Share

Bab 7. Bujukin Sang Putri

Menjadi anak perempuan satu-satunya, membuat Raika memiliki privilege tersendiri di rumah. Terutama keistimewaan yang sering ia dapatkan dari ketiga kakaknya. Entah dalam bentuk materi, kasih sayang, ataupun perhatian.

Jika Raika ingin membeli sesuatu, gadis itu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kakak-kakaknya akan dengan sukarela membelikan apapun itu. Selama masih bisa mereka sanggupi dan bukan hal membahayakan.

Raika tidak lagi minta dibelikan sesuatu sejak bekerja. Apalagi meminta hadiah dari ketiga kakaknya. Namun, ketiganya masih saja membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan gadis itu. Membuat Raika tidak enak untuk menolak apalagi mengembalikannya.

“Uang punya Adek ditabung aja atau beli sesuatu yang memang Adek pengen. Untuk hal lain Adek minta aja ke Kakak. Kan kakak kerja juga untuk Adek.” Kalimat mengharukan Rasya itu membuat Raika trenyuh sekaligus merasa bersalah.

“Nggak gitu juga dong, Kak. Kan kakak juga pasti punya keperluan sendiri. Ingin beli ini itu pake uang sendiri. Aku masih bisa beli sesuatu pake uang sendiri, Kak. Aku nggak mau ngerepotin Kak Rasya, Kak Raihan, dan Kak Rama lagi. Aku udah gede. Malu,” tutur Raika panjang lebar.

“Kita mah banyak uangnya, Dek. Kamu nggak usah khawatir,” ujar si Raihan Dwi Wiharja ini menyombongkan diri.

“Iya, iya, aku percaya.” Tentu saja Raika berpura-pura mempercayainya.

“Tapi muka kamu nggak bilang gitu. Kasih tahu sama adek kita, Ram. Berapa jumlah tabungan kita.” Raihan menoleh pada Rama masih menyombongkan diri.

“Uh, berjeti-jeti, deh pokoknya. Kalau Adek lihat, pasti bakal bingung lihat angkanya,” ucap Rama tak kalah berlebihan.

“Iya, bingung karena angkanya pada nggak ada,” sahut Raihan mendapat high five dari Rama dan keduanya tertawa bersama.

“Apa sih, ih? Kalian nggak jelas banget.” Raika ikut tertawa mendengar lelucon garing kedua kakaknya. Rasya pun ikut tertawa.

Dan kebiasaan membelikan adik mereka hadiah tidak akan pernah berhenti. Apalagi jika keadaan menuntut mereka membeli hadiah untuk adik mereka yang sedang marah. Tentu saja hal itu wajib menjadi senjata andalan mereka untuk mendapatkan maaf dari Raika.

***

Raika masih terdiam. Dihadapannya, tepatnya dua meter dari gadis itu berdiri, ada ketiga kakaknya yang berdiri gagah dan masing-masing menggenggam sesuatu di tangan mereka dengan senyum semanis madu untuk Raika.

Dalam hati Raika mendengus geli ketika melihat ketiga kakaknya begitu niat untuk membujuknya yang sedang kesal. Kenapa Raika bisa bilang ketiga kakaknya ini sangat niat? Mari kita bedah satu-persatu.

Di sisi kanan ada Rama yang menggenggam buket bunga. Di tengah ada Rasya yang memegang boneka beruang besar berwarna coklat. Sementara di sisi kiri ada Raihan yang memangku satu keranjang makanan berisi beberapa ayam goreng tepung ternama kesukaan Raika.

See? Ketiga kakaknya ini memang romantis dan Raika yakin siapa pun yang menjadi pasangan mereka nanti akan bahagia. Tingkah mereka yang kadang sulit ditebak, membuat Raika sering terkejut sekaligus bahagia memiliki tiga kakak yang menyayanginya. Kecuali janji konyol mereka tentu saja.

"Hai, Dek," sapa lelaki bernama lengkap Rama Tria Wiharja ini memecah keheningan seraya menampilkan senyumnya.

Raika hanya mengangkat kedua alisnya pada Rama.

Oke, sepertinya tidak akan mudah membujuk adik mereka jika respon yang didapat hanya gerakan angkat alis Raika.

Kini Raihan berdeham untuk meredakan suasana canggung.

"Kita mau minta maaf sama kamu, Dek."

Sekarang Raika melipat kedua tangannya di depan dada. Sebenarnya Raika sudah tidak marah lagi, tapi ia akan tetap mempertahankan posisi ini untuk menunjukkan marah pura-puranya. Sekalian saja ia jahili ketiga kakaknya supaya kapok.

"Yakin minta maaf? Yakin nggak akan kayak gitu lagi?” tanya Raika sedikit sinis padahal dalam hatinya berusaha keras menahan tawa.

