Alana menyeka kedua tangannya yang kini mulai berkeringat. Dia bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk, apa pun itu.
Mereka masuk ke dalam rumah yang terasa sejuk. Gadis itu menatap sekeliling ruangan yang terlihat bersih dan berkilau. Tidak ada setitik pun debu di sana.
Dia memandangi patulan dirinya di sebuah lemari pajang berisi hiasan kristal. Bayangan dirinya terlihat sangat lusuh dan berantakan. Tiba-tiba dia merasa sangat kotor berada dalam ruangan yang begitu bersih itu.
“Sherly ... Kami sudah pulang,” Steve berteriak memanggil istrinya.
Alana semakin gugup. Menantikan wanita asing yang adalah istri ayahnya, ibu tirinya. Seperti apakah dia? Akankah wanita itu membencinya?
“Kalian sudah pulang?”
Alana menoleh dan menatap wanita itu dari seberang ruangan.
“Lana ... ” Alana mendapati seorang wanita cantik berdiri di hadapannya. Dia menghambur dan memeluk Alana dengan erat.
“Senang sekali akhirnya bisa bertemu kamu,” wanita itu menagkup wajah Alana dan mengecup kedua pipinya. Dia bahkan tidak merasa risi dengan penampilan Alana yang kacau dan berantakan.
Alana hanya tertegun dengan semua yang terjadi. “Ini Sherly, istri Papa.” Steve memperkenalkan mereka.
Gadis itu mengamati wanita yang masih berdiri di hadapannya sambil menggenggam kedua tangannya. Sepertinya dia sedikit lebih muda dari Claudia dan masih terlihat cantik untuk wanita seusianya.
Rambutnya diwarna coklat entah untuk fashion atau untuk menutupi uban yang mulai muncul. Dia memakai sebuah gaun rumah kelabu sederhana.
Wanita itu benar-benar jauh dari bayangan Alana. Tidak ada kesan ibu tiri yang jahat dan kejam dari dirinya.
Seulas senyum tulus dan ramah selalu tersungging di wajah wanita itu. Dan sepasang tangan yang menggenggam Alana terasa begitu hangat.
Gadis itu mencoba mencari kepura-puraan dari sambutan ramah tersebut, yang sama sekali tidak dia temukan. Mungkinkah wanita di hadapannya ini benar-benar tulus? Batinnya.
Alana diantarkan ke sebuah kamar yang luas di lantai dua. Sebuah kamar yang hangat dan nyaman dengan sebuah tempat tidur besar dan beberapa perabot lainnya.
Dia bahkan memiliki kamar mandi pribadi di kamar itu. Dan dia mendapati beberapa baju di dalam lemari, baju wanita yang masih baru dan memiliki label.
“Tante tidak tahu baju seperti apa yang kamu suka. Kemarin Tante beli beberapa untuk berjaga-jaga seandainya kamu butuh baju tambahan. Dan Tante tahu sekarang bahwa itu keputusan yang tepat,” Sherly menjelaskan.
“Terimakasih, Tante.”
“Kamu mandi dulu, ya. Tante akan siapkan sarapan. Tante akan panggil kamu saat sarapan sudah siap,” Sherly keluar dan membiarkan Alana sendirian di kamar. “Kalau butuh apa-apa, panggil saja kami.”
Gadis itu mengangguk sambil tersenyum letih.
Alana mengagumi keseluruhan ruangan dan mengamati detail ruangan yang sempat terlewatkan. Telapak kakinya merasakan tekstur marmer yang halus dan dingin. Temboknya berwarna krem lembut. Sedangkan langit-langitnya tinggi sehingga memberikan kesan lapang pada ruangan. Dan di sudut terdapat sebuah pintu yang mengarah ke ruangan lain.
Dengan perlahan Alana membuka pintu kayu tebal bercat putih itu dan mendapati sebuah kamar mandi. Cukup nyaman meski tidak terlalu luas. Terdapat wastafel, kloset duduk, dan juga bilik shower, semuanya dalam nuansa putih.
