Ana baru saja selesai menyuapi ayah mertuanya, ia membersihkan kamar itu baru kemudian pergi untuk membersihkan dirinya. Meski Ana kesal dengan sikap Zidan, tapi ia masih berusaha bersabar dengan tetap mengurus ayah mertuanya.
Saat Ana baru keluar dari kamar mertuanya, Zidan juga baru saja masuk rumah. Ana tidak tersenyum atau menyapa, ia hanya mengeluarkan ekpresi datar.
Zidan menghampiri Ana, ia kemudian mengecup kening istrinya. Ana masih mengeluarkan ekspresi datar, ia tidak menyambut atau sekedar berbasa-basi mengucapkan sesuatu.
“Gimana kabar ayah?” tanya Zidan menatap Ana.
“Baik, kenapa tidak lihat saja sendiri?” Jawab dan tanya Ana.
Ana langsung berjalan meninggalkan Zidan, membuat pria itu sedikit merasa aneh. Zidan pun menyusul Ana yang ternyata masuk ke kamar. Istrinya itu langsung masuk ke kamar mandi sebelum Zidan menghampiri dirinya lagi.
Selama Ana mandi, Zidan tampak duduk di tepian ranjang. Ia menunggu Ana selesai untuk bisa berbincang dengannya. Meski Ana jarang bicara, tapi sikapnya hari ini membuat Zidan merasa berbeda.
Setengah jam berlalu, Ana keluar dengan rambut setengah basah. Ia tak menghampiri Zidan, Ana memilih langsung duduk di depan meja riasnya untuk mengeringkan rambut.
“Apa ada masalah? Apa Mikaila membuat masalah lagi?” tanya Zidan menebak.
Pria itu berdiri di samping dan menatap Ana yang terlihat cuek kepadanya.
“Mas, boleh aku minta sesuatu?” tanya Ana tanpa menjawab pertanyaan Zidan sebelumnya.
Ana sedikit mendongak agar bisa melihat wajah Zidan.
“Minta apa?”
“Aku ingin bekerja, aku bosan di rumah seperti ini setiap hari,” pintanya.
Zidan terkejut dengan permintaan Ana, ia memutar kursi Ana agar menghadap padanya, lantas Zidan berjongkok di hadapan istrinya itu, menatap seraya memegang kedua telapak tangan Ana.
“Kenapa? Kamu nggak usah kerja, An! Biar aku saja yang kerja,” jawab Zidan.
Ana kecewa mendengar jawaban suaminya, ia semakin merasa benar-benar hanya dimanfaatkan dengan sikap Zidan yang melarangnya bekerja. Ana melepas tangannya dari genggaman Zidan, ia kemudian berdiri membuat Zidan terkejut dan langsung ikut berdiri.
“Kenapa nggak boleh kerja? Biar kamu bisa terus memintaku mengurus ayah dan kedua adikmu? Aku juga punya dunia sendiri, aku tidak mau jika terus-menerus hanya mengurus mereka seperti pembantu!”
Ana terlihat benar-benar emosi sekarang, ini adalah pertama kalinya Ana meluapkan amarah yang biasanya terus ia tahan.
“Bukan gitu juga, An! kamu salah paham. Bekerja itu kewajiban seorang suami, jadi kamu juga harus melaksanakan kewajibanmu dengan cara tetap mengurus keluarga tanpa bekerja,” jelas Zidan yang tidak peka dengan kondisi yang dialami Ana.
Ana mendesau kasar, ia mengguyar rambutnya. Kini ia benar-benar frustrasi menghadapi sikap Zidan yang tidak mengerti dirinya.
“Kewajiban? Mas bilang kewajiban? Lalu bagaimana dengan hakku? Apa Mas Zidan pernah memikirkan itu?” Ana berteriak dengan keras saat melontarkan pertanyaan itu membuat Zidan terkesiap karena tidak menyangka jika Ana bisa semarah itu.
“Ah, sudahlah! Aku ingin sendiri!” Ana keluar dari kamar dan membanting pintu, meninggalkan Zidan yang termangu tidak bisa menjawab pertanyaannya.
-
Di sisi lain, Arga dan teman-temannya masih terus berjuang mempertahankan pekerjaan mereka. Namun, kini Arga dan band-nya tidak hanya mengisi acara di kafe-kafe, mereka beberapa kali mengisi acara di luar kota. Seperti hari ini, mereka baru saja mengisi acara di sebuah kafe, penampilan mereka begitu memukau dan mampu menghipnotis para pendengar yang menikmati live musik, mereka pun mengundang perhatian seorang produser sebuah perusahaan musik di kota itu.
