Semua orang terlihat bahagia, kecuali Alana. Semua tamu terlihat rapi, bahkan Claudia terlihat cantik dengan kebaya berwarna putih gading.
Alana melihat Claudia sangat bahagia. Ini akan menjadi hari yang sempurna seandainya pria yang bersanding dengan mamanya itu bukanlah Samuel, pria yang kini sangat Alana benci.
Sepasang mata Alana terus memerhatikan, sembari berdiri di samping pintu masuk untuk menyambut para tamu yang datang. Dia harus tersenyum bahagia, tidak peduli sepedih apa hatinya.
Semua tamu memuji betapa cantik dan anggunnya Alana dengan kebaya berwarna gold yang kini dia kenakan. Padahal baju itu hanya semakin membuatnya sesak napas.
Seharusnya pada saat ini Alana sedang berada di pesawat yang sebentar lagi akan mendarat, bukannya berdiri di tempat ini dan terus tersenyum seperti orang bodoh.
Pagi-pagi sekali hari itu, Claudia membuka pintu kamar Alana dan membangunkannya. Dia menyuruh Alana mandi untuk kemudian dirias. Alana hanya bisa berjalan patuh seperti sebuah raga tanpa jiwa.
Claudia juga tidak mengizinkan Alana mendapat handphone dan barang-barangnya kembali. Pasti nanti Papa akan menunggu dengan cemas di bandara, pikir Alana. Namun kini Alana bahkan tidak bisa menghubungi lelaki itu.
Bodohnya aku, rutuk Alana dalam hati. Seharusnya aku mencatat nomor Papa entah di mana. Sehingga dalam situasi semacam ini masih bisa meminta tolong pada seseorang untuk setidaknya memberi kabar pada Papa.
Alana memohon pada Claudia untuk setidaknya memberi kabar pada sang papa bahwa dirinya tidak jadi berangkat. Dia tidak ingin papanya khawatir. Namun Claudia hanya mengacuhkannya. Alana merasa sangat bersalah pada papanya karena hal itu.
***
Sudah dua hari semenjak pesta pernikahan dan Alana masih dihukum tidak boleh keluar rumah. Karena kuliahnya sedang libur semester, maka dia tidak memiliki alasan untuk pergi keluar.
Sedangkan selama itu Claudia dan Samuel selalu berada di rumah, sehingga Alana tidak bisa mencari dan mengambil barang-barangnya. Dia sudah berkali-kali memohon pada mamanya untuk setidaknya mengembalikan handphone, tetapi Claudia tetap bergeming.
Ceklek!
Alana menoleh saat mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Alih-alih Claudia, yang saat itu berdiri di ambang pintu adalah Samuel. Alana langsung berdiri waspada dan membuat jarak sejauh mungkin di antara mereka.
“Mau apa Om ke sini?” Alam bawah sadar Alana langsung menyuruhnya untuk waspada.
“Mengapa masih memanggil dengan sebutan Om? Panggil Papa, Lana ... Ingat, Om sudah menikah dengan mama kamu. Kita sekarang sudah menjadi keluarga.”
“Om bukan keluarga Lana dan tidak akan pernah jadi keluarga Lana!” Alana berusaha terlihat galak meski sebenarnya semakin ketakutan karena kini Samuel semakin mendekati dirinya.
“Ah, jangan bicara begitu. Itu karena kita belum saling mengenal dekat selama ini. Sebagai orang tua kamu, Papa ingin lebih mengenal kamu.”
Kini Alana sudah tersudut dan tidak bisa mundur lagi.
“Pergi! Keluar dari kamarku!”
Samuel yang melihat ketakutan di wajah Alana kini makin berani. Matanya berkilat licik dan dengan kurang ajar dia mengelus pipi Alana.
“Jangan berani-berani kamu sentuh aku!” Alana berusaha menepis tangan Samuel.
Samuel mencengkram tangan Alana yang terlihat semakin ketakutan.
