Happy Reading*****"Aku cuma bertanya, tidak bermaksud apa pun," ucap Fahri."Tapi nada bicaramu seperti membela dan tidak terima jika aku berkata sedikit ketus pada Wening. Kamu punya perasaan suka sama dia, ya?" Perkataan Tiara makin ngaco. Fahri bahkan menatap calon kakak iparnya dengan perasaan sungkan. "Ngomong apa kamu, Yang," sahut Fahri.Panggilan yang disematkan lelaki berkulit sawo matang itu membuat jantung Wening makin merasakan nyeri yang cukup hebat. Tak ingin mendengar perdebatan kedua lebih lama lagi, si gadis berjilbab menatap Tiara dan Fahri."Maaf, saya nggak keluyuran atau menggosip di saat jam kerja. Anda bisa mengecek catatan kinerja saya pada HRD. Jika bukan Pak Hartawan yang memanggil, saya juga nggak akan ninggalin ruangan," jawab Wening, "ada masalah apa kalian mencari saya."Walau suara sedikit bergetar dan tercekat sehingga terdengar seperti orang yang akan menangis. Namun, raut wajah sang akuntan tak gentar sama sekali. Dia berusa tegar menghadapi semua
Happy Reading*****Diam untuk beberapa saat. Fahri mencoba tersenyum dan merubah mimik wajahnya menjadi biasa. "Ngomong apa kamu, Yang. Bagaimana mungkin ada perempuan lain di hatiku ini. Aku seorang wakil direktur. Jika ada yang bertanya dari divisi lain terkait keadaan Wening, akan sangat lucu ketika aku tidak mengetahui sama sekali permasalahannya."Fahri mencolek dagu gadis di sebelahnya. Menetralkan segala rasa yang bergejolak dalam hati terhadap Wening. Dunia hanya boleh tahu bahwa dirinya adalah lelaki terbaik untuk Tiara. Lelaki yang paling pantas mendampingi perempuan itu."Beneran, Yang? Kamu tidak memiliki perasaan apa pun padanya?" tanya Tiara. Kedua tangannya kembali bergelayut manja pada lengan Fahri. Saat itu, Wening dan Hermin melihat kemesraan keduanya. Sang akuntan langsung memalingkan muka, sedangkan si kakak ipar cuma menggelengkan kepala. Lalu, meminta Wening untuk mengabaikan keduanya."Jadi, boleh Mas tahu apa yang direncanakan Papa?" Fahri mengusap lembut ram
Happy Reading*****Memilih mengabaikan perkataan Fahri yang berbisik kembali, Wening menuju meja kerja dan mengambilkan berkas lainnya untuk ditunjukkan pada Hermin. "Ibu bisa mulai mengingat nama-nama supplier dan juga printing kain yang biasa kita ajak kerja sama jika tamu meminta motif khusus untuk desainnya." Wening membuka map besar berisi daftar nama orang-orang dan perusahaan yang bekerja sama dengan garment."Biasanya, setelah nota-nota masuk dari pihak gudang, stok atau perlengkapan produksi lainnya. Saya selalu meminta pendapat Pak Hartawan untuk mengecek kembali. Beliau yang paling tahu tentang kapan jadwal pembayaran walau semua keuangan kita yang memegang."Hermin memeriksa semua map dan juga berkas yang diberikan Wening. Dia menggelengkan kepala. "Kamu kerjain semua ini, Ning?" tanyanya."Alhamdulillah, iya, Bu. Tapi, ya, nggak sepenuhnya saya yang ngerjain. Ada empat staf di bawah pimpinan saya dan akan menjadi bawahan ibu nantinya. Ibu nggak perlu khawatir." Wening t
Happy Reading*****Wening melanjutkan langkah ketika Fandra akan berbalik arah. Sengaja menyembunyikan wajah supaya tak terlihat oleh lelaki itu. Setelah sosok si lelaki menghilang, dia melanjutkan langkah ke kasir."Mbak, reservasi atas nama Wening Tri Rahayu di mana, ya?" Menunggu beberapa saat, si Mbak kasir menatap Wening. "Di gazebo nomor 21, Bu. Letaknya pas di tengah-tengah kolam ikan koi itu. Saya akan panggilkan salah satu pegawai untuk menemani ke sana." Wening mengangguk dan membiarkan si Mbak kasir memanggil salah satu rekan kerjanya."Tolong, ya, Mas. Antarkan ibu Wening ke tempat reservasinya," pinta si kasir."Lha, kok, tumben sih pake diantar-antar segala. Biasanya juga kalau ada tamu reservasi cuma dikasih tahu meja. Kita ngasih menu saja, udah selesai. Kok, ini lain," protes si mas yang diminta mengantar Wening. Si Mbak kasir mencubit lengan rekan kerjanya hingga si rekan kerja yang diminta tolong tadi mengaduh. Lalu, perempuan berkuncir kuda itu membisikkan sesu
