Braden sangat kesal ketika melihat Alana yang terus saja tersipu saat mereka makan bersama malam itu. Gadis itu mengaduk-aduk makanan di piringnya dengan pandangan mata menerawang, dengan senyum samar yang terus saja tersungging di wajahnya.“Lana, jangan mainkan makananmu.” Tegur Sherly, membuat Lana bergegas menghabiskan sisa makanannya.‘Apa yang sudah dilakukan bajingan tengik itu? Dia pasti sudah mencekoki Alana dengan omong kosongnya!’ Braden membatin dengan kesal.Saat akhirnya kembali ke kamarnya, Braden menjadi makin kesal. Senyum konyol Alana benar-benar mengganggunya. “Argh, sialan!” Braden mengacak rambutnya. Dia benar-benar ingin menghajar Eric.Dia keluar dan pergi ke kamar Alana. Dia masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu. Didapatinya gadis itu mendongak terkejut dengan kedatangannya. “Kenapa kau tidak mengetuk pintu? Benar-benar kebiasan!” Alana tengah duduk di meja belajarnya sambil memangku boneka beruang bertuksedo pemberian Eric.Braden melirik boneka itu dengan ke
“Alana―” Braden menyaksikan mata Alana berkilat saat gadis itu menatap Leona dengan tajam. Leona mendongak, menatap Alana tidak kalah sengit. Melihat itu Braden buru-buru berdiri dan menempatkan dirinya di antara kedua gadis itu. “Lana, ayo kita pergi saja. Aku baru ingat ada kedai es krim yang lebih enak.” Alana menepis tangan Braden yang tengah memegangi lengannya. “Kenapa kita harus pergi? Kita duluan yang menempati meja ini. Kalau ada yang harus pergi, itu adalah dia!” Alana menunjuk Leona. “Bagaimana kalau aku tidak mau pergi?” Leona menyialngkan kaki dan mengibaskan rambutnya yang kini pendek sebahu. “Ayo kita cari meja lain.” Braden membujuk. “TIDAK!” Kata Alana tegas, masih sambil menatap Leona tanpa berkedip. Will menyadari ketegangan yang mulai terbentuk. “Leona, ayo kita kembali ke meja kita.” “Meja kita sudah ditempati oleh orang lain. Lagi pula aku lebih suka duduk di sini.” Leona berbicara tanpa repot-repot menoleh pada Will. Alana tersenyum miring. “Baiklah kala
Alana dan Braden mampir ke sebuah tempat yang menjadi pusat street food sebelum pulang. Meski Alana bilang sedang ingin diet, nyatanya mata gadis itu seketika melebar saat melihat aneka jajanan serta mengendus aroma makanan yang menguar di udara sekitar mereka.“Waah, semuanya terlihat enak.” Alana menatap sekelilingnya dengan mata berbinar.“Bukankah tadi kau bilang sedang ingin diet?” Sindir Braden.“Kita kan sudah terlanjur sampai di sini. Jadi, ayo kita keliling,” Alana berjalan di depan dengan diikuti Braden yang membawakan bonekanya.Alana bingung menentukan pilihan, karena semua makanan terlihat sama enaknya. Setelah berkeliling dan melihat sana-sini, akhirnya gadis itu menjatuhkan pilihan pada corndog isi sosis dan keju berukuran besar, souffle cake mini dengan aneka toping, dan segelas boba cokelat.Mereka berjalan sambil menyesap minuman dingin, sedang mencari tempat duduk untuk makan. “Sepertinya itu Kak Greta. Apa aku salah lihat?” Alana berhenti untuk memperhatikan seoran
Adrian hanya bisa terdiam, saat mendapati bukti-bukti perselingkuhan kekasihnya. Namun, meski semua bukti itu terpampang nyata, pemuda itu masih menolak untuk memercayainya. Dia harus memastikan hal itu secara langsung. Dia harus menemui Greta.Pemuda itu mencari Greta di tempat kerjanya, dan mendapati bahwa gadis itu sedang libur. Dari sini, perasaan Adrian sudah berubah tidak nyaman. Kemudian Adrian pergi menuju rumah gadis itu, berharap dia akan bertemu Greta di sana.Dan betapa hancur hati Adrian, saat mendapati kekasihnya tengah bersama seorang laki-laki yang dilihatnya dalam foto. “A-Adrian!” Greta terkejut dengan kedatangan pemuda itu yang tiba-tiba.“Kau tidak bekerja?” tanya Adrian, masih mencoba untuk berpikir positif.“Aku baru saja pulang,” jawab gadis itu.“Benarkah? Aku baru saja dari tempat kerjamu. Dan mereka bilang hari ini kau sedang libur.”“Ah, i-itu..” Greta menjawab dengan gugup. “Aku—““Siapa kau? Ada perlu apa kau dengan kekasihku?” pria di samping Greta berta
