Raline : [ Ra, ternyata mantan Mas Asta masuk ke divisi marketing. Gue baru tau kabar ini. ]
Aku mengerutkan kening membaca pesan dari Ralin. Mantan Asta yang aku tahu itu cuma satu nama. Tania. Mereka pernah pacaran lumayan lama sebelum Asta menikah denganku. Aku mengedikkan balasan cepat.
Aku : [ Maksud lo Tania? ]
Ralin : [ Siapa lagi? ]
Mendadak perasaanku nggak enak. Apa gara-gara itu Asta nggak selera padaku lagi? Tanpa sadar aku menggigit bibir. Semalam servis Asta sangat memuaskan. Tapi, itu pun karena aku yang memulai duluan. Kalau tidak mana mungkin dia mau menjamahku seperti tadi malam.
Ralin : [ mending lo tanya langsung sama dia. Siapa tau gara-gara itu dia berubah sama kamu. Mungkin kamu bisa memintanya untuk memindahkan Tania ke divisi lain. Bila perlu depak sekalian. Biar aman. Mantan itu lumayan bahaya loh.]
Aku kembali membaca pesan Ralin. Ternyata dia punya pemikiran yang sama denganku. Aku jadi semakin yakin penyebab perubahan Asta akhir-akhir ini karena kehadiran sang mantan.
Tania itu pernah menjadi model sebelum memutuskan menjadi pekerja kantoran. Penyebabnya aku kurang tahu. Yang aku tahu dia wanita yang sangat cantik dan peduli dengan penampilan. Aku makin gusar. Mengingat dengan wanita itulah Asta paling banyak menciptakan kenangan.
Alarm pintu terbuka membuatku berjengit. Mataku secara otomatis menengok jam di atas buffet. Pukul lima sore. Tumben sekali Asta pulang sore. Aku bergegas bangkit dari sofa dan melihat apakah benar yang datang Asta.
Mataku sontak berbinar melihatnya berjalan dari arah ruang tamu. Aku segera menyambutnya.
"Kok Mas nggak bilang kalau mau pulang cepat? Aku kan bisa masak makan malam lebih awal," tanyaku sembari meraih tas kerjanya.
"Nggak perlu masak. Kita makan di luar aja. Sekalian belanja keperluan bulanan," sahutnya seraya mengendurkan dasi.
"Kita makan malam di luar, Mas? Di mana?" tanyaku antusias.
"Nggak perlu jauh-jauh. Di kafe dekat kita biasa berbelanja aja." Asta menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aku di sampingnya mengiringi.
"Oke. Jadi, di kantor udah nggak sibuk ya, Mas?" tanyaku, siapa tahu kan besok dia mengajakku healing.
"Masih sibuk sih. Cuma hari ini aku pengin pulang cepat aja. Kenapa? enggak suka aku pulang cepat?"
"Ih malah suka banget. Kalau bisa mah tiap hari pulang cepat. Jadi, aku di rumah ada yang nemenin," sahutku bergelayut manja pada lengannya.
Asta tersenyum. "Aku usahakan ya. Tapi nggak janji."
Biar pun begitu aku seperti mendapat hawa segar saat Asta mengucapkan itu. Aku segera mengenyahkan segala pikiran buruk tentang suamiku itu. Mungkin saja dia memang sedang sibuk di kantor.
"Kamu mau langsung mandi, Mas?" tanyaku ketika Asta tampak membuka kancing kemejanya.
"Iya. Udah lengket banget nih badan. Kamu udah mandi belum?" tanya Asta seraya membuka kemejanya. Sehingga dadanya yang bidang serta bahunya yang lebar bisa aku lihat secara langsung. Entahlah, selama dua tahun hidup bersamanya aku nggak pernah bosan menikmati bentuk tubuhnya yang terbilang seksi itu.
"Aku udah mandi sih," ucapku menggigit bibir sesaat. Mataku turun memperhatikan Asta yang tengah melepas ikat pinggangnya. "Tapi, kalau diajak mandi lagi nggak keberatan kok," imbuhku tersenyum simpul seraya menatap Asta.
Asta tampak terdiam sesaat. Dia yang akan membuka pengait celananya pun mendadak urung. Apa ucapanku tadi salah?
Namun, tak lama dia mengangguk. Tentu saja itu membuatku senang bukan main. Serta merta aku menubruk tubuhnya.
"Rasanya udah lama banget kita nggak mandi bareng, Mas."
"Apa iya? Pantes aja kamu antusias," ujar Asta terkekeh.