Produser wanita itu sebenarnya baru saja menemui seseorang di sebuah kafe di mana Arga dan band-nya melakukan live musik. Wanita itu tampak menikmati pertunjukan Arga hingga merasa jika band pemuda itu layak masuk dapur rekaman.
Wanita itu berjalan menghampiri meja Arga dan teman-temannya beristirahat.
“Hai! Pertunjukan kalian sangat bagus dan menarik,” ucap wanita itu langsung.
Arga dan teman-temannya langsung menoleh pada wanita tadi, mereka lantas mengulas senyum merasa senang karena ada penikmat musik yang memuji penampilan mereka.
“Terima kasih,” ucap Arga sebagai pentolan band.
“Oh ya, perkenalkan! Saya Lanie, produser di sebuah label musik.” Wanita itu memperkenalkan diri, ia mengulurkan tangan ke arah Arga.
Arga dan teman-temannya terkejut tidak percaya jika mereka bisa bertemu dengan seorang produser. Mereka saling tatap dengan wajah penuh kebahagiaan, sedangkan Arga langsung menjabat tangan wanita benama Lanie itu dan memperkenalkan dirinya.
“Saya Arga,” balas Arga.
Pemuda itu lantas memperkenalkan teman-temannya satu persatu, hingga akhirnya Arga dan yang lainnya berbincang dengan Lanie sebelum mereka melakukan live musik lagi.
_
_
_
_
Satu tahun kemudian
Tak terasa Ana sudah menyandang status istri Zidan selama satu tahun lamanya. Meski begitu, Ana masih merasa hidupnya hampa, ruang kosong di hatinya belum juga terisi. Meski begitu, Ana masih melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, mengurus ayah mertua, adik juga rumah.
Selama satu tahun ini, Ana juga selalu bersabar menghadapi Mikaila, gadis itu semakin semena-mena karena Ana terus diam dan enggan membalas.
Pagi itu wajah Ana terlihat pucat, begitu bangun dari tempat tidur Ana langsung berlari ke kamar mandi. Istri Zidan itu merasa mual dan muntah, suaranya terdengar sampai ke telinga Zidan yang masih terlelap.
Zidan langsung bangun dari tempat tidur, ia terkejut karena Ana terus muntah-muntah, hingga akhirnya pria itu menyusul ke kamar mandi dan mendapati Ana yang sedang memuntahkan isi perutnya.
“Kamu kenapa, An?” tanya Zidan seraya menekan tengkuk Ana, memijatnya perlahan agar Ana bisa cepat menumpahkan semua isi perutnya.
“Nggak tahu, kepalaku pusing,” jawab Ana, ia mengusap permukaan bibir dengan punggung tangan.
Ana membasuh wajahnya, ia kemudian terlihat memijat kepala karena merasa matanya berkunang dengan pandangan yang kabur.
“Ayo keluar!”
Zidan menuntun Ana karena wanita itu terlihat begitu lemas dengan wajah yang semakin pucat.
Begitu Ana duduk di tepian ranjang, Zidan mengusapkan minyak kayu putih ke leher Ana agar istrinya merasa sedikit hangat.
“Bagaimana perasaanmu?” tanya Zidan menatap Ana yang menundukkan kepala dengan tangan memegangi kepala.
“Rasanya pusing, Mas! Semalam tidak apa-apa, tapi pas bangun tadi langsung merasa mual dan pengen muntah terus,” jawab Ana dengan suara lemah.
Zidan sedikit terkejut, terlihat jelas air muka penuh kecemasan di wajah pria itu, seakan ada sesuatu yang membuatnya takut.
“Kita ke dokter, An!” ajak Zidan.
Pria itu langsung mengambil jaketnya dan milik Ana yang tergantung di kamar ganti, Zidan memakaikan jaket Ana dan langsung mengajaknya berdiri.
“Ke-kenapa, Mas?” tanya Ana tergagap karena bingung.
“Kita periksa ke dokter dulu untuk mengetahui kondisi tubuhmu,” jawab Zidan langsung menuntun paksa Ana.
