Gadis itu tidak tahu mengapa hidupnya benar-benar tidak adil. Mengapa dia tidak pernah bahagia? Kini bahkan dia tidak bisa sekadar menjalani hidup dengan tenang.
Alana duduk termenung di depan jendela kamar yang terbuka lebar. Dia tidak peduli pada embusan angin malam yang mulai membuatnya menggigil.
Dia tahu harus melakukan sesuatu, tetapi apa? Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak bisa lagi tinggal di rumah ini, tetapi dia harus ke mana?
Alana tidak dekat dengan papanya. Dia bahkan hanya tiga kali bertemu dengan lelaki itu setelah perceraian orang tuanya. Dengan berbagai alasan, Mama selalu melarang Alana untuk bertemu dengan papanya.
Dia bahkan mendengar kalau Papa sudah menikah lagi. Hal itu hanya membuat hubungan mereka semakin renggang. Komunikasi di antara mereka pun tidak berjalan dengan baik.
Hanya sesekali papanya menghubungi untuk sekadar menanyakan kabar. Sedangkan Alana tidak pernah mencoba untuk menghubungi sang papa sama sekali.
Alana tidak memiliki siapa pun selain mamanya. Kakek dan neneknya semua sudah meninggal, dan satu-satunya kerabat Mama berada jauh di daerah lain. Alana bahkan nyaris tidak mengenal mereka.
Sungguh malang nasib Alana karena menjadi anak tunggal dari pernikahan orang tuanya.
Gadis itu tidak mempunyai teman dekat, sebab sang mama selalu membatasi pergaulannya. Tidak ada main-main ke rumah teman sepulang sekolah. Ditambah lagi dengan kepribadian Alana yang pendiam sukses membuat gadis itu tidak memiliki teman dekat sama sekali.
Satu hal yang pasti, Alana harus segera pergi dari rumah ini. Dia tidak bisa tetap tinggal di sini, tidak dengan adanya Samuel yang jelalatan dan selalu memandangi dirinya dengan tatapan tidak senonoh.
Hal itu benar-benar membuat Alana ketakutan. Dia tidak ingin memikirkan apa yang mungkin terjadi jika tetap tinggal di rumahnya setelah Mama menikah dengan Samuel.
Dengan cekatan Alana mengambil cutter dan celengan beruangnya. Dia memastikan pintu kamar sudah terkunci, sebelum duduk bersimpuh di lantai kamar dan merobek bagian bawah celengan.
Dengan cutter yang tajam, celengan berbahan plastik tersebut bisa terbuka dengan mudah. Alana menumpahkan semua isi di dalamnya.
Dia tahu tabungannya tidak banyak. Mama selalu memenuhi semua kebutuhannya, sehingga jarang memberi uang tunai. Alana juga tidak memiliki rekening, sebab uang kiriman dari papanya ditransfer melalui sang mama.
Setelah mengumpulkan dan menghitung semua isi celengan, ternyata jumlahnya bahkan jauh lebih sedikit dari perkiraan Alana. Setelah itu dia mencoba membongkar dompet, lemari, dan saku-saku bajunya.
Begitu semua uang yang ada terkumpul pun, jumlahnya masih jauh dari cukup untuk sekadar mencari tempat kos dan biaya hidup selama setidaknya satu bulan ke depan. Namun uang itu cukup jika hanya untuk membeli sebuah tiket pesawat menuju tempat papanya tinggal.
Alana benar-benar menghadapi dilema. Haruskah dia menghubungi dan meminta bantuan papanya saat ini?
Jika tetap tinggal di kota ini, dia tidak yakin bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak dan tetap menjalani kuliahnya. Alasan lain, Mama dan Samuel pasti akan dengan mudah bisa menemukannya. Jika hal itu terjadi, pasti mamanya akan menyeret Alana kembali pulang ke rumah.
Alana terpaksa menelan ego dan harga diri. Dengan tangan gemetar dia menekan nomor papanya di handphone. Alana berdeham untuk membuat suaranya jernih sebelum berbicara.
Setelah deringan keempat dan merasa yakin papanya tidak akan mengangkat panggilan, akhirnya terdengar suara dari seberang sana.
“Halo, Lana ... ”
“Halo, Pa ... ”
***
Alana berjingkat-jingkat keluar sambil menenteng sebuah koper kecil berwarna merah dengan kedua tangan. Koper itu ternyata lumayan berat meski barang yang dia bawa tidak seberapa banyak.
Meski begitu, Alana tidak berani menyeret koper tersebut karena roda-rodanya akan berderak dengan berisik. Gadis itu berjalan sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Malam sudah sangat larut dan Alana yakin kini mamanya sudah tidur.
Mama Alana harus tidur cepat karena esok hari harus bangun pagi-pagi sekali untuk dirias. Ruang depan dan tengah sudah didekorasi dengan indah menggunakan ratusan tangkai bunga-bunga segar.
Suasana begitu hening, hanya terdengar bunyi detak jarum jam yang berada di dinding tidak jauh dari tempatnya berdiri. Alana memperhatikan irama jantungnya yang kini mulai berdegup lebih cepat.
