Starla tengah sibuk menyuap makanannya sambil diam-diam mengulum senyum ketika melihat ekspresi Bosnya—Revanno. Tentu saja pria itu pasti sedang kesal saat ini, bukan hanya sekedar kesal tapi sangat kesal.
Starla tadi nekat mendorong tubuh Revanno dengan sisa tenaganya. Bagaimanapun ia tidak bisa melanjutkan permainannya dalam keadaan seperti tadi. Akhirnya Revanno hanya bisa mengumpat dan mengutuk orang yang berani mengganggu aktivitasnya. Starla masih ingat betul wajah kesal Revanno ketika membuka dan menerima sushi yang ia pesan. Bahkan pria itu sampai membanting pintu begitu pelayan pria tersebut pergi.Lagi-lagi wajah Revanno membuat Starla mengulum senyum. Ah, pria itu sungguh tidak cocok dengan wajah cemberut seperti itu. Dua kali gagal bercinta biar tahu rasa pria itu.“Kenapa kamu tersenyum-senyum?”Starla mengerjap lalu menoleh ke sumber suara, dimana Revanno tengah menatapnya dengan alis terangkat. “Siapa yang tersenyum?”Revanno dan Starla baru saja keluar dari pintu lift, hendak berjalan menuju kamarnya. Namun, Revanno tersentak saat tiba-tiba mendapat sebuah pukulan yang mendarat di perutnya begitu saja. Revanno langsung mengumpat dan menatap tajam sang pelaku. “Brengsek! Apa yang kamu—“ “Sssttt! Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu sejak tadi nggak bisa aku hubungi? Aku sudah berada di sini dan menunggu selama hampir tiga jam dengan badan yang lelah dan pegal. Sementara kamu? Menghilang begitu saja tanpa memberitahu berapa nomor kamarku, hah?!” Daniel mulai mengomel panjang lebar. Tidak peduli pada Revanno yang masih meringis sembari memegangi perutnya. Pria itu terlihat begitu kesal saat ini. “Sorry.” Hanya itu yang di ucapkan Revanno. Ia segera menarik tangan Starla tanpa memperdulikan Daniel yang masih ingin mengoceh. “Kamu benar-benar sialan!” Daniel berjalan di belakang Revanno dan Starla, menyusuri lorong lantai tempat kam
Mobil yang membawa Revanno, Starla dan Daniel kini telah berhenti tepat di tempat acara pernikahan Bastian. Tidak tanggung-tanggung, teman Revanno sekaligus Daniel itu mengadakan acara pesta pernikahannya di Bellavista Spa & Marina Onomichi, Sakaigahama. Pesta pernikahan itu berlangsung sangat mewah dengan di hadiri para tamu yang Starla yakini semua berasal dari kalangan orang atas. “Wah, benar-benar luar biasa,” gumam Starla saat ia berjalan memasuki tempat pesta berlangsung. “Baru pertama kali ini aku datang ke acara pesta pernikahan yang begitu mewah dan menakjubkan,” imbuhnya sambil menatap sekeliling. “Dan aku harap, setelah kamu pulang dari sini. Kamu nggak akan bermimpi di lamar oleh pangeran berkuda yang akan mengajakmu menikah dengan pesta semewah ini,” sahut Revanno sambil terkekeh. “Ck! Nggak akan!” Ketus Starla sinis. Jika di tanya, siapa sih yang tidak ingin memiliki pesta pernikahan semewah itu? Jelas kebanyakan akan menjawab ingin. Tapi bagi Starla, ia bukan tipe o
Dada Starla masih bergerak naik turun seiring dengan deru napasnya yang kian memberat. Mata Revanno terus saja menyorotnya dengan menggoda. “Apa kamu nggak tertarik?” Tanya pria itu. “Tertarik apa?” Dan tiba-tiba Starla benar kehilangan cara berpikir. “Bermain denganku di balkon ini.” Revanno menunduk, berbisik tepat di daun telinga Starla. “Aku nggak tertarik, Revanno.” Bohong! Padahal saat ini tubuh Starla sudah sangat bergetar menginginkan Revanno untuk segera menyentuhnya. Hanya dengan bisikan sensual dan menatap dada telanjang Revanno benar-benar mampu membuat Starla kehilangan logikanya. “Bahkan kalau aku merayumu?” Tangan Revanno bergerak menyentuh punggung Starla yang terbuka, bergerak membelai dengan jemarinya secara perlahan dan lembut. “Ini di luar, Revanno. Jangan di sini,” ujar Starla berusaha mendorong dada Revanno. Namun, pria itu tak bergeming dan malah terkekeh pelan. “Aku bahkan punya seribu cara untuk terus mencoba.” Starla menahan napas ketika aroma tubuh R
