Dua hari setelah pergi dari rumah, Ana tidak tinggal di apartemen Arga dan memilih mencari apartemen lain, itu karena Ana tidak mau Zidan menemukannya di sana. Bahkan urusan kafe diserahkan pada pegawai kepercayaannya, tahu jika pastinya Zidan akan terus mencari keberadaannya,
Hari itu Ana sudah selesai bersiap, hendak pergi menemui pengacara yang akan mengurus masalah perceraian dirinya dengan Zidan. Ponsel Ana terus berderit, nama Arga terpampang di layar ponsel.
"Halo, Ga!"
"An, kamu sudah mau berangkat?" tanya Arga dari seberang panggilan.
"Iya, ini baru selesai bersiap," jawab Ana.
"Kamu yakin aku tidak perlu ikut?" tanya Arga lagi.
"Iya Ga, kamu tidak perlu ikut campur, akan aku pastikan semua berjalan lancar," jawab Ana meyakinkan.
Ana hanya berpikir kalau Arga ikut maka hubungan gelap antara dirinya dan pria itu akan terbong
Dio menatap Alisya yang tidak terlihat bersemangat, lantas mendorong gelas berisi jus yang berada di atas meja. Pria itu mengajak Alisya ke kafe untuk mendengar keluh kesah gadis itu."Minum dulu!"Alisya mengangguk lantas meminum jus yang sudah dipesan, dalam keadaan seperti ini Alisya memang tidak memiliki seseorang untuk berbagi cerita."Ada masalah dengan kuliahmu? Kalau butuh teman curhat, aku ada waktu untuk mendengarkan," ucap Dio menawarkan diri.Alisya mencoba tersenyum, kemudian menggelengkan kepala pelan."Tidak ada kok, hanya masalah pribadi. Tapi tidak masalah," ujar Alisya. "Terima kasih Kakak sudah mengajakku," ucap Alisya kemudian."Tidak masalah, aku juga sedang banyak waktu luang," timpal Dio.Mereka pun mengobrol biasa, lagi pula tidak mungkin bagi Alisya mengatakan tentang masalahnya, terlebih itu menyangkut tent
Beberapa hari kemudian.Arga berjalan masuk menuju lift untuk naik ke lantai tempat ruang lantihan berada. Hingga seseorang menahan pintu agar tidak tertutup, Arga pun membantu membuka dan melihat siapa yang bersiap masuk ke sana.Arga sedikit terkejut dengan siapa yang dilihatnya, tapi tetap berusaha bersikap biasa. Alisya yang berdiri dan hendak masuk lift ikut terkejut, gadis itu sedikit membungkuk memberi hormat pada Arga, lantas masuk ke lift.Arga dan Alisya sama-sama diam. Arga tahu kalau Alisya adalah adik ipar Ana, dan Alisya sadar kalau Arga adalah selingkuhan kakak iparnya, sehingga kini membuat keduanya merasa canggung satu sama lainnya."Kakak tampan, memiliki suara yang bagus, dan pastinya banyak gadis yang suka," kata Alisya tiba-tiba.Arga yang merasa kalau Alisya tengah membicarakan dirinya pun menoleh dan tersenyum canggung, lantas berucap, "Terima kasih."
Alisya pulang ke rumah pada sore hari, ketika masuk bisa merasakan aura dingin dan sepi menyelimuti rumah itu. Pembantu Zidan langsung menghampiri Alisya, mengungkapkan kekhawatiran ketika melihat Zidan pulang."Mbak, apa terjadi sesuatu?" tanya pembantu.Alisya sedikit bingung dengan pertanyaan pembantu rumah tangganya, mengernyitkan dahi sebelum pada akhirnya bertanya balik, "Memangnya terjadi apa, Bi?"Pembantu itu menatap ke arah lantai dua, kemudian kembali menatap kepada Alisya yang masih kebingungan."Mas Zidan, tadi pulang dengan wajah pucat dan tidak bersemangat. Apa sakit lagi? Aku sedikit khawatir Mbak!" ujar pembantu itu.Alisya melihat ke atas, kemudian menghela napas berat. "Mungkin terjadi sesuatu, Bi! Aku juga tidak bisa apa-apa."Alisya tersenyum masam, hingga pada akhirnya memilih berjalan menaiki anak tangga untuk melihat keadaan Zidan, tak
"An!"Arga seakan tidak terima dengan perkataan Ana, sedangkan Ana hanya berpikir untuk tidak membebani dan menghancurkan impian Arga dan yang lainnya."Kenapa? Kamu tidak ingin menikah denganku?" tanya Arga dengan nada sedikit kecewa."Bukan begitu, Ga! Hanya saja mungkin kita tidak perlu terburu-buru," jawab Ana yang terlihat takut ketika melihat Arga yang seakan marah.Melihat Ana yang menundukkan kepala, membuat Arga sadar kalau wanita itu tengah takut padanya. Arga meraih tangan Ana, menggenggam telapak tangan itu penuh kehangatan."Katakan padaku! Apa ada masalah? Atau kamu punya alasan lain? Jika kamu tidak mau bicara, maka aku tidak akan pernah bisa mengerti," ujar Arga.Ana terlihat bingung, sampai memalingkan wajah sekilas sebelum pada akhirnya kembali menatap Arga."Kariermu begitu cerah, impian yang selalu didamba baru saja ka