“Jangan takut, Alana ... Papa tidak akan menyakiti kamu.” Samuel menyeringai semakin lebar dan berusaha memeluk Alana.
Sementara Alana mulai mencakar dan memukuli Samuel. “Mamaaa! Mama, tolong ...!”
“Mama kamu tidak ada di rumah. Kita sedang sendirian, Alana. Tidak ada mama kamu atau siapa pun yang akan mengganggu kita. Dan asal kamu tahu, yang sebenarnya aku cintai itu kamu, bukan mama kamu.”
“Dasar bajingan, berengsek! Lepaskan, jangan sentuh aku!”
Alana meronta, berusaha melepaskan pelukan Samuel yang sekarang bahkan mencoba untuk menciumnya. Namun tubuh Alana jauh lebih kecil dari Samuel, sehingga tidak mudah baginya untuk melepaskan diri.
“Toloong ... Tolooong!”
“Mau kamu berteriak sekencang apa pun, tidak ada yang bisa menolong kamu.”
Samuel berusaha mendorong tubuh Alana. Pada saat itulah Alana mendapat sedikit celah. Dia menendang sekuat tenaga ke arah selangkangan pria paruh baya itu.
Dug!
Seketika Samuel melepaskan pelukannya dan berteriak kesakitan, “Aaahh ... ”
Samuel terhuyung hampir jatuh. Alana memanfaatkan kesempatan itu untuk lari, tetapi Samuel berhasil menarik lengannya.
“Berengsek! Jangan lari kamu!”
Dalam keadaan panik, gadis itu menyambar benda apa pun yang bisa diraihnya. Dengan sekuat tenaga dia memukulkan benda yang ternyata adalah bingkai foto dari kayu tebal yang ada di meja belajar. Bingkai yang berisi foto dirinya dan Claudia saat Alana masih kecil.
Kaca dari bingkai tersebut langsung pecah berserakan. Alana tidak berhenti. Dengan sudut tajam benda itu Alana terus memukuli Samuel yang berusaha menghindar, sengaja menyasar kepala lelaki kurang ajar itu yang mulai berlumuran darah.
Sudah satu jam dan Alana masih berjalan tidak tahu arah. Sudah lewat tengah hari ketika dia pergi meninggalkan rumah, dengan tidak membawa apa pun kecuali sepasang baju yang melekat di badan.Alana pergi begitu saja dari rumah tanpa rencana apa pun. Apa yang dilakukan Samuel membuatnya sangat ketakutan, hingga tanpa sadar Alana melukai pria tua bajingan itu sehingga terluka cukup parah.Dia hanya berniat membela diri. Di saat dia ketakutan, insting bertahan dirinyalah yang mengambil alih. Pada satu sisi dia sangat berharap Samuel mati, tetapi pada satu sisi lainnya dia tidak ingin menjadi seorang pembunuh.“Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” Alana berbisik lirih pada dirinya sendiri, sambil menggigil ketakutan. Sekarang pasti Claudia sudah tahu apa yang dia lakukan pada suami bejatnya.Maka dari itu Alana sengaja menghindari jalanan besar untuk bersembunyi dari Claudia yang kemungkinan sedang mencarinya. Atau bahkan lebih buruk lagi, melapor pada polisi.Claudia tidak akan percaya
“Kereta kelas ekonomi paling cepat jadwalnya besok pagi, jam enam. Kalau yang sekarang adanya hanya untuk kelas bisnis dan eksekutif.” Seorang petugas loket menginformasikan pada Alana.“Kalau begitu, saya ambil jadwal yang paling cepat,” jawab Alana setelah mengambil keputusan.Alana terpaksa naik kereta kelas eksekutif karena itu adalah kereta dengan jadwal keberangkatan paling cepat yang bisa dia dapat pada saat itu.Padahal tadinya Alana berencana untuk mengambil tiket yang paling murah demi menghemat uang, juga sebagai antisipasi jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Namun jika menunggu terlalu lama di stasiun, Alana khawatir seseorang akan berhasil menemukannya. Maka makin cepat dia pergi, itu akan semakin baik.Alana duduk di bangku peron paling sudut, jauh dari pintu masuk. Dia mengamati setiap orang yang berlalu-lalang dengan perasaan was-was.Semoga tidak ada yang menemukanku, batin Alana.Hari mulai malam dan badannya sedikit menggigil karena saat itu hanya menge