Happy Reading*****Sepanjang perjalanan pulang, Wening mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang dijelaskan oleh si Mbak kasir di restoran tersebut. Akalnya mulai tidak bisa mencerna, jika saudara serta ibunya melihat Fandra sebagai office boy di sebuah toko buku. Lalu, Fandra mana lagi yang dia lihat di restoran yang katanya pemilik sekaligus manajer."Ah, pusing. Kamu itu, ya. Bisa-bisanya menghantui aku seperti ini," gerutu Wening di dalam mobilnya.Melirik arloji di tangan kiri, Wening berpikir untuk membelikan sesuatu pada kedua orang tuanya. Sampai saat ini, dia belum menceritakan tentang kepindahannya. Masih ada rasa takut jika bapaknya tidak mengijinkan. Turun dari mobil, Wening memesan martabak telor untuk Mahmud dan terang bulan atau martabak manis untuk ibunya. Menunggu beberapa menit, pesanan gadis itu sudah jadi. Dia kembali melanjutkan perjalanan ke rumah.Baru akan turun untuk membuka pintu gerbang rumahnya, ponsel Wening berdering. Tertera nama Fahri di sana. Wening
Happy Reading*****Fatimah tertunduk. Kali ini, dia menyadari bahwa dirinya sudah kelewatan. Wening adalah putri satu-satunya yang dia miliki, tetapi mengapa dia tidak mencoba mengerti isi hati si bungsu. Tentu akan sangat sakit jika setiap hari bertemu dengan lelaki yang sudah mengkhianatinya itu. Tak berani minta maaf, Fatimah cuma bisa diam dan mendengarkan apa yang akan si bungsu utarakan. Sementara itu, Wening masih diam dengan meremas jemarinya. Hatinya benar-benar kalut saat ini. Pernah ada di posisi sekarang dn mendapat penolakan dari sang Bapak membuatnya ragu untuk mengatakan yang sejujurnya. Namun, untuk tetap berada dalam satu kantor dengan Fahri, tentu akan sangat menyesakkan. Sudah seminggu ini, si gadis menghindari pasangan itu, tentu tidak mungkin selamanya dia melakukan hal demikian.Ragu-ragu, Wening menatap sedih dan penuh permohonan pada Mahmud. Lalu, menjawab, "Insya Allah besok siang, Pak. Apa Bapak mengijinkan Adik untuk pindah ke Malang?""Lho," kata Fatimah
Happy Reading*****Melempar ponselnya ke sembarang arah, Wening berdiri dan menuju ranjang. Sejak dua hari lalu, dia sudah menyiapkan seluruh barang-barang yang di bawa."Mengapa ... mengapa, Mas? Kamu begitu tega padaku. Harus, ya, kamu menelpon saat semuanya ingin aku lupakan." Memeluk guling yang selalu setia menemani malam-malam sedihnya. Air mata itu kembali meluncur membasahi pipinya.Sampai saat ini, Wening belum mengetahui sebab pasti mengapa Fahri tega mengkhianatinya. Selama menjalin hubungan bertahun-tahun, tidak pernah sekalipun kekasihnya itu bermain hati. Entahlah, mungkin Wening saja yang tidak mengetahui kelakuan buruk Fahri yang satu itu.Lelah menangis, gais itupun tertidur dengan sendirinya. Entah berapa jam sudah Wening memejamkan mata. Suara alarm dan juga dering ponselnya terdengar. Menggerakkan bola mata serta meraih alarm yang tak jauh dari ranjang. Wening mematikan pengingat tersebut.Dia melihat jam yang tergantung di dinding. Lampu kamar masih menyala deng
Happy Reading*****Injakan yang cukup keras pada kaki seseorang itu menghasilkan sebuah sura protesan. "Aduh, Mbak Ning penganiayaan," kata orang yang kakinya diinjak Wening. Tangan si gadis terlepas dari wajah sang akuntan. Dia memegang jari-jari kakinya yang terinjak sepatu oleh Wening. Memajukan bibir dia mengepalkan tangan dengan mata melotot.Gadis berjilbab hitam tersebut berbalik. "Kapok," kata Wening, "suruh siapa ngagetin gitu."Wening mencebikkan bibirnya, lalu tersenyum manis ketika tahu siapa yang mengerjainya tadi. Sudah lama dia tidak bertemu dengan gadis jahil itu."Ih, padahal sudah lama nggak ketemu. Maksudku kan buat kejutan, masih ingat tidak sama tangan halus milik sepupu cantikmu ini," kata gadis berjilbab matcha yang berkulit kuning langsat. Dia adalah putri semata wayang sang Paklik yang bernama Silvia Mufidah. "Mbak Ning, nggak asyik," ucap Silvi, tetapi tangannya meraih pegangan koper yang berada di tangan kakak sepupunya."Siapa nyuruh nutup matanya, Mbak.