Happy Reading*****Wening melanjutkan langkah ketika Fandra akan berbalik arah. Sengaja menyembunyikan wajah supaya tak terlihat oleh lelaki itu. Setelah sosok si lelaki menghilang, dia melanjutkan langkah ke kasir."Mbak, reservasi atas nama Wening Tri Rahayu di mana, ya?" Menunggu beberapa saat, si Mbak kasir menatap Wening. "Di gazebo nomor 21, Bu. Letaknya pas di tengah-tengah kolam ikan koi itu. Saya akan panggilkan salah satu pegawai untuk menemani ke sana." Wening mengangguk dan membiarkan si Mbak kasir memanggil salah satu rekan kerjanya."Tolong, ya, Mas. Antarkan ibu Wening ke tempat reservasinya," pinta si kasir."Lha, kok, tumben sih pake diantar-antar segala. Biasanya juga kalau ada tamu reservasi cuma dikasih tahu meja. Kita ngasih menu saja, udah selesai. Kok, ini lain," protes si mas yang diminta mengantar Wening. Si Mbak kasir mencubit lengan rekan kerjanya hingga si rekan kerja yang diminta tolong tadi mengaduh. Lalu, perempuan berkuncir kuda itu membisikkan sesu
Happy Reading*****Sepanjang perjalanan pulang, Wening mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang dijelaskan oleh si Mbak kasir di restoran tersebut. Akalnya mulai tidak bisa mencerna, jika saudara serta ibunya melihat Fandra sebagai office boy di sebuah toko buku. Lalu, Fandra mana lagi yang dia lihat di restoran yang katanya pemilik sekaligus manajer."Ah, pusing. Kamu itu, ya. Bisa-bisanya menghantui aku seperti ini," gerutu Wening di dalam mobilnya.Melirik arloji di tangan kiri, Wening berpikir untuk membelikan sesuatu pada kedua orang tuanya. Sampai saat ini, dia belum menceritakan tentang kepindahannya. Masih ada rasa takut jika bapaknya tidak mengijinkan. Turun dari mobil, Wening memesan martabak telor untuk Mahmud dan terang bulan atau martabak manis untuk ibunya. Menunggu beberapa menit, pesanan gadis itu sudah jadi. Dia kembali melanjutkan perjalanan ke rumah.Baru akan turun untuk membuka pintu gerbang rumahnya, ponsel Wening berdering. Tertera nama Fahri di sana. Wening
Happy Reading*****Fatimah tertunduk. Kali ini, dia menyadari bahwa dirinya sudah kelewatan. Wening adalah putri satu-satunya yang dia miliki, tetapi mengapa dia tidak mencoba mengerti isi hati si bungsu. Tentu akan sangat sakit jika setiap hari bertemu dengan lelaki yang sudah mengkhianatinya itu. Tak berani minta maaf, Fatimah cuma bisa diam dan mendengarkan apa yang akan si bungsu utarakan. Sementara itu, Wening masih diam dengan meremas jemarinya. Hatinya benar-benar kalut saat ini. Pernah ada di posisi sekarang dn mendapat penolakan dari sang Bapak membuatnya ragu untuk mengatakan yang sejujurnya. Namun, untuk tetap berada dalam satu kantor dengan Fahri, tentu akan sangat menyesakkan. Sudah seminggu ini, si gadis menghindari pasangan itu, tentu tidak mungkin selamanya dia melakukan hal demikian.Ragu-ragu, Wening menatap sedih dan penuh permohonan pada Mahmud. Lalu, menjawab, "Insya Allah besok siang, Pak. Apa Bapak mengijinkan Adik untuk pindah ke Malang?""Lho," kata Fatimah
Happy Reading*****Melempar ponselnya ke sembarang arah, Wening berdiri dan menuju ranjang. Sejak dua hari lalu, dia sudah menyiapkan seluruh barang-barang yang di bawa."Mengapa ... mengapa, Mas? Kamu begitu tega padaku. Harus, ya, kamu menelpon saat semuanya ingin aku lupakan." Memeluk guling yang selalu setia menemani malam-malam sedihnya. Air mata itu kembali meluncur membasahi pipinya.Sampai saat ini, Wening belum mengetahui sebab pasti mengapa Fahri tega mengkhianatinya. Selama menjalin hubungan bertahun-tahun, tidak pernah sekalipun kekasihnya itu bermain hati. Entahlah, mungkin Wening saja yang tidak mengetahui kelakuan buruk Fahri yang satu itu.Lelah menangis, gais itupun tertidur dengan sendirinya. Entah berapa jam sudah Wening memejamkan mata. Suara alarm dan juga dering ponselnya terdengar. Menggerakkan bola mata serta meraih alarm yang tak jauh dari ranjang. Wening mematikan pengingat tersebut.Dia melihat jam yang tergantung di dinding. Lampu kamar masih menyala deng
Happy Reading*****Injakan yang cukup keras pada kaki seseorang itu menghasilkan sebuah sura protesan. "Aduh, Mbak Ning penganiayaan," kata orang yang kakinya diinjak Wening. Tangan si gadis terlepas dari wajah sang akuntan. Dia memegang jari-jari kakinya yang terinjak sepatu oleh Wening. Memajukan bibir dia mengepalkan tangan dengan mata melotot.Gadis berjilbab hitam tersebut berbalik. "Kapok," kata Wening, "suruh siapa ngagetin gitu."Wening mencebikkan bibirnya, lalu tersenyum manis ketika tahu siapa yang mengerjainya tadi. Sudah lama dia tidak bertemu dengan gadis jahil itu."Ih, padahal sudah lama nggak ketemu. Maksudku kan buat kejutan, masih ingat tidak sama tangan halus milik sepupu cantikmu ini," kata gadis berjilbab matcha yang berkulit kuning langsat. Dia adalah putri semata wayang sang Paklik yang bernama Silvia Mufidah. "Mbak Ning, nggak asyik," ucap Silvi, tetapi tangannya meraih pegangan koper yang berada di tangan kakak sepupunya."Siapa nyuruh nutup matanya, Mbak.
