Pagi itu Shanaya baru saja keluar dari kamar mandi. Dia melihat Oriaga berdiri di dekat jendela sedang menerima telepon. Shanaya pun memilih duduk di tepi ranjang bermain ponsel sembari menunggu Oriaga selesai menerima panggilan. Dia agak curiga karena suaminya itu tampak serius.Oriaga terlihat bicara dengan mimik tegang, hingga beberapa saat kemudian mengakhiri panggilan. Oriaga menoleh dan melihat Shanaya yang sedang duduk.“Siapa yang menelepon? apa ada seseuatu yang buruk?" tanya Shanaya yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.“Masayu,” jawab Oriaga sambil mendekat ke Shanaya lantas meletakkan ponsel di atas nakas.Shanaya hanya mengangguk pelan mendengar jawaban Oriaga, hingga pria itu duduk di sampingnya.“Apa ada masalah?” tanya Shanaya sambil menatap penasaran ke sang suami “Tidak,” jawab Oriaga, “dia hanya mengabari ingin datang ke sini untuk mengatakan sesuatu,” ujar Oriaga yang sebenarnya juga penasaran. "Aku sudah memintanya datang untuk makan malam sekalian."Sha
Malam itu Shanaya tampak berpenampilan sangat anggun. Wajahnya berseri menunjukkan betapa bahagianya dia saat ini seperti tak memiliki beban.“Apa semuanya sudah siap?” Shanaya yang sekarang sedang berada di ruang makan bersama Pak Wira pun bertanya, dia mengawasi pelayan yang sibuk menata meja makan.“Semua makanan sudah siap, Nona. Tinggal menyajikan saja,” jawab Pak Wira lantas menoleh Shanaya.Pak Wira mengamati penampilan Shanaya yang tampak semakin bersinar, hingga tatapannya turun ke perut gadis itu.“Melihat Nona berada di sini lagi, saya tiba-tiba saja mengingat masa lalu,” ucap Pak Wira.Shanaya langsung menoleh Pak Wira dengan kening berkerut, dia penasaran dengan maksud ucapan pria itu.“Apa yang Pak Wira ingat?” tanya Shanaya.“Soal Tuan Ori, dulu saat baru saja kembali dari Belanda setelah meninggalkan Nona,” jawab Pak Wira.Tentu saja Shanaya begitu penasaran hingga tampak antusias mendengarkan.“Memangnya kenapa?” tanya Shanaya ingin tahu.Pak Wira menghela napas pela
Shanaya dan Oriaga masih bermesraan di kamar, mereka bertingkah layaknya pengantin baru yang kasmaran, hingga semua adegan romantis yang tengah mereka lakukan itu harus terhenti saat terdengar suara ketukan pintu. Keduanya pun saling pandang sebelum memandang ke arah pintu secara bersamaan. Mereka mendekat, Oriaga mengizinkan orang di balik sana masuk lalu tertawa. Dia seharusnya sudah paham kalau satu-satunya orang yang berani mengganggunya dan Shanaya hanyalah Pak Wira. “Tuan, Nyonya Masayu sudah datang bersama Malik,” ucap Pak Wira. Shanaya langsung menoleh Oriaga untuk melihat reaksi suaminya itu mendengar informasi dari Pak Wira. Keningnya berkerut halus melihat suaminya hanya memasang wajah datar. “Baiklah, kami akan segera turun,” kata Oriaga ke Pak Wira. Pak Wira pun menganggukkan kepala, lantas meninggalkan kamar untuk kembali ke ruang makan. “Kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Shanaya menyadari raut muka suaminya yang berbeda. “Memangnya aku kenapa?” Oriaga balas
“Apa kamu harus berangkat kerja hari ini?” tanya Shanaya sambil menatap manja ke Oriaga.Oriaga sudah berpakaian rapi dan siap berangkat kerja pagi itu. Dia terkejut mendengar pertanyaan Shanaya yang sedang duduk di tepian ranjang lalu mendekat padanya.“Iya,” jawab Oriaga sambil merapikan dasi.Shanaya memeluk lengan Oriaga, bergelayut manja seolah tak mau ditinggal.“Tidak usah berangkat kerja, ya. Hari ini libur saja,” pinta Shanaya sambil memasang wajah mengiba.Oriaga pun mengerutkan alis mendengar permintaan Shanaya, tidak biasanya gadis itu melarangnya bekerja.“Kenapa mendadak memintaku tidak kerja?” tanya Oriaga keheranan.“Baby ingin sama papanya, jadi papanya harus diam di rumah hari ini,” jawab Shanaya sambil mengusap perutnya. Memberi alasan mengatasnamakan calon bayi mereka.Oriaga menatap Shanaya yang bersikap manja. Dia pun hanya diam mendengarkan ucapan istrinya itu.“Ya, libur saja. Tidak usah ke kantor hari ini, hanya sehari saja ini,” rengek Shanaya.Oriaga menghel