Dan semua perlengkapan mandi baru sudah disiapkan di samping wastafel. Dia bahkan mendapati sebuah vas berisi beberapa tangkai mawar putih dan sebuah bathrobe serta handuk putih di gantungan. Seakan semua sudah disiapkan dengan seksama.
Alana memutuskan untuk mandi sebelum turun ke bawah dan menemui Ayah serta keluarga barunya. Setidaknya dia harus berpenampilan layak sebelum bertemu mereka.
Mandi air hangat dan mendapat baju bersih menjadi suatu kemewahan bagi Alana setelah aksi pelariannya. Sherly bahkan begitu perhatian dengan menyiapkan sebuah hairdryer di meja riasnya sehingga Alana bisa langsung mengeringkan rambut setelah selesai keramas.
Badannya begitu lelah sehingga Alana berniat berbaring sebentar. Sarung bantal dan sprei beraroma harum deterjen. Suasana begitu hening dan tenang seakan menghipnotis. Alana merasakan kepalanya semakin ringan.
Tok tok tok
“Alana,” Sherly mengetuk pintu kamar Alana karena gadis itu tidak kunjung turun ke lantai bawah untuk sarapan. “Lana, Sayang ...”
Tetap tidak ada jawaban. “Sayang, Tante masuk, ya?”
Sherly mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan dan mendapati Alana tengah tertidur pulas. Sepertinya dia kelelahan, pikirnya.
Diamatinya wajah Alana yang tampak begitu damai saat tidur, dan Sherly tidak ingin mengusik gadis itu. Disibaknya rambut yang menutupi pipi Alana dan diselimutinya gadis itu hingga ke dagu.
Tidak lupa diambilnya baju kotor milik Alana yang berada di sebuah keranjang cucian di depan pintu kamar mandi.
Sekali lagi dia mengamati Alana. Gadis itu terlihat begitu muda dan rapuh, mengingatkannya pada dirinya sendiri di masa lalu. Sherly tersenyum sebelum memutuskan untuk keluar dan menutup pintu.
Sebuah motor sport berwarna hitam memasuki pekarangan rumah. Pemuda yang mengendarainya memarkirkan motor di luar pintu garasi, kemudian melepas helm setelah mematikan mesin motor. Braden baru saja pulang setelah keluar bersama teman-temannya sejak semalam. Dia jarang menghabiskan waktunya di rumah, dia hanya pulang sesekali untuk sekedar berganti baju atau mandi. Dengan masih duduk di atas motor dia menyugar rambutnya yang berantakan. Baru setelah memastikan penampilannya rapi dari kaca spion, pemuda itu masuk ke dalam rumah. Dari arah dapur dia mendengar gumaman percakapan para wanita yang sedang menyiapkan makan malam. Dua asisten rumah tangga di rumah itu memang suka bekerja sambil bergosip. Sambil berjalan dilepasnya jaket hitam yang dikenakannya dan dia langsung menuju lantai atas, ke kamarnya. Saat sampai di puncak tangga, langkahnya terhenti. Tatapannya terpaku pada sosok di depan jendela besar yang berada seberang ruangan. Dia terpana. Seorang gadis cantik bergaun putih
Alana tahu Braden dan ibunya sedang membicarakan dirinya di kamar sebelah. Karena tidak ingin mendengar percakapan mereka, maka Alana masuk ke kamarnya sendiri. Dia tidak ingin tahu apa saja yang mereka katakan tentang dirinya.Sebelumnya dia sedang mengamati cuaca di luar yang begitu cerah. Hingga akhirnya dia setengah melamun dan pikirannya kembali ke saat-saat yang menyedihkan ketika dia harus meninggalkan rumah.Dia tidak tahu bahwa Braden datang. Pemuda itu berjalan tanpa suara dan tahu-tahu ada di sana. Dia hanya berharap pemuda itu tidak melihatnya menangis, karena bagi Alana hal itu sungguh memalukan.Dia bisa melihat betapa pemuda itu membencinya. Langsung terlihat dari sorot matanya begitu mereka diperkenalkan sebagai saudara tiri.Suara pintu dibuka dan ditutup terdengar dari kamar sebelah. Dan sesaat kemudian terdengar suara pintu dibuka dan ditutup lagi, kali ini dengan lebih keras. Braden pasti sedang kesal sampai harus membanting pintu.Hal itu hanya makin menambah ra