Happy Reading*****Silvia mencubit kecil lengan kanan Wening karena sang sepupu sama sekali tidak merespon perkataannya."Aduh," ucap Wening merasa cubitan Silvia menyakitinya. "Ish, kamu kebiasaan deh. Main cubit-cubit saja. Sakit tahu. Coba sini, Mbak yang cubit. Biar kamu tahu rasa sakitnya."Silvia berjalan mendahului Wening. "Mbak itu bengong saja. Apa sih istimewanya cowok itu. Sejak di terminal tadi selau bengong lihat dia. Jangan-jangan Mbak Ning naksir dia, ya." Memainkan kedua alis, menggoda sang sepupu.Wening mencebik. "Ngomong apa kamu, Dik. Ayo cepet masuk dan pesankan Mbakmu ini es yang bisa menghilangkan rasa penasaran." Salah satu pegawai yang berada di pintu kafe membungkuk hormat dan berkata, "Selamat datang di kafe WEFA. Silakan mencari meja dan memesan minuman serta makanan kami." Pegawai itu menunjuk dengan tangannya pada deretan meja yang masih kosong."Terima kasih, Mbak." Silvia melempar senyuman pada pegawai kafe tersebut."Ramah banget pegawainya, Vi," kat
Happy Reading*****Catra menarik garis bibirnya. Menggelengkan kepala dan menaikkan jari tengah dan telunjuk, sedangkan tiga jari lainnya melingkar di bawah. Tangan Catra membentuk huruf v mengarah pada Wening dan juga Silvia."Eh, kok malah minta maaf. Belum juga jawab pertanyaan kami," kata Silvia, "Duduk dulu, deh, Mas. Terus ceritakan. Bagaimana Mas Catra bisa tahu nama sepupuku ini.""Jangan sekarang, deh, ngobrolnya. Ada big bos yang sebentar lagi ngumpul. Nggak enak kalau tahu aku duduk sama kalian berdua apalagi ada Mbak Wening." Perkataan Catra membuat Wening mengerutkan kening. Cowok itu seperti sudah lama mengenalnya. Namun, ingatannya tidak mungkin lupa begitu saja jika memang mereka pernah mengenal satu sama lain."Aku nggak ramah sama cowok yang baru ketemu seperti kamu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Mengapa di setiap kalimatmu seperti sudah sangat mengenalku," kata Wening."Gimana nggak kenal kalau fotonya Mbak banyak nempel di dinding ruangan si bos." Seketika
Happy Reading*****"Anu apa sih, Nduk," jawab istri dari Paklik Wening yang bernama Damayanti. "Bapak juga aneh tanyanya. Orang tersenyum tandanya bahagia atau ada yang lucu. Kenapa malah diinterogasi macam maling yang ketangkap nyolong saja.""Bukan begitu, Bu. Mas Mahmud sudah mempercayakan Nduk Ning sama kita. Bapak cuma nggak mau saja sampai kejadian lagi dia patah hati," kata Rahmat yang tak lain adalah adik kandung Mahmud.Wening harus berterima kasih pada bibinya. Kali ini, dia terselamatkan dari interogasi Rahmat yang sama-sama posesif seperti Mahmud pada putri-putri mereka."Iya, Ibu ngerti, tapi Nduk Ning ini kan baru datang dan butuh istirahat. Masak langsung mau diinterogasi, Pak. Lagian, dia bukan anak ABG yang harus kita awasi selama 24 jam," bela perempuan yang seringnya dipanggil Yanti. "Sudah kita masuk dulu. Sudah mau magrib ini."Rahmat tidak lagi bisa berkutik jika istrinya sudah mengomel seperti itu. Sang kepala keluarga terpaksa masuk rumah lebih dulu. Berjalan