Daru menelan ludahnya perlahan. Nyaris tanpa suara. Ia khawatir Ella mendengar hasrat yang terpercik dalam suaranya. Pemandangan yang tadi dilihatnya dalam bentuk kilasan, kini ingin ia buktikan dengan nyata. Tatapan Daru beranjak. Meninggalkan sepasang tumit halus yang sedang menanggalkan selembar kain kecil. Naik, menuju betis mungil berwarna putih gading tanpa noda.
Daru melihat Ella memajukan letak tubuhnya. Terlihat sedang mengaduk-ngaduk isi lemarinya. Wanita itu telihat tergesa-gesa. Namun, Daru malah menikmati ketergesaan wanita itu. Ia kini sedang menatap bokong Ella yang tengah menunduk. Daru sedikit memalingkan wajah karena Ella tiba-tiba bergerak meraba-raba bagian belakang punggungnya. Lalu wanita itu melepaskan branya.
Gerakan Ella cukup cepat. Namun, bagi Daru pemandangan itu begitu lambat hingga ia merasa tersiksa tiap detiknya. Kini ia menoleh terang-terangan. Melihat garis lengkung punggung Ella yang pernah menunduk di
Ella mundur beberala langkah, ia ingin menjauhkan wajah Daru dari perutnya. Menjauhkan lelaki itu sejauh-jauhnya dari tubuhnya.“Ella.”“Kamu kadang suka ngaco yah,” ucap Ella sambil mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mendengar perkataan Daru membuat Ella sesak napas. Hamil? Apa maksud Daru!?“Kenapa aku ngaco, La. Aku liat kamu muntah tadi,” ungkap Daru sambil berusaha mendekati Ella yang sudah berjalan mondar mandir.“Muntah bukan indikasi orang hamil, Daru!?” Ella menatap mata Daru dengan tatapan yang siap mencabik-cabik wajah Daru.“Kamu bilang tadi kamu lapar dan kamu mun—““Aku manusia Daru!? Mahluk hidup, tentu aja aku lapar dan mungkin aja aku masuk angin.” Ella memijat kepalanya yang tiba-tiba sakit. Astaga …
Sore itu Daru baru saja kembali dari kantornya, dia mendapati Bayu sedang bermain basket di halaman samping. Anak lelaki yang menginjak masa remaja itu hanya melambaikan tangan padanya.Daru memasuki rumah, nampak sepi seperti biasa. Rumah ini akan ramai dengan suara jika Anneke, ibu nya datang berkunjung. Sudah hampir dua minggu ini wanita paruh baya itu berada di Belanda.Daru melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya melintasi kamar dimana Renya berada. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, Daru yakin wanita itu sedang berada di dalam sana.Daru mengetuk pintu itu, sedikit melongokkan kepalanya, dia mendapati Renya sedang duduk di sisi tempat tidur, sepertinya batu saja mendapatkan telepon dari seseorang.“Gimana, udah dapet yang kamu cari di Bali kemarin?” tanya Daru yang ikut duduk bersebelahan dengan Renya.Renya menggeleng. “Belum.”“Apa yang bisa aku bantu buat kamu?”Renya menghela nafa
Brak! Ella melemparkan sepuluh alat tes kehamilan ke lantai kamarnya, Ella lalu berjalan hilir mudik seperti orang kurang waras di kamarnya. Kenapa semuanya sama? Kenapa hasilnya positif? Kenapa ia harus hamil?! Brak! Saking frustrasinya Ella menendang alat tes kehamilan tersebut hingga berserakan di lantai. Pikirannya kalut, rasa cemas langsung merayapi dirinya membuat Ella tiba-tiba merasakan tubuh yang mengigil. Bukan ... bukan karena merasa kedinginan, ia menggigil karena merasakan rasa cemas yang benar-benar memporak porandakan hidupnya. “Bagaimana kalau ibu tahu?” tanya Ella pada dirinya sendiri sambil menggigiti kuku jempolnya terus menerus, seakan dengan menggerogoti kukunya itu membuat kehidupannya menjadi lebih baik lagi. Setelah kemarin ia mencek apakah dirinya hamil atau tidak, hari ini ia mencoba mencek kembali dengan membeli beberapa buah alat tes kehamilan, lima belas buah lebih tepatnya. Bahkan pemilik apotek sampai kebingungan
Pagi itu, Daru masih menutup matanya, jika saja suara ketukan di balik pintu kamarnya itu tidak mengganggunya mungkin dia akan meneruskan tidurnya hingga siang nanti. Oh ayolah, dia masih berada di Bali, tempat dimana semua orang menghabiskan waktu bersantai menghilangkan segala penat. Rasanya Daru adalah salah satu diantara mereka yang ingin sekali saja mengistirahatkan tubuh dan otaknya. Ketukan itu semakin keras, masih mengenakan celana boxer tanpa kaos di tubuhnya, Daru membuka pintu kamar itu. Renya nampak sudah rapih dengan tampilan yang begitu santai, celana jeans dan kaos ketat yang melekat ditubuhnya. Ya, mereka tidur berbeda kamar, setelah kejadian malam pertama mereka yang gila itu. “Ru, baru bangun?” tanyanya masuk ke dalam tanpa menghiraukan Daru. “Iya ... badan aku capek banget, Nya.” “Tapi kita kan udah janji mau datengin bengkel itu, jangan bilang kamu lupa.” “Aku gak lupa, Nya ... aku kira kita pergi nanti sekitar jam 10 dan s