"Dek, udah dong, jangan marah gitu. Kita minta maaf, beneran deh. Dan kita janji nggak akan begitu lagi sama Adek." kini Rasya mengeluarkan suara yang sedikit memelas.

Ucapan Rasya barusan diangguki oleh Raihan dan Rama dengan tempo cepat. Membuat Raika berasumsi leher keduanya bisa saja lepas jika mengangguk secepat itu. Raika menghela napasnya kemudian matanya tertuju pada benda-benda yang ada di tangan ketiga kakaknya.

***

Dengan memicingkan matanya Raika menatap curiga benda-benda yang dipegang oleh ketiga kakaknya. "Terus itu apa maksudnya?" tanya Raika seraya menunjuk benda-benda tersebut dengan dagunya.

Ketiganya langsung menyengir kuda dan menghampiri Raika lalu menyodorkan ketiga benda tersebut padanya.

"Untuk Adek," ucap Rama dengan senyum manisnya.

"Untuk aku?" ketiganya langsung mengangguk. "Nyogok gitu ceritanya?" tuding Raika.

"Ey, bukan dong, kita bukan nyogok Adek. Ini cuma wujud permintaan maaf kita untuk kamu," kilah Raihan walau sebenarnya makna yang tersirat tidak beda jauh.

Raika menatap ketiga kakaknya bergantian. Wajah ketiganya tampak memelas dan berharap dimaafkan olehnya. Kejadian tadi pagi itu memang bukan hal besar, tapi yang membuat Raika kesal ketiganya ini seperti tidak risih. Sikap mereka layaknya bukan seperti orang dewasa.

"Yakin nggak akan ulangin lagi kayak tadi?” pertanyaan gadis itu mendapat anggukan dari ketiganya. “Jujur aku tuh risih. Kita ini udah pada dewasa, Kak. Aku emang adik kalian, tapi aku kan perempuan dewasa. Bukan lagi anak umur enam tahun yang suka dicium-cium begitu," tutur Raika panjang lebar menasehati ketiganya yang menundukkan kepala.

Maaf, Dek," seru ketiganya serempak.

Bahkan si sulung yang sering melarang Raika ini itu menjadi ciut jika melihat Raika versi marah dan menjadi penasihat dadakan. Sikap tegas dan kerasnya hilang begitu saja, menguap ke udara.

Raika kembali menghela napas.

"Ya udah, aku maafin." Seketika ucapan Raika tersebut membuat wajah ketiganya berbinar. "Tapi janji ya, nggak akan diulangi lagi?"

Ketiganya mengangguk dan langsung menghampiri Raika kemudian memeluknya. Kini mereka terlihat seperti teletubies yang sedang berpelukan dan tubuh Raika seperti ditelan karena tertutup oleh badan besar ketiga kakaknya.

Shinta yang sedari tadi memperhatikan dari pintu kamarnya hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Meski anak bungsu, Raika bukanlah anak manja dan cengeng hanya karena memiliki ketiga kakak laki-laki yang memanjakannya. Malah terkadang Raika memiliki pemikiran yang lebih dewasa dibanding ketiganya. Seperti kejadian barusan yang bisa membuat ketiganya bungkam.

"Udah ah, pelukannya. Sesak nih," protes Raika dengan menggeliatkan badannya.

Mereka pun menguraikan pelukan sambil tersenyum satu sama lain. Rasa lega menghampiri ketiga anak laki-laki keluarga Wiharja tersebut karena sang adik sudah memaafkan mereka.

"Nah, kalau gitu, ini Kakak kasih untuk Adek." Rasya menyodorkan boneka beruang besar pada Raika yang langsung dipeluk oleh Raika.

"Bonekanya hampir segede kamu, Dek," sindir Raihan pada Raika yang dibalas lirikan tajam oleh adiknya. "Ahaha, ngambek lagi. Jadi, ayamnya nggak mau nih?"

"Ih, ya mau dong." Gadis itu mencebik, tidak rela ayam gorengnya hilang.

"Terus ini bunga dari kakak gimana?" tanya Rama sambil mengangkat buket bunganya.

"Nanti Adek masukin ke vas bunga. Makasih, ya, Kak," ujar Raika dengan senyum tiga jarinya.

"Sama-sama.”

"Kamu lapar, Dek?" tanya Rasya sambil merangkul Raika yang masih memeluk boneka.

Raika mengangguk.

"Kakak bikin makaroni schotel tadi, Adek mau?"

Senyum cerah menghiasi wajah Raika. "Mau dong. Mana bisa aku nolak makanan buatan Kakak. Oh iya, sama ayam gorengnya, ya."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status