Ana kebingungan, kenapa Zidan terlihat begitu cemas. Ana hanya merasa kalau dirinya tidak enak badan saja tapi kenapa Zidan bisa sepanik itu?
“Apa mas Zidan mencemaskan 'ku?” tanya Ana dalam hati.
Mereka keluar dari kamar, Alisya yang melihat kakaknya begitu cemas dengan menggandeng Ana pun memberanikan diri untuk bertanya.“Kak, mau ke mana?” tanya Alisya.“Ke dokter! Kamu sarapan dan pergi ke sekolah dulu, jangan menungguku!” perintah Zidan tanpa menoleh pada Alisya.Alisya hanya mengangguk mengerti, ia cemas kenapa kakaknya terlihat panik, berpikir apakah terjadi sesuatu dengan kakak iparnya.--Mereka sudah sampai di rumah praktek seorang dokter, meski di sana tertulis jika dokter buka pukul sembilan pagi, Zidan memaksa agar dokter itu mau memeriksa keadaan Ana terutama kandungannya.“Aditya mengatakan jika Ana pernah mengalami sakit yang membuat dirinya mengalami masalah dalam rahimnya yang mengakibatkan Ana kemungkinan besar tidak bisa hamil. Tapi, sekarang apa? Dia tidak hamil, 'kan?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.Zidan
Zidan terkejut dengan pertanyaan Ana, ia langsung berdiri begitu melihat istrinya itu.“Apa kamu mendengar semuanya?” tanya Zidan balik.Ana mendesah pelan, ia benar-benar tidak mengerti kenapa pria itu sampai melakukan semua ini. Hampir saja ia merasakan suatu perasaan spesial pada suaminya itu, akan tetapi semuanya kini menguar entah ke mana.“Tenang saja Mas! Aku juga tidak ingin punya anak dari Mas Zidan!” sarkas Ana yang sangat kecewa dengan sikap suaminya.Ana juga meninggalkan Zidan, wanita itu memilih menyusul Alisya karena tahu jika gadis itu pasti sakit hati karena dianggap sebagai penyebab kematian ibunya.Saat masuk ke kamar Alisya, Ana bisa melihat gadis itu tengkurap di atas tempat tidur. Alisya menangis karena perkataan Zidan.“Sya!” panggil Ana.Ana duduk di tepian ranjang Alisya, ia mengusap lembut surau panjang adik iparnya itu.
Zidan kembali ke rumah saat sore hari. Tidak mendapati Ana di lantai satu, Ia menebak jika istrinya berada di kamar.“Apa Ana di kamarnya, Bi?” tanya Zidan pada pembantu rumahnya.“Iya, tapi itu Mas, tadi sepulang belanja mbak Ana kelihatan marah, dia kasih barang belanjaan terus langsung ke kamar,” jawab pembantu Zidan.“Marah?” Zidan bertanya-tanya dalam hati.“Oh, terima kasih Bi!”Zidan langsung naik menuju kamar, untuk melihat keadaan Ana apakah sesuai dengan apa yang dikatakan pembantunya.Zidan mendapati Ana berbaring dengan posisi miring, wanita itu tampak memeluk guling dan memunggungi pintu. Zidan pun berjalan mendekat, ia lantas duduk di tepian ranjang tepat di hadapan Ana.Mengetahui jika itu Zidan, Ana memutar tubuhnya, ia kini menghadap ke arah pintu.“An, ada apa? Ada masalah?” tanya Zidan dengan nada suara lemah lembut.