Semua perabot di ruangan itu bernuansa coklat gelap. Di satu sisi ruangan terdapat sebuah rak buku besar yang memenuhi dinding, dan di sisi seberangnya terdapat sebuah sofa kulit panjang berwarna hitam. Sedangkan bagian tengahnya didominasi oleh sebuah meja kerja besar dengan sebuah kursi di belakangnya.Steve duduk di ujung sofa dan mengisyaratkan pada putrinya yang masih berdiri untuk duduk di sebelahnya. Mereka sudah cukup lama tidak pernah duduk dan mengobrol bersama. Sehingga Alana merasa aneh berasa dalam situasi tersebut.Alana mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan pandangan matanya tertumbuk pada sebuah benda di atas meja. Sebuah foto berbingkai kayu yang menampilkan Steve muda dan Alana kecil.Alana merasa terharu, tidak menyangka Steve akan menyimpan foto itu. Foto di mana mereka berdua terlihat begitu bahagia dan saling mencintai, bukannya canggung layaknya orang asing seperti sekarang.“Apa rencana kamu sekarang, Lana?” Steve memulai pembicaraan. “Tadi kita tida
Sebelumnya Alana hanya melihat sosok itu dalam foto. Juga cerita tentang dirinya yang dituturkan oleh semua orang di rumah. Adrian. Seorang pemuda yang baik dan menyenangkan, kata mereka. Sangat berbanding terbalik dengan Braden, adiknya.“Mbok ... Mbok pasti rindu aku, kan?” Tiba-tiba pemuda itu memeluk Mbok Ijah dari belakang yang datang dari dapur sambil membawa teko kaca berisi air putih.“Awas ini tumpah. Biar Mbok taruh ini dulu,” setelah Mbok Ijah menaruh teko di meja, pemuda itu langsung memeluk Mbok Ijah dengan bersemangat. Perempuan tua itu pun tidak kalah bersemangat dengan menjewer kedua pipi pemuda itu yang hanya tertawa-tawa diperlakukan demikian.“Lho, mas sudah pulang?” Mbak Murni, asisten rumah tangga satunya yang juga merupakan keponakan Mbok Ijah tidak mau ketinggalan.“Mbak, aku kangen sekali sama Mbak Murni,” jawab Adrian menggoda sambil memeluk wanita itu. Wanita itu hanya cengengesan.“Adrian,” Sherly datang setelah mendengar suara ribut-ribut di ruang makan.“M
Alana membuka lemari bajunya dan memilah deretan baju di gantungan. Kini lemarinya penuh, berkat Sherly yang membelikannya banyak sekali pakaian. Setelah menimbang beberapa saat, gadis itu mengeluarkan satu potong pakaian dan meletakkannya di atas tempat tidur.Akhir-akhir ini cuaca cerah cenderung panas. Jadi sebaiknya aku memilih pakaian yang nyaman.Alana memilih sebuah gaun merah sederhana tanpa lengan dengan bagian pinggul mengembang selutut. Sebagai padanannya dia memilih sepasang flatshoes berwarna putih dan tas kecil dengan warna senada.Adrian hanya akan mengajaknya makan dan jalan-jalan, tetapi entah mengapa Alana merasa senang sekali. Alana mematut dirinya di cermin lama, mencoba mengoreksi penampilannya yang sudah nyaris sempurna.Tok tok tok“Alana ... ”Rupanya Adrian sudah siap dan Alana bergegas membuka pintu.“Sudah siap untuk pergi?” Pemuda itu bersandar di ambang pintu dengan senyum menawannya. “Wow, kamu cantik sekali hari ini.”Pipi Alana merona mendengar pujian i