Tidak perlu gugup. Semua akan baik-baik saja, batinnya.
Aroma wangi dari berbagai macam bunga memenuhi ruangan hingga menusuk indra penciumannya. Alana memandangi sekeliling ruangan yang penuh bunga dan dekorasi pernikahan sejenak, karena dia tidak akan berada di tempat ini ketika acara berlangsung nanti.
Dengan sangat perlahan Alana memutar kunci pintu depan, sehingga akhirnya terdengar bunyi klik. Baru saja dia hendak menarik pintu terbuka, terdengar suara teguran di belakangnya.
“Lana, mau ke mana kamu?”
Darah di tubuh Alana seakan membeku.
Mata Alana terbelalak. Gerakannya terhenti karena terkejut.Berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri adalah Samuel, yang tanpa gadis itu ketahui ternyata menginap di rumah mereka. Bagaimana mungkin lelaki sialan itu menginap di rumah calon mempelainya di malam pernikahan mereka? Alana benar-benar tidak habis pikir.“Mengapa kamu membawa koper malam-malam begini? Kamu mau kabur?” tanya Samuel menyelidik.Setelah kesadarannya kembali, Alana bergegas keluar dari rumah. Namun baru sampai teras depan, Samuel sudah berhasil meraih sikunya. Dengan paksa lelaki itu menarik Alana kembali masuk ke dalam rumah.“Lepaskan ... Lepas ...” Alana meronta-ronta berusaha melepaskan cengkraman tangan Samuel, tetapi percuma saja. Koper yang tadi dia pegang bahkan kini sudah tidak ada di tangannya.“Ku bilang lepaskan ...”“Diam kamu!” Bentak Samuel.Alana takut mamanya terbangun karena keributan itu sehingga kemungkinan dia bisa kabur akan semakin mustahil. Dia berusaha menginjak kaki Samuel atau menyik
Semua orang terlihat bahagia, kecuali Alana. Semua tamu terlihat rapi, bahkan Claudia terlihat cantik dengan kebaya berwarna putih gading.Alana melihat Claudia sangat bahagia. Ini akan menjadi hari yang sempurna seandainya pria yang bersanding dengan mamanya itu bukanlah Samuel, pria yang kini sangat Alana benci.Sepasang mata Alana terus memerhatikan, sembari berdiri di samping pintu masuk untuk menyambut para tamu yang datang. Dia harus tersenyum bahagia, tidak peduli sepedih apa hatinya.Semua tamu memuji betapa cantik dan anggunnya Alana dengan kebaya berwarna gold yang kini dia kenakan. Padahal baju itu hanya semakin membuatnya sesak napas.Seharusnya pada saat ini Alana sedang berada di pesawat yang sebentar lagi akan mendarat, bukannya berdiri di tempat ini dan terus tersenyum seperti orang bodoh.Pagi-pagi sekali hari itu, Claudia membuka pintu kamar Alana dan membangunkannya. Dia menyuruh Alana mandi untuk kemudian dirias. Alana hanya bisa berjalan patuh seperti sebuah raga
Sudah satu jam dan Alana masih berjalan tidak tahu arah. Sudah lewat tengah hari ketika dia pergi meninggalkan rumah, dengan tidak membawa apa pun kecuali sepasang baju yang melekat di badan.Alana pergi begitu saja dari rumah tanpa rencana apa pun. Apa yang dilakukan Samuel membuatnya sangat ketakutan, hingga tanpa sadar Alana melukai pria tua bajingan itu sehingga terluka cukup parah.Dia hanya berniat membela diri. Di saat dia ketakutan, insting bertahan dirinyalah yang mengambil alih. Pada satu sisi dia sangat berharap Samuel mati, tetapi pada satu sisi lainnya dia tidak ingin menjadi seorang pembunuh.“Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” Alana berbisik lirih pada dirinya sendiri, sambil menggigil ketakutan. Sekarang pasti Claudia sudah tahu apa yang dia lakukan pada suami bejatnya.Maka dari itu Alana sengaja menghindari jalanan besar untuk bersembunyi dari Claudia yang kemungkinan sedang mencarinya. Atau bahkan lebih buruk lagi, melapor pada polisi.Claudia tidak akan percaya
“Kereta kelas ekonomi paling cepat jadwalnya besok pagi, jam enam. Kalau yang sekarang adanya hanya untuk kelas bisnis dan eksekutif.” Seorang petugas loket menginformasikan pada Alana.“Kalau begitu, saya ambil jadwal yang paling cepat,” jawab Alana setelah mengambil keputusan.Alana terpaksa naik kereta kelas eksekutif karena itu adalah kereta dengan jadwal keberangkatan paling cepat yang bisa dia dapat pada saat itu.Padahal tadinya Alana berencana untuk mengambil tiket yang paling murah demi menghemat uang, juga sebagai antisipasi jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Namun jika menunggu terlalu lama di stasiun, Alana khawatir seseorang akan berhasil menemukannya. Maka makin cepat dia pergi, itu akan semakin baik.Alana duduk di bangku peron paling sudut, jauh dari pintu masuk. Dia mengamati setiap orang yang berlalu-lalang dengan perasaan was-was.Semoga tidak ada yang menemukanku, batin Alana.Hari mulai malam dan badannya sedikit menggigil karena saat itu hanya menge