Aku melepas pelukanku dan menarik tangan Asta agar segera memasuki kamar mandi. Tanpa pikir panjang aku segera melucuti seluruh pakaian. Padahal baru tiga puluh menit lalu aku mandi. Bahkan rambutku masih belum sepenuhnya kering. Tapi, aku juga nggak mau melewatkan kesempatan ini. Sudah sangat jarang kami melakukan ritual mandi bersama.
Kami masuk ke dalam box shower bersama. Dan yang kami lakukan tentu saja bukan langsung menyirami tubuh kami dengan air. Ada hal yang lebih menyenangkan daripada itu. Seolah tahu apa yang aku ingin, Asta mendorongku hingga tubuhku memepet ke dinding kamar mandi. Dia menunduk dan mencium bibirku dengan gemas. Aku menyambutnya suka rela. Bahkan aku menarik pinggangnya agar kulitnya bisa menyentuh kulitku. Seperti apa yang dia lakukan semalaman, Asta kembali membuatku melayang, memberi kenikmatan demi kenikmatan tak terhingga.
***
Beberapa kali aku melihat Asta menengok jam tangannya. Aku sampai mengernyit heran. Saat ini kami sedang berada di salah satu swalayan untuk membeli beberapa kebutuhan pokok bulanan. Aku sedang berada di rak-rak minuman ketika Asta menerima sebuah telepon.
"Ra, aku terima telepon dulu ya, kamu jangan ke mana-mana," ucapnya tampak bergegas.
Aku belum sempat menjawab ketika dia berlalu meninggalkan aku dan troli belanjaannya. Aku mengikuti arah perginya dengan mataku. Asta mencari tempat yang nggak bising kurasa. Mungkin itu telepon dari kerjaannya. Aku mengedikkan bahu dan kembali memilih minuman kemasan yang tersedia dalam berbagai merk.
Setelah beberapa menit lamanya, dia kembali. Wajah cemasnya beberapa menit lalu, hilang.
"Belanjanya udah, Ra?" tanya Asta sembari mengambil kendali troli belanjaan kami.
"Tinggal ke rak buah aja sih. Kamu udah lapar ya?" tanyaku menyeringai.
Asta tersenyum kecil dan mengangguk.
Aku terkekeh dan bergerak menuju rak-rak buah. "Sebentar ya, nggak lama kok. Kamu ngantri di kassa dulu aja biar cepet, nanti aku nyusul."
Asta ada di jejeran kassa nomor tiga ketika aku menyusul seraya menenteng tiga kantong jenis buah. Aku membeli anggur, pear, dan pepaya. Semua adalah buah kesukaanku dan Asta.
Petugas kassa sedang menghitung belanjaan kami ketika aku menghampirinya. "Udah selesai?" tanyaku mendekat padanya.
"Sedikit lagi. Mana buahnya?"
Aku meletakkan tiga kantong buah ke meja kasir dan membiarkan buah-buah itu berjalan sendiri di atas conveyor.
"Kita jadinya makan malam di mana?" tanyaku saat kami sudah selesai dengan urusan berbelanja. Asta tengah memasukkan kantong belanjaan kami yang segambreng di bagasi belakang mobil.
"Di kafe yang di ujung jalan itu aja."
"Oke."
Mood-ku hari ini benar-benar sangat baik. Asta kembali ke mode ketika kami pertama kali menikah. Saat itu kami merasa tidak perlu lama-lama lagi menunda pernikahan. Setelah lima bulan masa penjajakan, Asta dan orang tuanya datang melamarku. Dan, bulan depannya kami sah menjadi suami istri. Ya, secepat itu kami akhirnya bisa bersama. Sampai akhirnya aku memutuskan berhenti bekerja satu tahun lalu.
Sama seperti Asta aku juga orang marketing di perusahaanku dulu. Sering kali aku harus bekerja lembur, bahkan di weekend untuk urusan promosi. Asta sempat protes, dan setelah melalui diskusi yang pelik akhirnya aku mengalah dan berhenti bekerja.
Kafe yang Asta dan aku datangi memiliki tema summary. Kafe dengan kolam renang di tengah-tengahnya itu sedikit berbeda dari kebanyakan kafe lainnya. Aku menduga kolam renang itu nggak difungsikan sebagai mana mestinya. Karena di sekitar kolam tersebut dikelilingi pasir putih yang lumayan tebal.
Bangku-bangku kayu berjejeran di atas pasir putih tersebut. Dan, di sana lah kami memilih tempat duduk. Lantaran ini suasananya malam, lampu-lampu kecil yang menggantung mendominasi kafe ini sehingga kesan romantisnya dapat.