“Ini neng, silakan diminum tehnya. Tolong maafkan bapak ya, neng. Bapak benar-benar menyesal. Bapak benar-benar tidak tahu tadi”“Iya pak, tidak apa-apa”, jawab Alana yang sebenarnya masih kesal.Alana sadar kalau satpam tersebut yang ternyata bernama Pak Anwar, hanya melakukan tugasnya. Sebenarnya dia bukan orang yang jahat.Siapa pun pasti akan mengiranya penipu dalam situasi seperti itu. Terlebih seorang satpam memang sealu dituntut untuk selalu awas dan waspada.Perlu waktu bagi Alana untuk meyakinkan bahwa dia bukan penipu. Perlu beberapa waktu untuk menjelaskan situasinya pada saat itu, hingga kedatangannya di waktu dan dalam keadaan yang tidak seharusnya.Pria itu mencoba mengetesnya dengan beberapa pertanyaan mengenai Alana dan juga papanya yang dengan mudah dicocokkan dengan berbagai fakta yang satpam itu ketahui.Setelah yakin bahwa Alana bukanlah penipu, pria itu berubah menjadi sangat ramah. Terlalu ramah malah.Sepertinya dia merasa bersalah dengan sikapnya sebelumnya. At
Alana menyeka kedua tangannya yang kini mulai berkeringat. Dia bersiap untuk menghadapi kemungkinan terburuk, apa pun itu.Mereka masuk ke dalam rumah yang terasa sejuk. Gadis itu menatap sekeliling ruangan yang terlihat bersih dan berkilau. Tidak ada setitik pun debu di sana.Dia memandangi patulan dirinya di sebuah lemari pajang berisi hiasan kristal. Bayangan dirinya terlihat sangat lusuh dan berantakan. Tiba-tiba dia merasa sangat kotor berada dalam ruangan yang begitu bersih itu.“Sherly ... Kami sudah pulang,” Steve berteriak memanggil istrinya.Alana semakin gugup. Menantikan wanita asing yang adalah istri ayahnya, ibu tirinya. Seperti apakah dia? Akankah wanita itu membencinya?“Kalian sudah pulang?”Alana menoleh dan menatap wanita itu dari seberang ruangan.“Lana ... ” Alana mendapati seorang wanita cantik berdiri di hadapannya. Dia menghambur dan memeluk Alana dengan erat.“Senang sekali akhirnya bisa bertemu kamu,” wanita itu menagkup wajah Alana dan mengecup kedua pipinya
Sebuah motor sport berwarna hitam memasuki pekarangan rumah. Pemuda yang mengendarainya memarkirkan motor di luar pintu garasi, kemudian melepas helm setelah mematikan mesin motor. Braden baru saja pulang setelah keluar bersama teman-temannya sejak semalam. Dia jarang menghabiskan waktunya di rumah, dia hanya pulang sesekali untuk sekedar berganti baju atau mandi. Dengan masih duduk di atas motor dia menyugar rambutnya yang berantakan. Baru setelah memastikan penampilannya rapi dari kaca spion, pemuda itu masuk ke dalam rumah. Dari arah dapur dia mendengar gumaman percakapan para wanita yang sedang menyiapkan makan malam. Dua asisten rumah tangga di rumah itu memang suka bekerja sambil bergosip. Sambil berjalan dilepasnya jaket hitam yang dikenakannya dan dia langsung menuju lantai atas, ke kamarnya. Saat sampai di puncak tangga, langkahnya terhenti. Tatapannya terpaku pada sosok di depan jendela besar yang berada seberang ruangan. Dia terpana. Seorang gadis cantik bergaun putih