Adrian menarik tangan Alana untuk memasuki sebuah toko jam tangan dengan brand ternama. “Kakak mau membeli jam tangan?” tanya Alana. “Sudah ku bilang aku ingin membelikanmu sesuatu sebagai hadiah. Dan aku rasa semua orang membutuhkan jam tangan,” jawab Adrian. “Ada yang bisa saya bantu?” seorang pramuniaga cantik mendatangi mereka. “Kami mau melihat jam tangan wanita,” Jawab Adrian. “Mari, silakan. Di sebelah sini.” Mereka melihat-lihat berbagai model jam tangan wanita dengan sesekali si pramuniaga memberitahukan detail dan kelebihan dari masing-masing produk. “Apa ada yang kau suka?” tanya Adrian. “Ehm, entahlah. Aku bingung.” Banyaknya model dan pilihan membuat Alana sedikit bingung. “Apakah ada yang untuk pasangan?” tanya Adrian pada penjaga toko. “Kakak mau beli untuk siapa?” tanya Alana penasaran. “Tentu saja untukmu dan untukku.” “A-apa?” tanya Alana salah tingkah. “Sebagai tanda bahwa sekarang kita bersaudara.” Jawab Adrian dengan tersenyum bahagia. “Ya, saudara,”
Sesaat setelah kepergian Alana dan kakaknya, Braden melempar lap dengan kesal. Dia tidak tahu apa yang membuatnya kesal pagi itu. Beberapa hari terakhir moodnya benar-benar kacau. Itu pula alasan mengapa dia ada di rumah sekarang.Braden menjadi sangat menyebalkan jika sedang berada dalam suasana hati yang buruk. Dan kalau sudah seperti itu, biasanya teman-temannya akan menghindar sampai suasana hati pemuda itu kembali membaik.Dengan jengkel diambilnya lagi lap yang dia lempar sebelumnya. Lalu digosokkannya dengan keras pada body motor yang sebenarnya sudah mengkilap. Sebenarnya Braden masih butuh pelampiasan, tetapi kini setiap jengkal motor itu sudah sangat bersih. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.“Tumben kamu di rumah?” tanya Sherly pada putranya ketika melihat pemuda itu memasuki rumah.“Mama tidak suka aku di rumah?”“Bukan begitu. Kamu kan nyaris tidak pernah ada di rumah akhir-akhir ini. Sebenarnya kamu ke mana saja, sih? Mama kan jadi khawatir kalau kamu tidak pulang.” T
Pagi setelah sarapan Steve memanggil Alana ke ruang kerja. Dia sangat bahagia karena akhirnya bisa bersatu dengan putrinya setelah bertahun-tahun menunggu. Sangat berat bagi Steve harus berpisah dengan putri tunggalnya itu bertahun-tahun silam.Terlebih ketika mantan istrinya mempersulit komunikasi dan pertemuannya dengan Alana. Dia selalu mencoba bersabar dan mencari jalan keluar, tetapi tidak pernah berhasil. Dia juga tidak tahu apa saja yang Claudia cekokkan pada pikiran gadis itu.Karena makin lama hubungan Steve dan putrinya menjadi makin renggang. Dan Steve ingin memperbaiki hal itu. Dia tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh Claudia, yang pasti itu sangat buruk jika Alana sampai kabur dan menemui dirinya.“Papa memanggilku?” tanpa dia sadari Alana sudah berdiri di ambang pintu.“Ya, masuklah. Ada yang ingin Papa bicarakan.”Alana duduk di sofa panjang, seperti biasa. Dan Steve berdiri dari meja kerjanya lalu duduk di samping Alana.“Mamamu menghubungi Papa. Sebenarnya dari se