Aditya melempar senyuman hangat lalu mendekat. Oriaga tak menyangka akan bertemu mantan bawahannya itu. Aditya datang bersama istri dan anaknya yang berumur sekitar enam bulan. “Ternyata kalian, duduklah!” Oriaga mengajak Aditya dan istri pria itu untuk ikut duduk bersama. “Perkenalkan, ini istriku namanya Thea,” ucap Aditya memperkenalkan sang istri ke Shanaya dan Oriaga. Shanaya pun menyambut hangat, lantas memperkenalkan dirinya ke Thea setelah membersihkan bibir dan tangannya. “Anak kalian lucu sekali, boleh aku menggendongnya?” tanya Shanaya saat melihat anak Aditya. Thea terkejut karena Shanaya ingin menggendong bayinya. Dia menoleh ke Aditya yang menganggukkan kepala sebagai tanda agar mengizinkan. Shanaya pun terlihat senang karena diperbolehkan menggendong bayi mungil itu. Apalagi sama seperti anak Kirana, bayi Aditya dan Thea cukup anteng. “Shanaya inilah yang dulu aku jaga, aku pernah cerita kepadamu, kan.” Aditya menceritakan tentang Shanaya ke Thea. Shan
Hari itu Oriaga tampak mengemudikan mobil ditemani Isaak. Isaak melirik Oriaga yang sedang menyetir, dia kesal karena subuh-subuh begini harus menemani sahabat merangkap menantunya itu pergi. “Kenapa harus mengajakku? Bukankah kamu bisa pergi sendiri?” Isaak mulai menggerutu karena masih mengantuk. Oriaga menoleh Isaak sejenak, lantas membalas, “Ini juga demi cucumu. Memangnya kamu mau kalau cucumu ileran.” Isaak tentunya terkejut mendengar ucapan Oriaga. Bantahan dari sang sahabat jelas tak terelakkan, meskipun tidak wajar di Belanda tapi Isaak tahu hal semacam itu lazim di Indonesia. “Ya, tentu saja tidak mau,” ucap Isaak. “Maka dari itu, kamu harus menemaniku mencari apa yang Shanaya inginkan,” balas Oriaga. Di dalam hatinya Oriaga pun tertawa menang . Isaak hanya bisa mendengkus karena harus ikut repot padahal seharusnya itu tanggung jawab Oriaga sebagai suami. “Meski begitu, seharusnya tidak perlu mengajakku juga. Itu bagian dari tanggung jawabmu, kepedulianmu k
Setelah mentraktir mertuanya makan Oriaga pun pulang membawa durian pesanan Shanaya. Saat baru saja sampai, ternyata istrinya itu sudah menunggu di depan.“Kenapa kamu menunggu di teras?” tanya Oriaga yang terkejut melihat Shanaya menunggu di sana.“Apa kamu dapat duriannya?” Shanaya menyambut kedatangan Oriaga. Ekspresi wajahnya berubah semringah karena melihat suaminya membawa apa yang diinginkan.Shanaya menghampiri Oriaga karena ingin menyambar durian yang dipegang, tapi Oriaga yang melihat tingkah sang istri pun mencoba menjauhkan durian itu dengan menyembunyikan tangannya ke belakang badan.“Kenapa?” tanya Shanaya bingung karena Oriaga malah menjauhkan buah itu darinya.“Kamu sudah sarapan?” tanya Oriaga sambil menatap Shanaya yang terkejut tapi menggemaskan.“Tentu saja su ….” Shanaya ingin berbohong, sayangnya Pak Wira tiba-tiba muncul di sana hingga membuatnya menjeda ucapan.“Nona belum sarapan Tuan,” ucap Pak Wira karena mendengar pertanyaan Oriaga. Dia melirik Shanaya yang
Pagi itu Amora baru saja selesai mengurus Issa dan Xavi. Dia dibuat terkejut dan berjalan terburu-buru menuju pintu karena ada yang menekan bel beberapa kali. “Tolong gendong Xavi dulu,” pinta Amora ke Isaak sambil melangkah ke arah pintu. Beruntung hari itu Isaak tidak pergi jogging dan langsung melaksakan ucapan Amora. Dia mengambil Xavi dan menimang agar anaknya itu tidak rewel. Amora sibuk mengikat rambut, dia sampai tidak sempat melihat dulu siapa yang datang dan langsung membuka pintu, hingga Amora sangat terkejut saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya saat ini. “Mama, Papa.” Amora kehilangan kata-kata, dia tak menyangka kedua orang tuanya berada di Indonesia dan bahkan berdiri di hadapannya sekarang. Amora sangat syok sampai kelepasan mengumpat menggunakan bahasa Belanda. Menyadari itu dia pun buru-buru menutup mulut takut keceplosan untuk ke dua kalinya. Amora sampai menoleh ke Isaak yang sedang menggendong Xavi. “Kenapa reaksimu begitu?” tanya ibunda Amor