Hai, Renata “Aku udah bilang kemarin. Kamu nggak percaya—jangan panik. Tenang dulu ya. Aku di luar kota. Nanti, nyampe Jakarta, aku jemput kamu ke rumah. Kita ngobrol di apartemen aja. Ada yang mau aku sampein.” Daru terdiam sejenak mendengar jawaban Ella di telepon. “Jangan susah tidur. Jangan terlalu dipikirin. Maaf … Iya, kalo mau nunggu di apartemen juga nggak apa-apa. Jangan nangis, ya … nanti kamu malah sakit.” Tak lama, Daru mengakhiri pembicaraan dan kembali menoleh pada bengkel kecil di mana Renya berada. Daru sudah menebak apa yang akan dikatakan Ella di telepon. Entah kenapa, itu memang tidak terlalu mengejutkan. Tapi perasaan kalut yang dirasakannya saat berada di Jakarta perlahan mulai reda. Renya sudah menemukan apa yang dicarinya selama ini. Renya memandang David dan Renata bergantian. Lalu ia menoleh ke belakang tempat
“Aku mau kita cerai, Daru.” Tangis Renya terdengar memilukan di telinga Daru, tangis seorang ibu yang haknya diambil hanya demi status sosial dan martabat keluarga. Hanya demi itu semuanya, Bramantya memorak-porandakan kehidupan anak satu-satunya dan Daru. Egois. “Nya, kamu yakin?” tanya Daru sambil berusaha menenangkan Renya yang menangis. Renya mencoba menghirup napas dalam-dalam, Daru memeluknya dengan erat memberikan rasa aman pada Renya. “Aku nggak tahu, Daru. Tapi, aku ingin mengurus dan mencintai anak aku.” “Nya.” “Aku nggak bisa kaya gini, aku mau urus malaikat kecil aku, Ru. Dia cantik, dia mirip aku.” Renya mencengkeram kemejanya berjuang untuk meredakan rasa sakit yang membalutnya dengan sempurna. Sakit yang ia dapat karena merasa gagal menjadi seorang ibu, ia merasa tidak mampu mengurus anaknya. Menelantarkannya. “Sabar, Renya ... kita nggak bisa bercerai begitu saja, kamu tahu kan, apa yang akan orang tua kamu lakukan kala
Siang menjelang sore Daru tiba di Jakarta, dia langsung menuju apartemennya untuk menemui Ella di sana. Entah Ella ada atau tidak, tapi setidaknya dia harus pergi kesana memeriksa apakah Ella tidak berbuat yang aneh-aneh pada anak yang ada di rahim gadis itu. Astaga, Ella hamil ... Ella hamil anak aku gumam Daru menangkup bibirnya. Melepaskan pandangannya keluar jendela taksi yang membawanya menuju pada Ella. Daru bergegas turun dari taksi, melangkah lebar memasuki unit apartemen miliknya, dia berharap Ella ada di sana, menunggunya datang. Akses pintu apartemen berbunyi, apartemen itu terlihat sepi saat Daru masuk ke dalam. Tidak dia dapati gadis itu di sana, Daru melangkah lagi menuju ke kamarnya, dia bisa bernafas lega saat melihat Ella meringkuk di atas tempat tidur. Daru ikut berbaring di sisi gadis itu, Daru pandangi wajah Ella, helaian rambut yang menutupi wajahnya, Daru sematkan ke balik telinga gadis itu. W
Renya hilir mudik di dalam kamar yang disiapkan Daru di rumahnya. Di tangannya tergenggam beberapa lembar kertas formulir pengajuan perceraian. Ia sedang bimbang. Haruskah ia mengurus perceraian itu sendiri? Atau ia memerlukan jasa pengacara? Bukan biaya yang menjadi masalahnya. Ia khawatir dikenali. Informasi simpang siur bakal mudah singgah ke telinga orangtuanya. TOK. TOK. TOK. Renya menoleh pintu kamar. “Masuk,” pintanya kemudian. Tak lama, pintu terbuka. Daru muncul masih dengan pakaiannya ke kantor. Renya melirik jam di atas nakas. Sudah pukul sepuluh malam, tapi sepertinya Daru baru tiba. “Kamu baru pulang?” tanya Renya. Daru mengangguk kemudian masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di ranjang. Renya menarik bangku kecil dari bawa meja rias. “Udah nemuin Bayu? Kamu harus biasain buat nanya dia ngapain aja seharian. Kasian,” kata Renya. “Aku baru nyampe. Dan aku