Praaangg! Sebuah gelas hancur berserakan di lantai karena dilempar. Alana menatap mamanya yang sangat murka. Dia sendiri berusaha menahan amarah hingga tubuhnya gemetar. “Mama ingin menikah dengan siapa itu bukan urusan kamu. Dan kamu tidak berhak untuk melarang mama. Mama tetap akan menikah dengan atau tanpa persetujuan kamu!” Bentak mama Alana. “Mama tetap akan menikah dengan pria mata keranjang itu?” balas Alana dengan sengit. “Aku tidak tahu apa yang Mama lihat dari pria tua bajingan seperti dia. Aku tidak melarang mama menikah lagi, tetapi bukan dengan pria berengsek seperti dia.” Plaaak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Alana. “Kamu tidak berhak berbicara seperti itu tentang calon suami mama. Tarik ucapan kamu dan cepat minta maaf!” Alana memegangi bekas tamparan di pipi kirinya. Mata gadis itu berkaca-kaca. “Mama berani nampar aku?” kejut Alana, sembari mengusap-usap pipinya yang pedas memerah. “Aku tidak akan menarik kembali ucapanku. Ya, kalian berdua memang cocok. Aku
Sebuah kenangan berkelabat dalam benak Alana. Suatu pagi di hari Minggu saat Alana sedang menonton kartun favoritnya, tiba-tiba papanya datang dan memeluk erat. Dia ingat pada saat itu sedang mengenakan gaun merah jambu bermotif bunga-bunga tanpa lengan. Pakaian favorit Alana sewaktu kecil.Papa memeluk Alana lama dan begitu erat, seakan tidak pernah ingin melepaskan sang puteri. Begitu akhirnya Papa melepaskan pelukan, Alana melihat lelaki itu menangis.Seumur hidup Alana tidak pernah sekali pun melihat papanya menangis.“Papa mengapa menangis?” tanya Alana, sambil mengusap air mata yang melelehi pipi papanya.Papa Alana memeluknya lagi dan berbisik, “Maafkan Papa, Nak. Papa sayang sama Lana.”Pada saat itulah Alana juga ikut menangis. Dia tahu sesuatu yang buruk pada akhirnya benar-benar terjadi. Alana melirik tas bepergian kecil warna hitam yang diletakkan di samping sang papa yang saat itu sedang berlutut di hadapannya.Ada duka yang begitu mendalam di mata papanya dan itu membuat
Gadis itu tidak tahu mengapa hidupnya benar-benar tidak adil. Mengapa dia tidak pernah bahagia? Kini bahkan dia tidak bisa sekadar menjalani hidup dengan tenang.Alana duduk termenung di depan jendela kamar yang terbuka lebar. Dia tidak peduli pada embusan angin malam yang mulai membuatnya menggigil.Dia tahu harus melakukan sesuatu, tetapi apa? Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak bisa lagi tinggal di rumah ini, tetapi dia harus ke mana?Alana tidak dekat dengan papanya. Dia bahkan hanya tiga kali bertemu dengan lelaki itu setelah perceraian orang tuanya. Dengan berbagai alasan, Mama selalu melarang Alana untuk bertemu dengan papanya.Dia bahkan mendengar kalau Papa sudah menikah lagi. Hal itu hanya membuat hubungan mereka semakin renggang. Komunikasi di antara mereka pun tidak berjalan dengan baik.Hanya sesekali papanya menghubungi untuk sekadar menanyakan kabar. Sedangkan Alana tidak pernah mencoba untuk menghubungi sang papa sama sekali.Alana tidak memiliki siapa pun selain mam
Mata Alana terbelalak. Gerakannya terhenti karena terkejut.Berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri adalah Samuel, yang tanpa gadis itu ketahui ternyata menginap di rumah mereka. Bagaimana mungkin lelaki sialan itu menginap di rumah calon mempelainya di malam pernikahan mereka? Alana benar-benar tidak habis pikir.“Mengapa kamu membawa koper malam-malam begini? Kamu mau kabur?” tanya Samuel menyelidik.Setelah kesadarannya kembali, Alana bergegas keluar dari rumah. Namun baru sampai teras depan, Samuel sudah berhasil meraih sikunya. Dengan paksa lelaki itu menarik Alana kembali masuk ke dalam rumah.“Lepaskan ... Lepas ...” Alana meronta-ronta berusaha melepaskan cengkraman tangan Samuel, tetapi percuma saja. Koper yang tadi dia pegang bahkan kini sudah tidak ada di tangannya.“Ku bilang lepaskan ...”“Diam kamu!” Bentak Samuel.Alana takut mamanya terbangun karena keributan itu sehingga kemungkinan dia bisa kabur akan semakin mustahil. Dia berusaha menginjak kaki Samuel atau menyik