“Bagus sekali!”Suara pujian dan tepuk tangan dari tim yang mengurus rekaman Band Arga terdengar menggema di ruangan khusus itu, mereka merasa senang karena rekaman band Arga sangat lancar serta tidak memakan banyak waktu karena Arga dan band-nya sangat profesional. Album pertama mereka sudah dirilis dan terjual hampir jutaan copy dalam sebulan.Arga dan teman-temannya merasa bahagia karena mereka akhirnya bisa melangkah sejauh ini, perjuangan mereka selama bertahun-tahun tidaklah terbuang sia-sia.“Ayo kita rayakan!” ajak Lanie.“Mungkin aku akan istirahat dulu,” tolak Arga halus.“Iya, kami sedikit lelah. Kita rayakan esok saja!” timpal salah satu teman Arga yang sudah terlihat menguap.Salah satu dari mereka juga terlihat mengusap tengkuk dan lengan mereka.Lanie menghela napas pelan, kemudian ia mengulas senyum dan mencoba mengerti kondisi band yang bernaung pad
Sesaat sebelumnya, Zidan sedang bekerja tapi pikirannya tidak bisa fokus karena masalahnya dengan Ana. Ia merasa butuh menjelaskan kesalah pahaman antara dirinya dengan Ana agar tidak berlarut-larut yang mengakibatkan renggangnya hubungan mereka, atau sebenarnya agar tidak memperburuk hubungan mereka yang sudah tidak harmonis.Ponsel Zidan yang berada di atas meja berderit, membuyarkan lamunannya tentang Ana. Zidan menengok dan melihat siapa yang menghubungi dirinya.“Rumah?” Zidan mengernyitkan dahi.“Halo.” Zidan menjawab panggilan itu.Pria itu tampak panik ketika mendengar pembantu rumahnya bicara, ia lantas menjawab ‘oke’ lalu segera memutus panggilan itu dan berdiri kemudia bergegas meninggalkan kantornya.Pembantu Zidan menghubungi majikannya itu sesaat setelah Ana keluar, ia tahu jika mantan kekasih majikanya begitu keras kepala dan nekat, karena itu ia segera menghubungi Zidan agar segera p
Malam itu Lanie mengajak Arga keluar, awalnya pemuda itu menolak karena ia takut jika ada penggemarnya yang melihat meski dirinya sudah memakai masker.“Lan, kenapa mengajakku ke tempat umum?” tanya Arga seraya mengamati sekeliling karena takut jika ada yang melihat mereka.Lanie tersenyum, ia tahu kekhawatiran Arga. Sebagai wajah baru idol di dunia hiburan, pastinya akan banyak fans juga hatters yang mengintai dirinya, karena itu pemuda itu terlihat cemas jika diajak ke tempat umum.“Tenang saja, aku sudah mengamankan sekeliling. Bahkan aku meminta pemilik resto untuk menutup sementara agar kita bisa makan dengan tenang,” jawab Lanie santai.“Begitu ya!” Arga memastikan.Ia kembali mengedarkan pandangan, Arga memang tidak melihat satu pengunjung pun yang masuk ke restoran itu. Hingga akhirnya Arga berani melepas masker yang ia kenakan.Lanie sudah memesan beberapa menu makanan untu
“Terima kasih,” ucap Ana sekali lagi kepada pihak HRD studio musik tempatnya melamar.Akhirnya Ana diterima bekerja di sana sebagai seorang staf keuangan, karena Ana sudah memiliki pengalaman bekerja di bidang yang sama sebelumnya, juga riwayat pekerjaannya yang bagus, membuat dia mudah masuk ke sana.Ana keluar dari ruang HRD dengan perasaan lega, kejenuhannya selama ini akhirnya bisa sedikit terobati. Ia pun pergi meninggalkan gedung yang akan menjadi tempatnya bekerja mulai besok untuk pulang.--“Bagaimana tadi?” tanya Zidan saat mereka makan malam bersama.“Lancar, aku besok sudah bisa bekerja,” jawab Ana dengan sedikit senyum.“Wah, selamat ya, Kak!” Alisya memberi selamat.Ana mengulas senyum tipis, ia fokus dengan makanannya. Zidan tampak melirik Ana, sebenarnya ia masih tidak sepenuhnya ikhlas melepaskan Ana bekerja, hanya saja saat Ana me
Ana yang baru saja membuat kopi di pantry kantornya terlihat penasaran mendapati semua teman-temannya tengah berkerumun memandang ke arah luar. Ana menoleh mendapati sebuah mobil van mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan pintu kantor.“Ada apa sih?” Wanita berumur dua puluh tujuh tahun itu tampak ikut penasaran dan menyembulkan kepalanya diantara kerumuman teman-temannya.“Arga and the band,” jawab seorang temannya.Ana sudah mendengar tentang nama band itu, bahkan Alisya beberapa kali menyanyikan lagunya di rumah. Namun, yang Ana tidak tahu, Arga yang dimaksud adalah Arga mantan kekasihnya. Gadis itu menggigit ujung cangkir kopinya, menunggu anggota band itu turun dari mobil.Senyum Ana seketika hilang, tangannya bergetar mendapati Arga sang mantan kekasih berjalan masuk ke dalam.“Ar-Arga … “Mencoba menyembunyikan rasa syoknya, Ana memilih berlalu untuk kembali ke ruangann