“Ini neng, silakan diminum tehnya. Tolong maafkan bapak ya, neng. Bapak benar-benar menyesal. Bapak benar-benar tidak tahu tadi”“Iya pak, tidak apa-apa”, jawab Alana yang sebenarnya masih kesal.Alana sadar kalau satpam tersebut yang ternyata bernama Pak Anwar, hanya melakukan tugasnya. Sebenarnya dia bukan orang yang jahat.Siapa pun pasti akan mengiranya penipu dalam situasi seperti itu. Terlebih seorang satpam memang sealu dituntut untuk selalu awas dan waspada.Perlu waktu bagi Alana untuk meyakinkan bahwa dia bukan penipu. Perlu beberapa waktu untuk menjelaskan situasinya pada saat itu, hingga kedatangannya di waktu dan dalam keadaan yang tidak seharusnya.Pria itu mencoba mengetesnya dengan beberapa pertanyaan mengenai Alana dan juga papanya yang dengan mudah dicocokkan dengan berbagai fakta yang satpam itu ketahui.Setelah yakin bahwa Alana bukanlah penipu, pria itu berubah menjadi sangat ramah. Terlalu ramah malah.Sepertinya dia merasa bersalah dengan sikapnya sebelumnya. At
Alana menyeka kedua tangannya yang kini mulai berkeringat. Dia bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk, apa pun itu.Mereka masuk ke dalam rumah yang terasa sejuk. Gadis itu menatap sekeliling ruangan yang terlihat bersih dan berkilau. Tidak ada setitik pun debu di sana.Dia memandangi patulan dirinya di sebuah lemari pajang berisi hiasan kristal. Bayangan dirinya terlihat sangat lusuh dan berantakan. Tiba-tiba dia merasa sangat kotor berada dalam ruangan yang begitu bersih itu.“Sherly ... Kami sudah pulang,” Steve berteriak memanggil istrinya.Alana semakin gugup. Menantikan wanita asing yang adalah istri ayahnya, ibu tirinya. Seperti apakah dia? Akankah wanita itu membencinya?“Kalian sudah pulang?”Alana menoleh dan menatap wanita itu dari seberang ruangan.“Lana ... ” Alana mendapati seorang wanita cantik berdiri di hadapannya. Dia menghambur dan memeluk Alana dengan erat.“Senang sekali akhirnya bisa bertemu kamu,” wanita itu menagkup wajah Alana dan mengecup kedua pipinya
Sebuah motor sport berwarna hitam memasuki pekarangan rumah. Pemuda yang mengendarainya memarkirkan motor di luar pintu garasi, kemudian melepas helm setelah mematikan mesin motor. Braden baru saja pulang setelah keluar bersama teman-temannya sejak semalam. Dia jarang menghabiskan waktunya di rumah, dia hanya pulang sesekali untuk sekedar berganti baju atau mandi. Dengan masih duduk di atas motor dia menyugar rambutnya yang berantakan. Baru setelah memastikan penampilannya rapi dari kaca spion, pemuda itu masuk ke dalam rumah. Dari arah dapur dia mendengar gumaman percakapan para wanita yang sedang menyiapkan makan malam. Dua asisten rumah tangga di rumah itu memang suka bekerja sambil bergosip. Sambil berjalan dilepasnya jaket hitam yang dikenakannya dan dia langsung menuju lantai atas, ke kamarnya. Saat sampai di puncak tangga, langkahnya terhenti. Tatapannya terpaku pada sosok di depan jendela besar yang berada seberang ruangan. Dia terpana. Seorang gadis cantik bergaun putih
Alana tahu Braden dan ibunya sedang membicarakan dirinya di kamar sebelah. Karena tidak ingin mendengar percakapan mereka, maka Alana masuk ke kamarnya sendiri. Dia tidak ingin tahu apa saja yang mereka katakan tentang dirinya.Sebelumnya dia sedang mengamati cuaca di luar yang begitu cerah. Hingga akhirnya dia setengah melamun dan pikirannya kembali ke saat-saat yang menyedihkan ketika dia harus meninggalkan rumah.Dia tidak tahu bahwa Braden datang. Pemuda itu berjalan tanpa suara dan tahu-tahu ada di sana. Dia hanya berharap pemuda itu tidak melihatnya menangis, karena bagi Alana hal itu sungguh memalukan.Dia bisa melihat betapa pemuda itu membencinya. Langsung terlihat dari sorot matanya begitu mereka diperkenalkan sebagai saudara tiri.Suara pintu dibuka dan ditutup terdengar dari kamar sebelah. Dan sesaat kemudian terdengar suara pintu dibuka dan ditutup lagi, kali ini dengan lebih keras. Braden pasti sedang kesal sampai harus membanting pintu.Hal itu hanya makin menambah ra