan tersenyum sing
Dugaanku meleset. Tania tidak lembur. Dia pulang cepat seperti karyawan lainnya. Aku sedikit lega, meski belum sepenuhnya. "Nggak pulang lo, Ra?" tanya Debi mencolek bahuku. Dia sudah bersiap untuk pulang. "Pulang kok, bentar lagi." Aku tersenyum sekilas sembari menarik kabin bawah, tempat di mana aku menyimpan tas. "Mau bareng?" "Kayaknya enggak. Lo duluan aja." "Ok, gue balik ya." Debi beranjak dari kursinya dan meninggalkan kantor.Selain aku, ada beberapa staf lain yang masih bertahan di mejanya. Aku mengembuskan napas sebelum mengeluarkan alat cermin dan sisir dari dalam tas. Untuk beberapa lama aku menyisir rambut lalu mengikatnya ke belakang. Satu per satu staf yang berada di kantor pun meninggalkan mejanya. Tinggal aku sendiri yang masih belum bergerak. Entah apa yang aku tunggu. Jelas-jelas Asta bilang dia akan pulang terlambat. Tidak mungkin juga aku menunggu. "Loh, Raya. Kamu belum pulang?" Aku menoleh mendengar sapaan itu. Andeas tampak baru keluar dari ruangannya.
Sudah seminggu aku bekerja di kantor Asta. Namun, nggak ada hal berarti yang patut aku curigai. Tania dan Asta terlihat baik-baik saja. Maksudnya aku nggak pernah melihat mereka bersama atau melakukan hal yang mencurigakan. Tania tampak profesional menjalankan tugasnya sebagai staf. Begitu pun sebaliknya. Mataku masih memperhatikan gerak-gerak Tania pada mejanya. Untuk ukuran mantan model, Tania tampak biasa-biasa saja saat berpenampilan. Tidak ada yang menonjol. Dia bahkan mengenakan outfit yang sangat tertutup. Kulot panjang dengan kemeja yang agak longgar. Setiap hari aku nggak melihat dia mengubah tatanan rambutnya. Masih sama diikat satu ke belakang dengan poni rapi menyamping. Satu lagi, dia sekarang mengenakan kacamata yang lensanya lumayan tebal. Meski begitu nggak mengurangi kadar kecantikannya. Aku refleks berdiri dan mengambil sembarang map yang ada di meja saat Tania tampak berdiri. "Ini!" Mataku bergeser ke sisi tangan Debi yang memegang bundel kertas di pembatas kubik
Aku melihat suasana yang lebih cozy di kantin ini. Kantinnya para petinggi perusahaan. Sekilas ini tidak nampak seperti kantin. Lebih mirip kafe. Meja dan kursinya saja didesain berbeda dari kantin yang di lantai empat. Bahkan di sayap kanan menggunakan sofa panjang sebagai tempat duduknya. Mataku mengedar berharap menemukan Asta di kantin ini. Menyisir dari meja paling depan. Orang-orang yang berada di sini wajahnya tampak asing. Ada beberapa yang pernah aku lihat. Jarang, tapi pernah sesekali. Dan di meja yang terletak di tengah-tengah, aku menemukannya. Asta! Aku memperhatikannya tanpa berkedip. Dia duduk berhadapan dengan seorang wanita. Namun, aku tidak melihat wajah wanita itu lantaran posisinya membelakangiku."Ayo, kita ambil makanannya," ajak Andeas menyentuh lenganku. Perhatianku teralihkan, dan aku mengiyakan ajakan Andeas menuju tempat berbagai makanan disajikan.Makanan yang ada di sini berkonsep buffet dengan menu yang lebih bervariasi daripada di kantin karyawan biasa.
Wajah Asta tampak lelah saat aku membukakan pintu untuknya. Dasinya sudah melonggar dengan kancing atas kemeja yang sudah terbuka. Jas hitamnya tersampir pada lengannya. Aku dengan sigap meraih tas dan jas itu. "Mau makan dulu atau mandi dulu, Mas?" tanyaku saat kami berjalan masuk kembali ke rumah. "Mandi," Asta menjawab singkat. Nadanya tak semangat. Langkahnya dengan gontai menaiki satu per satu anak tangga. Aku tidak mengikutinya dan hanya berdiri di tengah ruangan sembari memandanginya. Dan ketika berada di tengah tangga, langkah Asta terhenti. Lelaki itu menoleh padaku yang masih di bawah. "Kamu udah makan?" tanya dia kemudian. Aku pikir dia melupakan sesuatu. Mau tidak mau pertanyaannya membuatku tersenyum tipis. "Udah kok, Mas. Mau aku hangatkan sayur?" "Boleh. Tapi aku mandi dulu." Aku menyiapkan makan malam Asta sembari menunggunya turun. Sekitar lima belas menit kemudian dia turun dan sudah berganti pakaian santai. Wajah lelah yang sempat aku lihat berubah menjadi waja