Alana tahu Braden dan ibunya sedang membicarakan dirinya di kamar sebelah. Karena tidak ingin mendengar percakapan mereka, maka Alana masuk ke kamarnya sendiri. Dia tidak ingin tahu apa saja yang mereka katakan tentang dirinya.Sebelumnya dia sedang mengamati cuaca di luar yang begitu cerah. Hingga akhirnya dia setengah melamun dan pikirannya kembali ke saat-saat yang menyedihkan ketika dia harus meninggalkan rumah.Dia tidak tahu bahwa Braden datang. Pemuda itu berjalan tanpa suara dan tahu-tahu ada di sana. Dia hanya berharap pemuda itu tidak melihatnya menangis, karena bagi Alana hal itu sungguh memalukan.Dia bisa melihat betapa pemuda itu membencinya. Langsung terlihat dari sorot matanya begitu mereka diperkenalkan sebagai saudara tiri.Suara pintu dibuka dan ditutup terdengar dari kamar sebelah. Dan sesaat kemudian terdengar suara pintu dibuka dan ditutup lagi, kali ini dengan lebih keras. Braden pasti sedang kesal sampai harus membanting pintu.Hal itu hanya makin menambah ra
Semua perabot di ruangan itu bernuansa coklat gelap. Di satu sisi ruangan terdapat sebuah rak buku besar yang memenuhi dinding, dan di sisi seberangnya terdapat sebuah sofa kulit panjang berwarna hitam. Sedangkan bagian tengahnya didominasi oleh sebuah meja kerja besar dengan sebuah kursi di belakangnya.Steve duduk di ujung sofa dan mengisyaratkan pada putrinya yang masih berdiri untuk duduk di sebelahnya. Mereka sudah cukup lama tidak pernah duduk dan mengobrol bersama. Sehingga Alana merasa aneh berasa dalam situasi tersebut.Alana mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, dan pandangan matanya tertumbuk pada sebuah benda di atas meja. Sebuah foto berbingkai kayu yang menampilkan Steve muda dan Alana kecil.Alana merasa terharu, tidak menyangka Steve akan menyimpan foto itu. Foto di mana mereka berdua terlihat begitu bahagia dan saling mencintai, bukannya canggung layaknya orang asing seperti sekarang.“Apa rencana kamu sekarang, Lana?” Steve memulai pembicaraan. “Tadi kita tida
Sebelumnya Alana hanya melihat sosok itu dalam foto. Juga cerita tentang dirinya yang dituturkan oleh semua orang di rumah. Adrian. Seorang pemuda yang baik dan menyenangkan, kata mereka. Sangat berbanding terbalik dengan Braden, adiknya.“Mbok ... Mbok pasti rindu aku, kan?” Tiba-tiba pemuda itu memeluk Mbok Ijah dari belakang yang datang dari dapur sambil membawa teko kaca berisi air putih.“Awas ini tumpah. Biar Mbok taruh ini dulu,” setelah Mbok Ijah menaruh teko di meja, pemuda itu langsung memeluk Mbok Ijah dengan bersemangat. Perempuan tua itu pun tidak kalah bersemangat dengan menjewer kedua pipi pemuda itu yang hanya tertawa-tawa diperlakukan demikian.“Lho, mas sudah pulang?” Mbak Murni, asisten rumah tangga satunya yang juga merupakan keponakan Mbok Ijah tidak mau ketinggalan.“Mbak, aku kangen sekali sama Mbak Murni,” jawab Adrian menggoda sambil memeluk wanita itu. Wanita itu hanya cengengesan.“Adrian,” Sherly datang setelah mendengar suara ribut-ribut di ruang makan.“M