Aku memilih tempat duduk dengan lantai pasir dekat kolam renang. Pendar cahaya dari lampu di dasar kolam terlihat cantik. Sudah aku duga sih kolam renang itu memang sengaja tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Aku tergiur untuk melepas wedges yang aku kenakan, membiarkan telapak kaki menginjak pasir putih. Sudah lama sekali aku tidak bermain pasir di bibir pantai. Terakhir ketika aku dan Asta bulan madu ke Labuan Bajo. Sudah hampir dua tahun lalu. "Mas, kapan-kapan kita ke pantai lagi yuk," ajakku seraya melukis pasir dengan kakiku yang terbuka. Asta menutup buku menu, dia baru saja memesan makan malam kami. Dan waiter yang mencatat pesanan kami pun sudah pergi. "Anggap aja ini sekarang lagi di pantai, Ra." Aku mencebik dan melihat sekitar. Di seberang kananku, sisi lain kolam, terdapat bangunan ala-ala Yunani. Bangunan itu digunakan sebagain play ground. . Di belak
Aku datang tepat pukul sepuluh pagi ke restoran orang tua Lula. Restoran yang menyediakan menu-menu khas Indonesia itu belum terlalu ramai saat aku datang. Mungkin karena sekarang belum waktunya jam makan siang. Restoran yang terletak di jalan Setiabudi ini terbilang unik. Mengusung konsep tempo dulu Javanese. Dari luar memang tidak terlihat seperti restoran mewah. Tapi, kalau masuk ke dalamnya kamu bisa merasakan hal dan suasana yang berbeda. Interior restoran dibuat seperti museum tanah jawi. Di salah satu sudutnya terdapat koleksi-koleksi foto jadul lengkap dengan pernak-pernik jaman dulu kala, yang mungkin susah didapatkan di jaman sekarang. Bahkan di sudut lain ada koleksi botol kecap dari jaman orde lama sampai orde baru. Belum lagi koleksi wayang, itu hal yang wajib ada karena orang tua Lula sendiri memang gemar wayang. "Sukanya gue sama lo tuh gini. Kalau janjian enggak pernah ngaret." Aku serta merta menoleh mendengar
Foto yang Ralin kirim beberapa saat lalu membuat dadaku sesak. Aku mendadak kesulitan mengambil napas. Foto yang memperlihatkan Asta dan Tania sedang jalan berdua dalam satu payung yang sama. Aku ingat kembali. Kemarin sore memang hujan turun lebat. Dan Asta pulang malam berdalih lembur. Seketika pikiranku lintang pukang. Benarkah Asta lembur? Lembur di mana? Di kantor atau tempat mantan? Aku gusar, gelisah. Beberapa kali duduk dan berdiri. Beberapa detik lalu Ralin kembali mengirimiku pesan. Dan, aku belum membalas lantaran tidak tahu harus membalas apa. Ralin : [ kamu harus segera bertindak, Ra]Bertindak. Kata itu yang sedang aku pikirkan saat ini. Bertindak yang bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Melabrak Asta sampai dia mau ngaku, atau datang langsung ke kantor memporak-porandakan isi kantornya? Ah! Kepalaku rasanya ingin meledak saja. Derum mobil terdengar memasuki halaman rumah. Itu suara mobil Asta aku sudah sangat hapal. Aku masih duduk di kursi meja makan saat mendenga
Aku menyunggingkan senyum saat pada akhirnya bisa mengenakan setelah outfit bekerja seperti dulu. Aku berdiri di depan cermin melihat diri sendiri pada pantulan cermin. Tubuhku tidak berubah, masih sama seperti dua tahun lalu. Tidak ada perubahan yang berarti meski aku sudah menyandang gelar sebagai istri Asta. Aku memutar pinggang kiri-kanan, memastikan penampilanku sudah sempurna. Hari ini pertama kalinya aku bekerja, di perusahaan yang sama dengan Asta. Sebisa mungkin aku akan meninggalkan kesan yang bagus di hari pertama bekerja dengan rekan-rekan nanti. Setelah memastikan semuanya rapi aku bergegas turun ke bawah untuk membuat sarapan. Asta masih di kamar mandi ketika aku keluar. Aku menyiapkan sarapan simpel. Roti bakar isi dan susu segar serta kopi untuk Asta. Meski aku sudah membayangkan akan begitu sangat melelahkan, tapi aku harus melakukannya. Demi menguak misteri perubahan sikap Asta dan dugaan-dugaan Ralin tentang kedekatan Asta dengan mantannya.Aku melihat Asta turun d