“Saga!” Starla melambai dan berlari-lari kecil menghampiri Saga. Pria itu kini tengah berdiri di sebuah taman yang tak jauh dari apartemen Starla. “Kamu apa kabar? Aku rindu sekali denganmu,” ujar Starla sambil menghambur ke pelukan Saga. Sedangkan Saga hanya bisa terkekeh dan membalas pelukan Starla. “Masa sih? Serindu apa coba?” Goda Saga. “Pokoknya benar-benar rindu seperti ...” Starla diam sejenak. “Seperti ini.” Starla kembali memeluk Saga dan setelah itu mereka tertawa bersama. “Lagaknya bilang rindu. Tapi sama sekali nggak membawakanku oleh-oleh. Padahal baru saja pulang dari Jepang.” Saga masih terus menggoda. Percayalah, ia tidak benar-benar membutuhkan oleh-oleh. Melainkan Saga hanya tertarik saja menggoda Starla. “Maafkan aku. Aku benar-benar kelupaan. Habisnya Bosku nggak mau mengantarku untuk membeli oleh-oleh di sana.” Starla mulai cemberut ketika mengingat kejadian sebelum kepulangannya dari Jepang. Revanno sama sekali tidak mau mengantar Starla berbelanja, meski
Tidak ada yang ingin Starla lakukan malam ini. Selesai mandi ia hanya makan malam dan menonton TV di dalam apartemennya. Kalau biasanya akan ada seseorang yang mengganggunya secara tiba-tiba, tapi malam ini tidak ada. Dan entah kenapa hal itu justru membuat Starla merasa … kesepian. Benarkah? Kesepian? Kenapa tiba-tiba Starla merasa seperti itu? Tiba-tiba ia teringat kalimat Revanno sore tadi. ‘Nanti malam kamu ada acara?’ Sejujurnya Starla tadi sedikit berharap jika ia menjawab tidak, maka pria itu akan mengajaknya pergi atau kemana. Tapi ternyata harapan memang tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Mungkin lebih baik ia segera tidur saja. Daripada memikirkan hal yang tidak-tidak. Namun, ketika Starla hendak mematikan lampu ruangannya, ia mendengar suara bell apartemennya berbunyi. Starla mengernyit seketika. Siapa? Benaknya bertanya-tanya. *** Revanno melangkah masuk ke Klub milik temannya—Daniel. Ia memang sengaja memilih ke sana daripada ke Klub Ayahnya, karena pasti sang A
“Kamu sudah membuat notulen rapat kemarin, kan?” Tanya Revanno yang tengah berjalan menuju lift.“Sudah, Pak.”“Good. Jangan sampai lupa apalagi salah, karena itu sangat penting.” Revanno segera melangkah ke dalam lift setelah itu di ikuti oleh Starla.Begitu pintu lift terbuka mereka berjalan beriringan menuju ruang kerja mereka. Dan saat Revanno membuka pintunya, ia merasa di kejutkan oleh kehadiran Ayahnya—Marcus“Ayah? Sedang apa di sini?” Revanno segera mendekat.“Hai, Starla. Apa kabar?” Marcus segera berdiri bukan untuk menyambut anaknya, melainkan menyambut Starla.“Baik. Om sendiri apa kabar?” Starla berusaha tersenyum seramah mungkin.“Om juga baik. Kamu—““Ayah!” Revanno segera menyela perbincangan dua orang yang seolah sengaja mengabaikan dirinya. “Sebenarnya ada perlu apa datang ke sini? Aku sibuk dan satu lagi jangan bersikap genit dengan sekretarisku,” bisik Revanno di akhir kalimatnya.Marcus terkekeh. “Oke, nggak akan lagi. Starla bisa tinggalkan Om dan Revanno berdua
“Revanno!” Kepala Starla mendongak ke atas ketika Revanno langsung menghujam masuk ke dalam tubuhnya yang sejak tadi memang sudah sangat basah itu. “Kamu sangat basah sekali, Starla.” Revanno menggerang sembari terus bergerak cepat di atas tubuh Starla. “Sial!” Umpatnya lalu mengangkat kedua tungkai Starla dan meletakkannya di bahunya. “Revanno! Ya ampun!” Starla terus meracau ketika merasakan hujaman Revanno semakin dalam dan cepat. “Aku merindukanmu yang berisik seperti ini,” ujar Revanno sambil terus bergerak. “Ah, ya ampun aku nggak tahan lagi. Revanno—akkhh!” Starla mencengkeram spreinya dengan kuat ketika Revanno semakin menekan di dalam sana. “Sebentar lagi, Starla. Bersama, oke?” Revanno semakin bergerak liar dan cepat. Kedua tangannya memeluk tubuh Starla dengan erat. “Starla!” Erangan panjang dari keduanya menandakan bahwa mereka telah mencapai puncak itu secara bersama. Baik Revanno ma
Revanno segera membuka pintu ruang kerja Kakeknya dan menatap William yang ternyata tengah sibuk membaca buku di sana. Bahkan pria tua itu sama sekali tidak menoleh saat menyadari kedatangan Revanno. “Kek, aku mohon jangan ikut campur ke dalam urusan pribadiku lagi. Aku nggak ingin dan nggak setuju dengan perjodohan ini,” ujar Revanno langsung. William menghentikan aktivitasnya. Ia meletakkan buku yang tadi ia baca ke atas meja lalu melepas kaca matanya. “Kamu ingin membantah permintaanku?” Revanno berdecak. “Bukanya selama ini kakek nggak pernah peduli dengan urusanku. Lalu, kenapa tiba-tiba Kakek jadi peduli? Dan lebih anehnya lagi kakek berani mengusik kehidupan pribadiku.” “Ini yang terbaik untuk kamu, Revanno. Kakek hanya berharap agar kamu tidak bernasib sama seperti Ayahmu!” William mulai meninggikan suaranya. “Selama ini aku baik-baik saja, Kek. Tanpa perjodohan inipun aku juga pasti baik-baik saja. Jadi berhenti mencamp