Arga mengajak Ana pergi ke tempat ibunya, tahu kalau hanya ibunya yang bisa menenangkan hati Ana ketika sedang sedih. Arga tidak tega melihat Ana yang terus menangis di sepanjang perjalanan mereka."Kenapa ke sini, Ga?" tanya Ana ketika mobil Arga sampa di depan toko kue milih ibunya."Makan kue ibu, biar mood kamu membaik," jawab Arga dengan seutas senyum.Ana sebenarnya enggan turun, takut kalau wanita yang sudah melahirkan Arga itu melihat dirinya habis menangis. Tapi karena Arga terus memaksa, membuat Ana akhirnya ikut masuk ke dalam."Bu!" panggil Arga yang kemudian langsung mengecup sisi wajah ibunya.Wanita itu sedang sibuk membuat adonan, sehingga ketika Arga datang membuatnya sedikit terkejut."Hmm ... kamu ini kalau nggak ngagetin ibu emang tidak bisa, hah!" Ibu Arga tertawa gemas mengetahui kelakukan Arga."Tidak, aku malah suk
Lanie pergi ke panti asuhan tempat dirinya dan sang adik dulu tinggal. Sekali lagi mencoba mencari tahu tentang siapa yang mengadopsi adiknya. Meski dirinya sudah pernah datang dan tidak mendapat apa pun, tapi Lanie tidak ingin berputus asa."Maaf, kami benar-benar tidak bisa memberikan data tentang keluarga pengadopsi. Sekali lagi maaf, karena ini sudah menjadi prosedur kalau kami akan menjaga rahasia." Sekali lagi Lanie mendapatkan penolakan."Tapi saya benar-benar ingin bertemu dengan adik saya," ucap Lanie memelas."Maaf, kami tidak bisa," tolak pengurus panti.Lanie harus kembali menelan kekecewaan, pulang dengan tangan hampa. Keinginan untuk bisa bertemu kembali dengan keluarga satu-satunya, mungkin harus dikubur dalam-dalam.---Alisya tengah duduk di kafe tempat dirinya sering bertemu dengan Dio, bahkan ruangannya pun sama. Siang itu D
Lanie duduk termangu setelah melihat acara pernikahan Arga dan Ana. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat Lanie memikirkan sesuatu. "Tanda itu, kenapa begitu sangat mirip?"Saat Lanie sedang memikirkan apa yang dilihatnya, Samuel datang membawa minuman untuk Lanie."Minum dulu, kamu dari tadi tampak melamun!" Samuel duduk di samping Lanie."Terima kasih," ucap Lanie seraya mengambil gelas yang disodorkan oleh Samuel."Apa kamu masih tidak setuju dengan pernikahan mereka?" tanya Samuel menyelidik, masih merasa kalau Lanie tidak senang.Lanie tersenyum masam, tidak ada yang tahu kalau dirinya menyukai Arga. Tapi, bukan itu alasan Lanie bersikap seperti sekarang, ada hal lain yang benar-benar mengganjal di hatinya."Bukan," sanggah Lanie. "Itu urusan mereka, aku juga tidak punya hak untuk melarang atau mengatur. Hanya saja aku merasa baru melihat sesuatu yang
Sulur sang surya mulai merambat masuk, melewati celah jendela mengusik jiwa yang tengah tertidur lelap. Cahaya mulai menyilaukan, melambai hendak mengajak setiap insan yang masih berada di dalam mimpi untuk bangun bersamanya.Arga menggerakkan kelopak mata, mencoba membuka mata dengan perlahan, hingga akhirnya kelopak mata terbuka sempurna. Arga langsung bangun ketika mendapati sisi ranjangnya kosong, duduk seraya mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan."An!" Arga memanggil nama Ana.Arga bergegas bangun, takut jika apa yang terjadi semalam hanyalah sebuah mimpi belaka. Hingga ia berhenti mengangsurkan kaki ketika melihat pintu kamar terbuka.Ana masuk dengan cangkir di tangan, melihat Arga yang sudah bangun membuat Ana langsung mengulas senyum. Arga menghela napas lega ketika melihat Ana, sempat merasa takut kalau Ana tidak benar-benar bersamanya."Sudah bangun," ucap Ana sera