Begini, aku tahu nama manajer advertising itu Andeas Pratama. Tapi aku enggak pernah menyangka kalau Andeas manajerku sama dengan Andeas sepupunya Lula yang beberapa waktu lalu sempat berkenalan denganku di restoran ibunya Lula. Aku baru percaya kalau kota Jakarta sesempit ini. Senyum Andeas masih sama manis seperti saat pertama kali aku melihatnya. Matanya penuh binar ketika melihatku di depannya. "Ternyata staf baru itu kamu?" tanya pria itu. Lalu dia mempersilakan aku duduk di kursi tamu. "Selamat datang di kantor divisi marketing. Semoga kamu betah di sini. Kalau kamu menemukan kesulitan, kamu bisa bertanya sama rekan kamu atau saya juga bisa," sambut Andeas ramah. Sebenarnya aku agak khawatir bertemu pria itu di sini. Apa dia tahu statusku yang sudah menikah dengan Asta? Kira-kira Lula memberitahu tentang statusku enggak ya? "Terima kasih, Pak. Mohon bimbingannya." Andeas kembali tersenyum manis. "Nanti saya suruh Debi buat ajarin kamu beberapa hal. Sambil jalan aja kamu pel
Ralin menemuiku saat istirahat makan siang. Hari ini dia terlihat wow di mataku. Mengenakan baggy pants sebatas mata kaki dengan motif kotak-kotak dipadu dengan kemeja putih yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana. Rambutnya yang pendek ala-ala polisi wanita terlihat rapi dan shiny. Dia tampak lebih segar dengan rambut barunya itu. "Gue beneran nggak nyangka akhirnya lo gabung di perusahaan ini," ucapnya setelah mencium pipiku. Aku tersenyum sumringah. "Iya dong. Misi kan nggak boleh setengah-setengah," bisikku. Ralin mengangguk semangat. "Sip! Di mana dia?" Tatapannya mengedar dan berhenti tepat di kubikel Tania yang saat ini sedang menyantap makan siang. "Lo awasi terus aja dari sini," bisik Ralin. "Kan emang itu tujuannya." "So, kita makan siang bersama?" tanya Ralin menunjukkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Ayo!" Aku gamit lengan sahabatku itu lalu pamit kepada Debi yang masih saja betah di depan laptop. "Deb, gue duluan ya." Debi hanya mengangguk dan tersenyum sing
Dugaanku meleset. Tania tidak lembur. Dia pulang cepat seperti karyawan lainnya. Aku sedikit lega, meski belum sepenuhnya. "Nggak pulang lo, Ra?" tanya Debi mencolek bahuku. Dia sudah bersiap untuk pulang. "Pulang kok, bentar lagi." Aku tersenyum sekilas sembari menarik kabin bawah, tempat di mana aku menyimpan tas. "Mau bareng?" "Kayaknya enggak. Lo duluan aja." "Ok, gue balik ya." Debi beranjak dari kursinya dan meninggalkan kantor.Selain aku, ada beberapa staf lain yang masih bertahan di mejanya. Aku mengembuskan napas sebelum mengeluarkan alat cermin dan sisir dari dalam tas. Untuk beberapa lama aku menyisir rambut lalu mengikatnya ke belakang. Satu per satu staf yang berada di kantor pun meninggalkan mejanya. Tinggal aku sendiri yang masih belum bergerak. Entah apa yang aku tunggu. Jelas-jelas Asta bilang dia akan pulang terlambat. Tidak mungkin juga aku menunggu. "Loh, Raya. Kamu belum pulang?" Aku menoleh mendengar sapaan itu. Andeas tampak baru keluar dari ruangannya.
Sudah seminggu aku bekerja di kantor Asta. Namun, nggak ada hal berarti yang patut aku curigai. Tania dan Asta terlihat baik-baik saja. Maksudnya aku nggak pernah melihat mereka bersama atau melakukan hal yang mencurigakan. Tania tampak profesional menjalankan tugasnya sebagai staf. Begitu pun sebaliknya. Mataku masih memperhatikan gerak-gerak Tania pada mejanya. Untuk ukuran mantan model, Tania tampak biasa-biasa saja saat berpenampilan. Tidak ada yang menonjol. Dia bahkan mengenakan outfit yang sangat tertutup. Kulot panjang dengan kemeja yang agak longgar. Setiap hari aku nggak melihat dia mengubah tatanan rambutnya. Masih sama diikat satu ke belakang dengan poni rapi menyamping. Satu lagi, dia sekarang mengenakan kacamata yang lensanya lumayan tebal. Meski begitu nggak mengurangi kadar kecantikannya. Aku refleks berdiri dan mengambil sembarang map yang ada di meja saat Tania tampak berdiri. "Ini!" Mataku bergeser ke sisi tangan Debi yang memegang bundel kertas di pembatas kubik